Oleh: Suyani, Pegawai Direktorat Jenderal Pajak

If you educate a man you educate a man, but if you educate a woman you educate a generation.

Al ummu madrasatul ula, ibu adalah sekolah utama, bila engkau mempersiapkannya, maka engkau telah mempersiapkan generasi terbaik.

Pepatah tersebut langsung terlintas begitu saya bertemu dan berinteraksi dengan Bidan Suprihatin. Sosok seorang ibu sekaligus bidan yang genap berusia 45 tahun pada tanggal 15 Maret 2018 lalu. Sehari-hari Bidan Suprihatin adalah PNS yang bertugas di sebuah Puskesmas di Kecamatan Kuwarasan, Kabupaten Kebumen, Jawa Tengah. Selepas berdinas di Puskesmas, Bidan Suprihatin masih mengabdikan diri melayani masyarakat dengan membuka praktik kebidanan mandiri di tempat tinggalnya. Statusnya yang sudah terdaftar sebagai Bidan Delima dan Surat Ijin Praktek Bidan yang sudah didapatkannya dari Dinas Kesehatan setempat, memungkinkan Bidan Suprihatin membuka praktik. Jenis layanan yang diberikan adalah pelayanan di bidang kesehatan dasar, antara lain: konsultasi kehamilan, persalinan normal, pemasangan alat kontrasepsi, pemasangan anting, imunisasi dan pelatihan memandikan bayi.

Kali ini kedatangannya ke Kantor Pelayanan Pajak adalah untuk berkonsultasi masalah pembayaran pajaknya. Putra bungsunya yang masih duduk di kelas empat bangku sekolah dasar diajak serta. Sengaja diajak agar si bungsu bisa belajar banyak hal, begitu penuturan Bidan Suprihatin. Kebetulan hari itu sedang libur sekolah. Di awal pertemuan, Bidan Suprihatin bercerita tentang dirinya yang sedang melanjutkan kuliah untuk meraih ijazah D IV Kebidanan di sebuah sekolah tinggi ilmu kesehatan. Jarak 40 km pulang-pergi ditempuhnya setiap dua hari sekali. Hal itu dilakukannya di sela-sela kesibukannya bertugas di Puskesmas dan melayani masyarakat di tempat prakteknya serta menjalani kewajiban sebagai seorang istri dan seorang ibu.

Dari penuturannya mengalir cerita suka dan duka Bidan Suprihatin mengabdi dan melayani masyarakat, yang kebanyakan adalah masyarakat kalangan menengah bawah. Tak jarang jasa layanan kebidanan yang tarifnya tak seberapa pun tak bisa dibayar oleh pasiennya. Akan tetapi, senyuman dan ucapan terima kasih dari pasien sudah cukup membuat Bidan Suprihatin tersenyum lebar dan bahagia. Nilai-nilai Bidan Delima yaitu kepatuhan pada standar pelayanan, tumbuh bersama, keterbukaan, profesionalisme dan kewirausahaan, selalu dipegang teguh olehnya.

Dikeluarkannya sebuah catatan. Daftar nama pasien, tanggal kedatangan, jumlah jasa yang diterima dan rekapitulasi per bulannya, lengkap! Tak lupa pengeluaran untuk pembelian obat-obatan dan perlengkapan dicatatnya. Dalam penjelasannya, Bidan Suprihatin menjelaskan alasan  mengapa saat ini praktik bidan mandiri-nya tidak seramai dulu. Hal tersebut disebabkan karena adanya kebijakan dari Dinas Kesehatan yang mengharuskan setiap proses kelahiran harus ditangani di Puskesmas untuk meminimalkan resiko.

Dengan sabar Bidan Suprihatin mendengarkan setiap kata demi kata penjelasan yang diberikan. Walaupun bidan notabene adalah tenaga medis, akan tetapi profesi bidan tidak termasuk dalam pengertian jenis pekerjaan bebas yang dikecualikan dari ketentuan yang diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 46 Tahun 2013. Dalam pasal 2 ayat (2) PP 46 Tahun 2013 dan dijelaskan lebih lanjut dalam pasal 2 ayat (3) Peraturan Menteri Keuangan Nomor 107/PMK.011/2013 yang merupakan petunjuk pelaksanaan atas pelaksanan PP Nomor 46 Tahun 2013, bahwa jenis jasa yang termasuk dalam pengertian pekerjaan bebas meliputi  tenaga ahli yang melakukan pekerjaan bebas, yang terdiri dari pengacara, akuntan, arsitek, dokter, konsultan, notaris, penilai, dan aktuaris; pembawa acara, penyanyi, pelawak, bintang film, bintang sinetron, bintang iklan, sutradara, kru film, foto model, peragawan/peragawati, pemain drama, dan penari; olahragawan; penasihat, pengajar, pelatih, penceramah, penyuluh, dan moderator; pengarang, peneliti, dan penerjemah; agen iklan; pengawas atau pengelola proyek; perantara; petugas penjaja barang dagangan; agen asuransi; dan distributor perusahaan pemasaran berjenjang (multilevel marketing) atau penjualan langsung (direct selling) dan kegiatan sejenis lainnya.

