Dapat Tagihan Pajak? Jangan Panik, Ada Upaya Hukumnya

Oleh: Wasiati, pegawai Direktorat Jenderal Pajak
Ketika mendengar kata pajak apalagi mendapat tagihan pajak tidak sedikit, orang yang akan bertanya dan berpikir negatif. “Pajak apa lagi, pajak untuk apa lagi, bayar pajak lagi, pajak terus gak selesai selesai bayar pajaknya”.
Memiliki pikiran negatif merupakan hal yang wajar dialami setiap orang. Secara umum munculnya pikiran negatif disebabkan oleh beberapa faktor antara lain pengaruh dari suatu kejadian, melakukan analisis berlebihan terhadap sebuah kejadian, mendapat perlakuan tidak menyenangkan terhadap sebuah kejadian, memiliki ketakutan dan kekhawatiran mengenai apa yang akan terjadi di masa yang akan datang. Lalu bagaimana cara menghilangkan pikiran negatif pada pikiran kita? Dan tentu saja pikiran negatif ketika mendengar kata pajak.
Hilangkan Pikiran Negatif
Menghilangkan pikiran negatif terhadap sesuatu tentunya merupakan hal yang tidak instan. Butuh waktu dan latihan berulang-ulang untuk mengelola pikiran menjadi lebih positif. Berpikir positif tidak akan datang dengan sendirinya, melainkan sebuah ketrampilan yang harus dipelajari dengan cara melihat sesuatu tanpa melihat sisi negatifnya. Begitu pula halnya dengan pikiran negatif tentang pajak. Menciptakan kesadaran masyarakat dan memberikan pelayanan dengan baik dan tepat sasaran merupakan salah satu upaya membuat orang berpikir bukan dari sisi negatifnya tetapi harus berpikir positif tentang pajak. Memberikan edukasi yang lebih terhadap masyarakat adalah salah satu startegi untuk membuat masyarakat semakin tinggi tingkat kesadarannya terhadap kewajiban perpajakannya.
Banyaknya peraturan dan kebijakan yang diberikan pemerintah terhadap perpajakan yang berlaku di Indoneia menjadi salah satu faktor yang membuat Masyarakat semaikin sulit untuk memahami aturan perpajakan. Walaupun sebenarnya aturan dan kebijakan ini di keluarkan semuanya bertujuan untuk memberikan kemudahan pemahaman kepada masyarakat. Dan untuk mewujudkan sistem perpajakan yang lebih berkeadilan dan berkepastian hukum dan meningkatkan kepatuhan sukarela pajak, pemerintah bersama Dewan Perwakilan Rakyat telah menyetujui untuk diundangkan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP).
Kewajiban setelah Punya NPWP
Setiap Wajib Pajak yang telah memenuhi persyaratan subjektif dan objektif sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan wajib mendaftarkan diri pada kantor Direktorat Jenderal Pajak yang wilayah kerjanya meliputi tempat tinggal atau tempat kedudukan Wajib Pajak dan kepadanya diberikan Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP).
Setelah memiliki NPWP tentu ada kewajiban pajak yang akan timbul. Kewajiban yang timbul setelah mempunyai NPWP yaitu melaporkan penghasilan dari kegiatan atau usahanya dengan menggunakan Surat Pemberitahuan (SPT) secara lengkap dan benar dan membayar pajak bagi yang memiliki penghasilan di atas Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP). Tidak semua yang mempunyai NPWP wajib bayar pajak Ada dua kondisi untuk Wajib Pajak Orang Pribadi tidak atau belum dikenakan pajak yaitu Karyawan/Pegawai dengan penghasilan sampai dengan Rp54 juta setahun dan Orang Pribadi pelaku Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) dengan omzet sampai dengan Rp500 juta setahun.
Wajib pajak perlu memperhatikan batasan-batasan waktu penyetoran pajak dan pelaporan SPT guna menghindari adanya sanksi atau denda keterlambatan. Secara umum kepatuhan Wajib Pajak merupakan suatu tindakan patuh dan sadar terhadap ketertiban pembayaran dan pelaporan kewajiban perpajakan masa dan tahunan sesuai dengan ketentuan perpajakan yang berlaku.
