The Death of Samurai dalam Perspektif DJP

Oleh: Edmalia Rohmani, Pegawai Direktorat Jenderal Pajak
Yodhia Antariksa, MSc., seorang blogger terkenal di bidang strategi bisnis dan management skill di Indonesia, pernah menulis sebuah artikel yang sangat visioner di tahun 2012 berjudul The Death of Samurai: Robohnya Sony, Panasonic, Sharp, Toshiba, dan Sanyo. Tulisannya itu telah dikutip, dianalisis, dan dikritisi oleh banyak pihak, bahkan tak sedikit yang menganggapnya sebagai ramalan sekelas Nostradamus ketika empat tahun setelah artikel itu dirilis, pabrik Panasonic dan Toshiba di Indonesia benar-benar ditutup dan mem-PHK ribuan karyawan.
Dalam artikel yang fenomenal itu, penulis menjelaskan tentang tiga faktor penyebab fundamental yang mampu meruntuhkan sebuah organisasi yang sangat solid dan mempunyai sejarah yang panjang, namun tak mampu bertahan digempur kemajuan zaman. Tiga faktor ini seharusnya dapat dijadikan pelajaran berharga dan menjadi poin penting untuk diantisipasi semua institusi dan organisasi, tanpa kecuali Direktorat Jenderal Pajak (DJP).
Faktor 1 : Harmony Culture Error. Dalam era digital seperti saat ini, kecepatan adalah kunci. Speed in decision making. Speed in product development. Speed in product launch. Dan persis di titik vital ini, perusahaan Jepang termehek-mehek lantaran budaya mereka yang mengagungkan harmoni dan konsensus.
Budaya yang mengagungkan harmoni khas Jepang, rapat berminggu-minggu sekedar untuk menemukan konsensus mengenai produk apa yang akan diluncurkan, tergilas oleh budaya perusahaan Korea yang kreatif dan sangat responsif terhadap keinginan pasar. Hal itu terbukti dengan begitu cepatnya produk-produk baru keluaran Samsung dan LG merajai pasar dengan berbagai variannya yang memanjakan konsumen.
Budaya yang mementingkan konsensus membuat perusahaan-perusahaan Jepang lamban mengambil keputusan. Semuanya menunggu kesepakatan semua pihak yang mana hampir mustahil terjadi. Ide-ide kreatif dan out of the box biasanya kurang mendapatkan respon positif, dan ini sama artinya dengan pelan-pelan membunuh organisasi itu sendiri.
DJP setidaknya terbukti telah "lulus tes" dalam hal ini. Hajatan Amnesti Pajak adalah salah satu contohnya. Segenap lini bahu-membahu bekerja sama dalam tuntutan pencapaian ekstra, meski perangkat aturan dan sarana pendukung belum genap sempurna. Pelaksanaan program Tax Amnesty (TA) yang disebut-sebut tersukses di dunia ini, menjadi penyulut semangat para prajurit pengumpul pundi-pundi negara untuk memasuki fase baru pasca TA.
Diperlukan akselerasi prima dalam memahami aturan-aturan baru yang tanpa jeda memerlukan diimplementasikan di lapangan. Kerja keras sekaligus kerja cerdas harus menjadi pilihan utama. Sudah bukan zamannya budaya berlama-lama rapat sekadar mengisi daftar presensi, menghabiskan konsumsi, dan menghabiskan anggaran semata. Konsensus dan harmoni yang diperlukan bagi institusi ini adalah adalah sinergi yang adaptif terhadap perubahan dan responsif terhadap pengambilan kebijakan stakeholder.
Faktor 2 : Seniority Error. Dalam era digital, inovasi adalah oksigen. Inovasi adalah napas yang terus mengalir. Sayangnya, budaya inovasi ini tidak kompatibel dengan budaya kerja yang mementingkan senioritas serta budaya sungkan pada atasan.
Budaya senioritas begitu mendarah daging pada perusahaan Jepang, sehingga promosi seringkali tidak melihat pada kompetensi dan inovasi seseorang, tetapi pada masa kerja dan pangkat atau golongan yang tinggi.
Istilah Rising Stars dan Young Creative Guy adalah keanehan. Promosi di hampir semua perusahaan Jepang menggunakan metode urut kacang. Penulis bahkan menganalogikan budaya ini dengan kematian dini bagi inovasi.
Sesungguhnya inovasi sudah menjadi bagian dari nilai-nilai Kementerian Keuangan yang juga digaungkan di institusi DJP. Meskipun sistem kepangkatan dan golongan masih menjadi variabel acuan dalam sistem promosi dan pola mutasi jabatan di DJP, namun motor penggerak pelaksanaan program-program baru sejatinya disulut oleh semangat baru kaum fiskus muda yang merajai lebih dari separuh komposisi ksatria pajak di Indonesia.
Dalam hal ini, gebyaran "Pajak Bertutur" sebagai kick off program Inklusi Kesadaran Pajak di tanah air yang juga sukses meraih rekor MURI, seolah menjawab tantangan organisasi di bidang inovasi. Para penutur pajak muda yang penuh kreasi, menempuh cara-cara extraordinary dalam mentransfer semangat mencerahkan anak bangsa, agar kelak mereka mampu menjadi pahlawan pembangunan di masa depan. Sebuah budaya yang hendaknya mampu diadopsi oleh organisasi secara utuh dan memberikan panggung bagi karya yang bermanfaat dan ruang gerak bagi kreativitas tanpa batas demi kemajuan organisasi.
Faktor 3 : Old Nation Error. Faktor terakhir ini mungkin ada kaitannya dengan faktor kedua. Salah satu penyebab keruntuhan perusahaan Jepang adalah aspek demografi. Lebih dari separuh penduduk Jepang berusia diatas 50 tahun. Elit perusahaan dikuasai oleh pegawai senior yang loyal dan bertahun-tahun bekerja pada lingkungan yang sama. Penulis bahkan menggarisbawahi dampak yang sangat berbahaya dari keadaan ini, yaitu adanya comfort zone yang bersemayam dalam raga manajer-manajer senior dan tua itu.
Comfort zone atau zona nyaman sendiri selalu identik dengan sumber kematian bagi inovasi dan kreativitas. Cara-cara baru yang radikal dan di luar pakem seringkali menjadi momok bagi organisasi yang konservatif.
Dalam hal ini, DJP seharusnya patut bernapas lega sebab potensi SDM yang berusia produktif menguasai lebih dari 60% pegawai. Namun potensi ini tentu saja bisa menjadi sia-sia bila tidak dioptimalkan. Mengenali potensi SDM dan menjadikan pegawai sebagai aset berharga yang penuh integritas, sejatinya merupakan investasi bagi DJP dalam merawat organisasi, agar bahaya laten comfort zone tidak sampai menjangkiti jiwa dan raga bukan hanya generasi tua, tetapi juga generasi mudanya.(*)
Sumber:
http://strategimanajemen.net/2012/09/03/the-death-of-samurai-robohnya-sony-panasonic-sharp-dan-sanyo/
http://www.pajak.go.id/sites/default/files/Annual%20Report%20DJP%202010-INA.pdf
*) Tulisan ini merupakan pendapat pribadi penulis dan bukan cerminan sikap instansi dimana penulis bekerja.
- 128 kali dilihat