Suka tidak suka, mau tidak mau, pajak penghasilan yang harus dibayar Bidan Suprihatin dari usaha praktik bidan mandirinya adalah sebesar 1 persen dari penghasilan bruto/kotor yang diterima dari praktiknya setiap bulan. Tanpa memperhitungkan pengeluaran untuk pembelian obat dan perlengkapan yang sudah dikeluarkannya. Hal tersebut mengingat penghasilan bruto yang diperoleh Bidan Suprihatin tidak melebihi Rp 4,8 milyar, bahkan tidak ada seujung kukunya. Akan tetapi, kondisi tersebut tidak menyurutkan tekadnya untuk taat membayar pajak. Menurutnya, perhitungan tersebut malah membuat urusan perhitungan pajaknya menjadi sederhana, tanpa direpotkan dengan urusan angka-angka yang bukan menjadi keahliannya.

Bukan masalah besar kecil yang harus ia tunaikan, tetapi membayar pajak adalah persoalan tanggung jawabnya sebagai warga negara yang baik. Diakui oleh Bidan Suprihatin, selama ini banyak masyarakat yang terbantu mendapatkan layanan kesehatan di Puskesmas, utamanya dengan memanfaatkan Kartu Indonesia Sehat yang sumber pendanaannya tentu saja dari APBN, yang 85 persen penerimaannya disokong dari pajak.  

Singkat kata, melalui mini atm yang tersedia di Kantor Pelayanan Pajak, terbayar lunaslah pajak Bidan Suprihatin. Ekspresi lega terpancar dari raut wajahnya. Nilai pembayaran pajak Bidan Suprihatin mungkin tak seberapa dibandingkan dengan pembayaran pajak perusahaan konglomerasi yang ada. Akan tetapi, jika dibandingkan dengan masih rendahnya tingkat kesadaran sebagian wajib pajak di negeri ini, kehadiran sosok Bidan Suprihatin bagaikan sebuah oase. Semangat dan dedikasinya sungguh luar biasa.

Di akhir pertemuan, Bidan Suprihatin berkata kepada putranya, “Nak, hari ini engkau melihat Ibu menunaikan kewajiban Ibu sebagai warga negara, membayar pajak. Suatu saat, kelak saat engkau dewasa dan sudah menjadi orang sukses, engkau akan melakukan hal yang sama”. Ada binar cinta dimatanya. Cinta pada negeri dan ibu pertiwi, terlebih pada putranya yang terkasih.

Sungguh, saya begitu takjub dan terharu melihat suguhan tontonan di depan mata saya. Tanpa banyak kata, Bidan Suprihatin menunjukkan kualitas dirinya sebagai sekolah pertama bagi anaknya. Seandainya semua ibu melakukan hal yang sama, saya yakin Indonesia di masa yang akan datang akan berjaya. Menjadi tugas Direktorat Jenderal Pajak beserta 39.000 jajarannya tentunya, untuk dapat memberikan edukasi agar warga negara Indonesia sadar membayar pajak. Utamanya kepada perempuan Indonesia, si pemilik sekolah utama,  agar tercipta generasi sadar pajak. 

Teringat saya akan kisah perjalanan Jeff Bezos, pendiri dan pemilik Amazon.com dan salah satu orang terkaya di dunia tahun 2018 versi majalah Forbes. Saat usianya 16 tahun, Jeff Bezos pernah bekerja paruh waktu di sebuah restoran cepat saji. Menurutnya, kita bisa belajar mengenai banyak hal dari pekerjaan apapun, utamanya belajar soal tanggung jawab. Dengan syarat kita menganggap serius pekerjaan kita.

Hari itu saya banyak belajar dari Bidan Suprihatin, belajar tentang semangatnya. Semangat untuk terus belajar, semangat tak kenal lelah untuk berkarya dan semangat menjalani dengan sungguh-sungguh apa yang menjadi tanggung jawabnya. Tanggung jawab sebagai warga negara yang baik dan terlebih lagi tanggung jawab mempersiapkan generasi terbaik. Untuk Indonesia yang lebih baik! Jika bukan kita sendiri yang peduli, siapa lagi yang akan melakukannya?!

*) Tulisan ini merupakan pendapat pribadi penulis dan bukan cerminan sikap instansi penulis bekerja.