Dampak Tapering The Fed Versus Insentif Perpajakan
Oleh: Wisnu Saka Saputra, pegawai Direktorat Jenderal Pajak
Usaha meningkatkan pertumbuhan pajak (tax growth) tidak terlepas dari pangsa pertumbuhan otomatis dan pangsa pertumbuhan diskresioner.
Pertumbuhan otomatis meliputi perubahan berbagai variabel ekonomi yaitu pendapatan nasional dan pertumbuhan sektor-sektor ekonomi. Sedangkan pertumbuhan diskresioner bersumber dari efek perubahan kebijakan pajak yang meliputi perubahan undang-undang pajak, tarif pajak, perbaikan administrasi, dan pelayanan pajak.
Salah satu yang memengaruhi penerimaan pajak adalah faktor eksternal antara lain pertumbuhan ekonomi, tingkat inflasi, nilai tukar rupiah, dan tingkat suku bunga.
Faktor eksternal yang dapat berdampak pada penerimaan pajak 2022 antara lain adanya risiko global yang meningkat seperti kebijakan penarikan stimulus moneter atau tapering oleh The Fed, Bank Sentral Amerika Serikat.
Pengertian Tapering
Tapering adalah kebijakan moneter yang diambil oleh The Federal Reverse untuk mengurangi stimulus ekonomi yang mereka lakukan agar bisa menahan laju inflasi yang terus meningkat selama pemulihan ekonomi.
Dalam kebijakan tersebut The Fed mengurangi pembelian aset seperti obligasi di pasar. Dari semula US$120 miliar menjadi tinggal US$15 miliar per bulan. Itu berarti, likuiditas di pasar akan berkurang, diikuti dengan penurunan harga sekaligus kenaikan imbal hasil (yield) obligasi.
Dampak Tapering terhadap Penerimaan Pajak di Indonesia
Apabila The Fed melakukan tapering, maka kebijakan ini biasanya juga diikuti dengan kenaikan suku bunga yang membuat banyak investor asing memilih berinvestasi di Amerika karena dinilai lebih menarik.
Kebijakan tersebut akan menimbulkan capital outflow dari pasar keuangan domestik sehingga berpengaruh pada nilai tukar rupiah. Pada saat itu, pasar finansial atau Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) rontok, imbal hasil surat utang negara naik, dan nilai tukar rupiah terus terdepresiasi terhadap dolar Amerika Serikat.
Akibatnya, industri yang bergantung pada impor pun terpukul, sebagian tutup, atau sebagian mengurangi karyawan. Termasuk usaha kecil yang paparan impornya tinggi, seperti peternak ayam. Namun, pelemahan rupiah justru dinantikan oleh para pengusaha komoditas energi seperti batu bara. Hal tersebut di karenakan kontribusi Indonesia dalam memasok komoditas energi yang lagi naik seperti batu bara, CPO, nikel, dan timah besar.
Tapering pada tahun 2021 tidak semengerikan taper rantrum pada tahun 2013. Hal tersebut dikarenakan The Fed secara berkala menyampaikan sinyal perubahan kebijakan secara lebih jelas, sehingga bisa diantisipasi oleh pasar global.
Walaupun tidak mengerikan, tetapi kita harus selalu waspada. Pasalnya, permintaan domestik negara Indonesia belum sepenuhnya pulih. Inflasi kita masih meningkat, kredit perbankan juga melambat, dan belum ada perbaikan ekonomi signifikan.
Upaya Pemerintah Melalui Pemberian Insentif Pajak
Beberapa insentif perpajakan telah diperpanjang dan dikeluarkan oleh pemerintah Indonesia. Tujuan utama pemerintah memberlakukan kebijakan insentif pajak tersebut adalah untuk menarik minat investor asing agar mau menanamkan modalnya di Indonesia seiring dengan kebijakan tapering oleh The Fed dan memberikan kesempatan pada para pengusaha untuk melaporkan harta yang belum dilaporkanya melalui Program Pengungkapan Sukarela (PPS).
PPS merupakan upaya pemerintah untuk mendukung terwujudnya konsolidasi fiskal di tahun 2023 yakni defisit kembali ke level tiga persen. Hal tersebut dapat terjadi karena program pengungkapan sukarela merupakan salah satu bentuk reformasi perpajakan yang dilakukan pemerintah di bawah Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP).
Optimalisasi penerimaan PPS diperlukan dalam menyehatkan APBN. Ketentuan mengenai PPS menjadi bagian dari UU HPP yang dirancang oleh pemerintah dan DPR. Memang perlu kehatian-hatian dalam merancang kebijakan pajak agar efektif meningkatkan penerimaan negara sekaligus menciptakan sistem yang adil bagi masyarakat.
PPS akan memperkuat kemampuan dan ketahanan ekonomi dalam negeri dalam menghadapi faktor eksternal seperti tapering oleh the Fed. Walaupun secara de facto, menurut Sri Mulyani ketahanan external balance, trade account, current account balance, dan cadangan devisa yang semakin kuat membuat Indonesia menjadi lebih tahan terhadap efek tapering.
Sri Mulyani menyebut kemampuan cadangan devisa untuk membiayai impor dan cicilan utang luar negeri pemerintah masih di atas standar kecukupan internasional. Hal tersebut menjadi sinyal ketahanan ekonomi Indonesia dari risiko eksternal. Ditambah lagi dengan adanya PPS itu.
Namun, tentu saja Indonesia harus tetap harus selektif dalam membuat kebijakan terkait dengan tapering yang dilakukan oleh the Fed, baik kebijakan moneter maupun fiskal. Dampak tapering 2021 ini tidak semengerikan 2013, termasuk ke wilayah fiskal. Namun, kewaspadaaan tetap perlu dan memberikan sinyal yang jelas itu wajib dilakukan.
*) Artikel ini merupakan pendapat pribadi dan bukan cerminan sikap instansi tempat penulis bekerja.
- 258 kali dilihat