Dana Desa dan Dana Kelurahan 2019, Potensi Pajak yang Jangan Dilupakan

Oleh: Amirul Mukminin, Pegawai Direktorat Jenderal Pajak
Pemerintah pusat sejak tahun 2015 sudah menggelontorkan Dana Desa yang berasal dari APBN. Dana Desa yang telah dikucurkan pemerintah pada tahun 2015 sebesar Rp20 triliun, tahun 2016 Rp47 triliun, tahun 2017 Rp60 triliun, tahun 2018 Rp60 triliun, dan tahun 2019 naik lagi menjadi Rp70 triliun. Dana tersebut dianggarkan bagi sekitar 74.000 desa.
Rata-rata, tiap desa akan memperoleh Dana Desa sekitar Rp945 jutaan. Selain itu, desa juga mendapatkan Alokasi Dana Desa (ADD) yang berasal dari APBD Kabupaten sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 113 Tahun 2014 Tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Desa, serta Bantuan Provinsi (Banprov) yang berasal dari APBD Provinsi. Banyak sekali jumlah dana yang diterima oleh sebuah desa.
Dua tahun lalu, seorang camat yang membawahi desa dan kelurahan di sebuah kabupaten pernah menyampaikan keluh kesahnya kepada kami, bahwa sekarang banyak kelurahan yang ingin kembali menjadi desa dengan alasan ingin mendapatkan Dana Desa. Seakan menjawab keluh kesah tersebut, mulai tahun 2019, pemerintah pusat juga menggelontorkan dana bagi sekitar 8.485 kelurahan se-Indonesia sebesar Rp3 triliun. Tiap kelurahan, rata-rata akan menerima sekitar Rp353 jutaan. Jumlah ini lebih kecil dibandingkan dengan yang diterima oleh desa.
Besarnya dana secara nasional, merupakan potensi pemotongan dan pemungutan pajak, baik pajak pusat maupun daerah. Pemerintah pusat mendapatkan potensi antara lain dari pemotongan PPh Pasal 23 (misal : sewa mesin, sewa kendaraan, pembayaran jasa instalasi listrik), PPh Pasal 21 (honorarium kegiatan, uang rapat, uang transport), dan PPh Final Pasal 4 ayat (2) atas belanja sewa gedung dan jasa kostruksi. Pemerintah pusat juga mendapatkan potensi pemungutan PPN dan PPh Pasal 22 dari belanja semen, bata merah, paku, baud, plang kegiatan, kran air, palu, linggis, aspal, dll.
Pemerintah daerah biasanya mendapatkan potensi pajak daerah dari belanja makanan dan minuman yang dijual oleh warung makan untuk konsumsi tukang bangunan, juga dari belanja jasa boga dan katering. Mengingat bunyi Pasal 4A Undang-undang PPN yang menyatakan bahwa makanan dan minuman yang disajikan di restoran, warung dan sejenisnya bukan barang kena pajak. Juga jasa boga dan katering bukanlah jasa kena pajak. Sehingga ini menjadi objek pajak daerah.
Pernah terjadi suatu Kantor Pelayanan Pajak (KPP) Pratama meremehkan potensi ini. Dalam rapat, dianggap lelucon, sesuatu yang tidak mungkin terjadi ada potensi miliaran rupiah dari pemotongan dan/atau pemungutan pajak oleh Bendahara Desa. Padahal setelah dilakukan pengecekan, ternyata ada Bendahara Desa yang bisa menyetorkan sampai Rp55 jutaan dalam setahun. Ada hampir 700 desa yang berada dalam pengawasan KPP Pratama tersebut, bisa dibayangkan berapa potensi pajak yang bisa dicairkan, mencapai sekitar Rp38,5 miliar. Nilai sebesar ini sangat besar bagi KPP Pratama. Hal ini dapat luput dari analisis, mengingat penyetoran PPN dan PPh Pasal 22 menggunakan NPWP dan nama toko atau penjual.
Direktorat Jenderal Pajak dan Kementerian Dalam Negeri seharusnya mengantisipasi turunnya Dana Kelurahan ini. Kalau Bendahara Desa diharuskan memiliki NPWP, apakah nanti di kelurahan juga ada seorang Bendahara Kelurahan? Ataukah cukup dengan Bendahara Kecamatan yang membawahi kelurahan tersebut yang bertindak sebagai pemotong dan/atau pemungut pajak? Semua ini haruslah menjadi perhatian bagi kita semua.(*)
*) Tulisan ini merupakan pendapat pribadi penulis dan bukan cerminan sikap instansi penulis bekerja.
- 23747 kali dilihat