Oleh: Made Yogi Dwiyana Utama, Pegawai Direktorat Jenderal Pajak

Investasi merupakan salah satu keputusan penting dalam mengelola keuangan. Melalui investasi, individu mampu mengembangkan dan meningkatkan nilai aset yang dimilikinya. Investasi juga mencegah penurunan nilai aset atau kekayaan akibat inflasi. Oleh karena itu, Saat ini investasi tidak lagi dipandang sebagai sebuah opsi dalam pengelolaan keuangan, tetapi investasi telah menjadi keharusan dan bahkan menjadi budaya masyarakat.

Ada berbagai instrumen investasi yang dapat dipilih oleh masyarakat. Mulai dari sektor riil, pasar modal, hingga pasar uang. Individu bisa menginvestasikan uangnya di berbagai instrumen seperti saham, obligasi, deposito, reksadana, emas, tanah dan/atau bangunan, atau bentuk lainnya. Saat ini juga berkembang suatu instrumen investasi baru non-konvensional yang disebut peer-to-peer lending (P2P lending).

P2P lending adalah suatu skema pinjam-meminjam uang yang dilakukan langsung dari kreditur selaku pemilik dana kepada debitur selaku penerima dana tanpa melalui bank atau lembaga keuangan lainnya. P2P lending mulai populer di Indonesia sejak tahun 2017 dan berkembang cukup pesat hingga saat ini. Perkembangan pesat P2P lending di Indonesia tidak lepas dari pemanfaatan sistem dan teknologi informasi sehingga mampu menjangkau kreditur dan debitur dari hampir seluruh penjuru tanah air.

Popularitas P2P lending yang terus meningkat, terutama di kalangan milenial, menimbulkan beberapa pertanyaan. Apakah penghasilan bunga atau bagi hasil yang diperoleh dari kegiatan investasi di platform P2P lending terutang pajak penghasilan? Bukankah seharusnya pajak tersebut sudah dipotong oleh perusahaan penyedia jasa P2P lending? Lalu, bagaimana pelaporannya di SPT Tahunan?

 

Objek Pajak Penghasilan

Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang No. 7 Tahun 1983 sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang No. 11 Tahun 2020 tentang Pajak Penghasilan (PPh) mengatur bahwa objek pajak penghasilan adalah setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh wajib pajak, baik yang berasal dari Indonesia maupun dari luar Indonesia, yang dapat dipakai untuk konsumsi atau untuk menambah kekayaan wajib pajak yang bersangkutan, dengan nama dan dalam bentuk apapun. Sesuai penjelasan Pasal 4 ayat (1) huruf f, penghasilan yang dimaksud juga meliputi bunga termasuk premium, diskonto, dan imbalan karena jaminan pengembalian utang.

Pada prinsipnya, penghasilan bunga atau bagi hasil yang diperoleh wajib pajak dari kegiatan investasi di P2P lending merupakan imbalan atas pemanfaatan modal dalam bentuk uang yang dipinjamkan oleh kreditur kepada debitur dalam jangka waktu tertentu. Berdasarkan karakteristiknya penghasilan yang diperoleh P2P lending tidak jauh berbeda dengan bunga yang diperoleh kreditur dari debitur dalam kegiatan pinjam-meminjam uang secara konvensional. Hal yang membedakan hanyalah adanya fasilitator dan penggunaan sistem informasi dan teknologi dalam P2P lending yang memungkinkan terjadinya pinjam-meminjam secara daring. Dari penjelasan tersebut, dapat kita simpulkan bahwa penghasilan dari kegiatan investasi di P2P lending merupakan objek pajak penghasilan.

 

Mekanisme Self-Assessment

Pasal 12 ayat (1) Undang-Undang No. 6 Tahun 1983 sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang No. 11 Tahun 2020 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP) mengatur bahwa Setiap Wajib pajak wajib membayar pajak yang terutang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan, dengan tidak menggantungkan pada adanya surat ketetapan pajak. Lebih lanjut dijelaskan bahwa penerbitan suatu surat ketetapan pajak hanya terbatas pada wajib pajak tertentu yang disebabkan oleh ketidakbenaran dalam pengisian SPT atau karena ditemukannya data fiskal yang tidak dilaporkan oleh Wajib pajak. Ketentuan ini menjadi roh dalam penerapan sistem perpajakan self-assessment di Indonesia.

Pasal 23 ayat (1) Undang-Undang PPh mengatur bahwa atas penghasilan berupa bunga dengan dengan nama dan dalam bentuk apa pun yang dibayarkan, disediakan untuk dibayarkan, atau telah jatuh tempo pembayarannya oleh badan pemerintah, subjek pajak badan dalam negeri, penyelenggara kegiatan, bentuk usaha tetap, atau perwakilan perusahaan luar negeri lainnya kepada Wajib pajak dalam negeri atau bentuk usaha tetap, dipotong pajak oleh pihak yang wajib membayarkan. Pemotongan PPh Pasal 23 yang dilakukan oleh pemotong pajak atau dalam hal ini juga bertindak sebagai pemberi/pembayar penghasilan merupakan kredit pajak atau pajak dibayar dimuka bagi pihak yang dipotong. Namun, apakah hal ini bisa diterapkan pada model bisnis P2P lending?