Surat Tagihan Pajak
Pajak adalah kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang-Undang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Karena bersifat memaksa, wajib pajak punya kewajiban untuk melakukan pembayaran, pelaporan, pemungutan atau pemotongan pajak. Wajib pajak diharuskan untuk menghitung, membayar, dan melaporkan pajak terutangnya sesuai dengan ketentuan perpajakan. Pembayaran dan pelaporannya pun juga harus tepat waktu, bila Wajib Pajak tidak melakukan kewajibannya maka Direktorat Jenderal Pajak dapat menerbitkan Surat Tagihan Pajak (STP). STP adalah surat untuk melakukan tagihan pajak dan atau sanksi administrati berupa bunga dan atau denda. Surat Tagihan Pajak ini berisikan perhitungan sanksi administrasi dengan besaran tertentu untuk masa pajak dan bagian tahun pajak.
Sesuai dengan Pasal 14 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (UU KUP), sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan UU HPP, Direktur Jenderal Pajak dapat menerbitkan Surat Tagihan Pajak apabila:
1. Pajak Penghasilan dalam tahun berjalan tidak atau kurang dibayar;
2. Dari hasil penelitian terdapat kekurangan pembayaran pajak sebagai akibat salah tulis dan/atau salah hitung;
3. Wajib pajak dikenai sanksi administratif berupa denda dan/atau bunga;
4. Pengusaha yang telah dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak, tetapi tidak membuat faktur pajak atau terlambat membuat faktur pajak;
5. Pengusaha yang telah dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak yang tidak mengisi faktur pajak secara lengkap; dan
6. Terdapat imbalan bunga yang seharusnya tidak diberikan kepada wajib pajak,
Upaya Hukum
Wajib pajak, baik orang pribadi maupun badan, dapat dikenakan sanksi administrasi pajak ketika dianggap tidak memenuhi kewajibannya sesuai dengan aturan yang berlaku. Ketika tidak patuh perpajakan, wajib pajak akan menerima Surat Tagihan Pajak (STP) atau Surat Ketetapan Pajak (SKP) yang berisikan sanksi administrasi yang harus dibayarkan. Namun, wajib pajak dapat melakukan upaya hukum dengan mengajukan surat permohonan pengurangan atau penghapusan sanksi administrasi yang dikenakan yang tertera pada surat tagihan pajak atau surat keterangan pajak yang diterimanya.
Pengajuan permohonan pengurangan atau penghapusan sanksi administrasi ini dapat mengurangi atau menghapus denda, bunga, dan kenaikan yang terutang, yang dikenakan karena kekhilafan wajib pajak atau bukan karena kesalahannya. Jika wajib pajak merasa perhitungan sanksi tidak benar atau merasa sanksi tersebut tidak seharusnya dikenakan pada dirinya, ia berhak mengajukan permohonan pengurangan atau penghapusan sanksi administrasi pajak. Surat permohonan tersebut disampaikan ke kantor pelayanan pajak tempat wajib pajak terdaftar
Sesuai dengan Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 8/PMK.03/2013 tentang Tata Cara Pengurangan Atau Penghapusan Sanksi Administrasi dan Pengurangan Atau Pembatalan Surat Ketetapan Pajak Atau Surat Tagihan Pajak, permohonan pengurangan atau penghapusan sanksi administrasi harus memenuhi persyaratan:
- (satu) permohonan untuk 1 (satu) surat ketetapan pajak atau Surat Tagihan Pajak.
- permohonan harus diajukan secara tertulis dalam bahasa Indonesia
- mengemukakan jumlah sanksi administrasi menurut Wajib Pajak dengan disertai alasan
- permohonan harus disampaikan ke Kantor Pelayanan Pajak tempat Wajib Pajak terdaftar
- surat permohonan ditandatangani oleh Wajib Pajak
Dengan adanya aturan PMK ini, wajib pajak tidak perlu panik ketika mendapatkan STP karena masih ada upaya hukum yang dapat dilakukan. Wajib pajak juga masih berhak mengajukan permohonan pengurangan atau penghapusan sanksi administrasi pajak. Wajib pajak dapat memperoleh pengurangan atau penghapusan sanksi administrasi yang tercantum dalam Surat Ketetapan Pajak atau STP dengan menyampaikan surat permohonan pengurangan atau penghapusan sanksi administrasi kepada Direktur Jenderal Pajak.
*) Artikel ini merupakan pendapat pribadi penulis dan bukan cerminan sikap instansi tempat penulis bekerja.
Konten yang terdapat pada halaman ini dapat disalin dan digunakan kembali untuk keperluan nonkomersial. Namun, kami berharap pengguna untuk mencantumkan sumber dari konten yang digunakan dengan cara menautkan kembali ke halaman asli. Semoga membantu.
- 1296 kali dilihat