Oleh: Teddy Ferdian, pegawai Direktorat Jenderal Pajak

Bung Karno pernah menyampaikan, “Bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai para pahlawannya.” Pahlawan bisa jadi adalah mereka yang berjuang mengangkat senjata untuk melawan penjajah. Pahlawan boleh jadi mereka yang kala itu memimpin barisan untuk melawan ketidakadilan yang dialami masyarakat Indonesia di masa penjajahan. Mereka yang dengan pemikiran intelektual mampu memperjuangkan kemerdekaan melalui jalur organisasi dan politik juga layak disebut pahlawan.

Salah satu pahlawan nasional adalah si pencetus kata “pajak” untuk pertama kalinya dalam rapat panitia kecil persiapan kemerdekaan Indonesia kala itu. Dialah Radjiman Wediodiningrat, ketua Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI). Kata yang beliau ungkapkan dalam Sidang Panitia Kecil BPUPKI tanggal 14 Juli 1945 tersebut ternyata menjadi penopang pembangunan negara sampai dengan sekarang. Tanggal 14 Juli sendiri ditetapkan menjadi Hari Pajak melalui Surat Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor Kep-313/PJ/2017 tentang Penetapan Hari Pajak.

Siapa yang harus mengenang Hari Pajak? Apakah Hari Pajak hanya diperingati oleh pegawai pajak? Lalu bagaimana kita harus memperingati Hari Pajak? Cukupkah dengan kegiatan seremonial? Satu demi satu, mari kita coba membahas pertanyaan tersebut.

Pertama, memang benar bahwa Hari Pajak diperingati setiap tahunnya di lingkungan Direktorat Jenderal Pajak (DJP) sejak tahun 2018. Bukan hal aneh karena bagi otoritas perpajakan, Hari Pajak adalah momentum bersejarah dari perjalanan otoritas perpajakan di Indonesia. Memperingati Hari Pajak merupakan simbol penghormatan terhadap sejarah perjuangan bangsa. Memperingati Hari Pajak juga sebagai pemberian motivasi bagi para pegawai pajak dalam mengabdi kepada tanah air tercinta. Kegiatan-kegiatan seperti upacara bendera, pertandingan olahraga dan seni antar unit kerja, donor darah, kampanye simpatik, dan kegiatan sosialisasi dilaksanakan dalam memperingati Hari Pajak.

Namun, jika diselisik lebih mendalam seharusnya bukan hanya pegawai pajak dan instansi perpajakan yang memperingati hari pajak. Disadari atau tidak, pajak sudah ambil bagian hampir di seluruh sektor. Sebut saja sektor pendidikan, kesehatan, politik, ekonomi, pertahanan, keamanan, sosial, infrastruktur, dan banyak sektor lainnya. Sektor-sektor tersebut memiliki keterkaitan dengan pajak, khususnya dalam hal pendanaannya. Bagaimana tidak, pajak menopang hampir 80% penerimaan negara dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) untuk menyukseskan pembangunan. Pembangunan dan pengeluaran yang dilakukan negara tentunya bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan seluruh warga negara. Sehingga, menjadi hal yang sangat wajar jika seluruh masyarakat ikut mengenang dan memperingati Hari Pajak.

Kedua, seringkali peringatan hari pajak hanya menjadi sarana untuk mengenang sejarah pajak di Indonesia. Ini terjadi karena lingkup peringatan Hari Pajak hanya sebatas di lingkungan DJP atau mungkin sedikit lebih tinggi, Kementerian Keuangan. Fokus kegiatan setiap tahunnya adalah memotivasi pegawai pajak untuk memberikan sumbangsih nyata untuk negeri dengan mengambil teladan dari para pahlawan terdahulu, khususnya yang memperjuangkan implementasi pemungutan pajak di Indonesia. Selain itu, upaya menumbuhkan kesadaran pajak juga dilakukan melalui berbagai kegiatan sosialisasi dan kampanye simpatik sebagai bagian dari peringatan Hari Pajak.

Tantangan besar adalah menjadikan masyarakat memiliki alasan kuat untuk ikut memperingati dan memeriahkan Hari Pajak. Artinya, masyarakat seharusnya bisa merasakan dan menikmati manfaat dari pajak yang dikumpulkan oleh negara. Penerimaan pajak negara yang digunakan oleh pemerintah untuk membiayai Pembangunan infrastruktur dan fasilitas publik, pendidikan, kesehatan, serta bantuan sosial sudah seharusnya benar-benar sampai manfaatnya kepada masyarakat umum, bukan hanya untuk golongan atau pribadi tertentu. Hal ini seolah menjadi prasyarat dari rasa percaya (trust) masyarakat kepada pemerintah sebagai pengelola uang pajak.

Hari Pajak bukan hanya untuk dikenang. Mengingat sejarah memang diperlukan, namun memastikan bahwa sejarah menjadi acuan untuk mencapai masa depan yang lebih gemilang itu yang utama. Penerimaan pajak tanpa kepatuhan pajak sukarela seperti sayur tanpa garam. Walaupun undang-undang dasar menyatakan bahwa pajak adalah pungutan yang dapat dipaksakan, namun kesadaran pajak masyarakat perlu terus diperjuangkan. Dan sekali lagi kunci utamanya adalah trust kepada pemerintah.

Hari Pajak adalah momentum untuk menunjukkan keseriusan pemerintah dalam mengelola pajak. Keseriusan ini harus ditunjukkan bukan hanya oleh otoritas perpajakan di Indonesia, namun juga seluruh institusi dan lembaga. Mengumpulkan penerimaan pajak sangat penting bagi negara, namun tanggung jawab dalam pembelanjaan uang pajak agar hasilnya dapat dinikmati masyarakat itu tidak kalah penting.  

Pengelolaan pajak yang profesional dan berintegritas, baik dari sisi pengumpulan pajak dan juga pembelanjaannya, akan menuntun masyarakat untuk memberikan sinyal positif menuju kesadaran pajak dan kepatuhan pajak sukarela. Rasa bangga juga tentu akan menyelimuti relung hati wajib pajak selaku pembayar pajak. Hasilnya, tidak perlu diminta, masyarakat dan wajib pajak boleh jadi akan dengan senang hati turut memperingati Hari Pajak. Dan bukan tidak mungkin, di masa depan, Hari Pajak akan menjadi hari besar nasional yang diperingati dalam lingkup nasional. Bukan hanya untuk dikenang, tetapi untuk menunjukkan bahwa dengan pajak yang kuat, APBN akan sehat, dan Indonesia menjadi Sejahtera.

 

*)Artikel ini merupakan pendapat pribadi penulis dan bukan cerminan sikap instansi tempat penulis bekerja.

Konten yang terdapat pada halaman ini dapat disalin dan digunakan kembali untuk keperluan nonkomersial. Namun, kami berharap pengguna untuk mencantumkan sumber dari konten yang digunakan dengan cara menautkan kembali ke halaman asli. Semoga membantu.