Dari ketentuan tersebut, dapat kita lihat bahwa pemotongan PPh Pasal 23 dilakukan oleh pembayar/pemberi penghasilan. Dalam model bisnis P2P lending, pemberi/pembayar penghasilan adalah debitur/peminjam, di mana perusahaan penyedia jasa P2P lending hanya bertindak sebagai perantara. Akan tetapi, mayoritas debitur P2P lending merupakan orang pribadi yang tidak ditunjuk sebagai pemotong PPh Pasal 23. Sehingga atas transaksi tersebut tidak dilakukan pemotongan PPh Pasal 23 oleh debitur. Terdapat suatu gagasan yang berkembang untuk menunjuk Perusahaan penyedia jasa P2P lending sebagai pemotong pajak. Namun, sampai saat artikel ini dibuat aturan terkait belum diterbitkan.

Jika kembali ke ketentuan tentang penerapan sistem self-assessment, ada atau tidaknya pemotongan pajak tidak menggugurkan kewajiban penghitungan, pembayaran, dan pelaporan pajak pada SPT Tahunan PPh. Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, PPh Pasal 23 yang telah dipotong merupakan kredit pajak, bukan pajak penghasilan yang terutang. Ada atau tidaknya pemotongan pajak non-final tidak akan mempengaruhi jumlah PPh terutang dalam setahun. Oleh karena itu, atas penghasilan yang diperoleh Wajib pajak dari kegiatan pemberian pinjaman melalui instrumen P2P lending tetap wajib dihitung, disetorkan, dan dilaporkan pajaknya pada SPT Tahunan PPh.

 

Wajib Lapor

Penghasilan dari investasi di platform P2P lending dapat dikategorikan sebagai bunga atau bagi hasil. Dalam pengisian SPT Tahunan PPh baik menggunakan form 1770SS, 1770S, maupun 1770, penghasilan tersebut dapat dimasukkan pada kategori “Penghasilan Neto Dalam Negeri Lainnya.” Jumlah yang dilaporkan adalah total penghasilan yang diterima atau diperoleh dalam satu tahun pajak.

Untuk memudahkan penjelasan, simak contoh kasus berikut:

Contoh Kasus:

Tuan A, status lajang tanpa tanggungan, bekerja sebagai karyawan di PT Z sejak 1 Juli 2018. Tuan A memperoleh gaji, tunjangan, dan fasilitas lainnya dari PT Z sebagaimana yang dituangkan dalam bukti potong 1721-A1 yang diperolehnya untuk Tahun Pajak 2020 dengan informasi sebagai berikut:

Total Penghasilan Neto setahun                     : Rp129.805.787,00.

Total PPh Pasal 21 yang dipotong                 : Rp6.370.750,00.

Tuan A juga menyisihkan sebagian penghasilannya untuk berinvestasi di salah satu platform P2P lending sejak tahun 2019. Rekapitulasi penghasilan dari P2P lending yang diperolehnya untuk tahun 2020 adalah sebagai berikut:

Maret                                                               : Rp1.500.000,00.

Juni                                                                 : Rp1.500.000,00.

September                                                      : Rp1.500.000,00.

Desember                                                       : Rp1.500.000,00.

Total Penghasilan dari P2P lending                : Rp6.000.000,00.

 

Simulasi Pengisian SPT Tahunan PPh Tahun Pajak 2020:

  1. Tuan A menggunakan form SPT Tahunan PPh Orang Pribadi 1770S.
  2. Tuan A melaporkan daftar harta dan kewajiban yang ia miliki pada akhir Tahun Pajak 2020 pada Lampiran II.
  3. Untuk melaporkan penghasilan yang diperolehnya dari platform P2P lending, Tuan A wajib mengisi total penghasilan yang diperolehnya selama satu tahun pajak dari P2P lending sebesar Rp6.000.000,00 pada Lampiran I Bagian A (Penghasilan Neto Dalam Negeri Lainnya).
  4. Selanjutnya, Tuan A wajib mengisi daftar pemotongan pajak atau kredit pajak yang ia miliki (bukti potong 1721-A1) pada Lampiran I Bagian C.
  5. Tuan A kemudian menjumlahkan seluruh penghasilan yang diperolehnya pada Tahun Pajak 2020, baik penghasilan sehubungan dengan pekerjaan maupun penghasilan lainnya pada induk SPT Tahunan untuk menghitung PPh terutang sebagai berikut:

Penghasilan neto sehubungan dengan pekerjaan                    : Rp129.805.787,00.

Penghasilan neto lainnya                                                          : Rp6.000.000,00.

Total penghasilan neto                                                              : Rp135.805.787,00.

PTKP (TK/0)                                                                              : Rp54.000.000,00.

Penghasilan kena pajak                                                            : Rp81.805.787,00.

PPh terutang                                                                             : Rp7.270.750,00.

PPh yang telah dipotong pihak lain (kredit pajak)                     : Rp6.370.750,00.

PPh kurang bayar                                                                     : Rp900.000,00.

  1. PPh kurang bayar (PPh Pasal 29) sebesar Rp900.000,00 wajib dilunasi sebelum penyampaian SPT Tahunan PPh Tahun Pajak 2020.
  2. Tuan A pada Tahun Pajak 2021 wajib melunasi angsuran PPh Pasal 25 sebesar Rp75.000,00 setiap bulannya.

 

*) Tulisan ini merupakan pendapat pribadi penulis dan bukan cerminan sikap instansi tempat penulis bekerja.