Berdiri di Puncak Kursi Kemandirian

Oleh Jose Mayer Sinaga, Nominasi I Lomba Artikel Pajak Nasional Direktorat Jenderal Pajak
"Go to hell with your aid" pekik Soekarno kepada Duta Besar Amerika Serikat yang datang ke sebuah rapat umum di Jakarta pada 25 Maret 1964. Presiden Soekarno tidak ingin bantuan atau pinjaman ditunggangi dengan agenda politik AS. Padahal bantuan tersebut merupakan utang yang harus dibayar kembali dengan segala bunganya. Konteks yang menyulut pernyataan tersebut memang banyak dilatari situasi politik dan keamanan pada saat itu, bukan aspek ekonomi semata. Namun, semangatnya masih relevan sampai dengan hari ini yaitu spirit untuk berdikari sebagai bangsa, berdiri diatas kaki sendiri.
Dalam bahasa akuntansi sederhana, berdikari atau kemandirian adalah jika penerimaan uang sama atau berimbang dengan pengeluaran uang yang dibelanjakan. Jika belanja lebih besar dari uang yang masuk akibatnya adalah selisih minus atau defisit. Pemerintah harus mencari sumber pembiayaan untuk membayar defisit ini atau yang dikenal dengan utang.
Sekitar 40 tahun kemudian sejak pidato bersejarah Bung Karno itu atau tahun 2005 lalu, mimpi untuk menghilangkan ketergantungan masih tersimpan rapi di angan-angan. Terbukti, menurut data Ditjen Pengelolaan Utang Kemenkeu, pada tahun itu persentase utang kita terhadap PDB masih tinggi yaitu 47,3 %. Artinya postur belanja kita masih disokong oleh bantuan dan pinjaman selama puluhan tahun. Penerimaan negara khususnya pajak selama kurun waktu tersebut belum mampu menafkahi keperluan belanja negara kita.
Walaupun harus dicatat bahwa masalah kemandirian tanpa utang ini tidak boleh dipikulkan hanya kepada gendang tunggal yaitu sisi penerimaan saja. It takes two to tango. Gendang lain yang bertanggungjawab adalah sisi pengeluaran. Di sisi pengeluaran, antara lain misalnya inefisiensi pembelanjaan yang tinggi dan subsidi yang terus membengkak. Namun, sembari memberesi masalah-masalah pada sisi pengeluaran tersebut, sisi penerimaan memiliki potensi yang luar biasa untuk dioptimalkan.
Prestasi Kursi Goyang
Direktorat Jenderal Pajak (DJP) sang pengemban amanah penerimaan terus berbenah diri. DJP menjawab “ketergantungan” ini dengan karya nyata. Lewat kerja keras dan berbagai usaha sistematis antara lain reformasi organisasi, amnesty policy (sunset policy), ekstensifikasi dan intensifikasi. Berbagai usaha tersebut membuahkan hasil. Penerimaan pajak pada 2006 dari sebesar 407 T menjadi 839 T di tahun 2011. Kenaikan penerimaan pajak dibandingkan dengan belanja negara bisa dibayangkan seperti garis kursi goyang. Pada tahun 2006 (titik lantai), kontribusi penerimaan pajak terhadap APBN hanya 61 % dari total belanja negara. Hanya dalam 2 tahun atau tahun 2008 angka ini meroket menjadi 67% (sandaran kaki). Kemudian mengalami penurunan pada tahun 2009 dan 2010 menjadi 66 % (duduk menurun) . Pada tahun ini persentase naik menjadi 70% (sandaran punggung). Pola titik lantai, sandaran kaki, duduk menurun dan sandaran punggung ini membentuk garis kursi goyang.
Pesatnya kenaikan angka persentase tersebut menunjukkan makin strategisnya pajak sebagai sumber dana negara. Padahal kita tahu lima tahun terakhir sampai hari ini adalah masa sulit ekonomi dunia yang menghasilkan rembesan ke dalam negeri. Prestasi penerimaan ini juga berkontribusi besar pada turunnya tingkat utang (debt to GDP) kita. Dengan cicilan utang yang dilakukan secara rajin dan disiplin -dibayar dari hasil pendapatan pajak- rasio utang turun secara drastis dari 47,3% menjadi hanya 26 % tahun ini dan di proyeksi 24 % tahun 2012. Tingkat utang (baca : ketergantungan) ini masuk ke dalam batas bawah kategori sangat aman menurut standard IMF dan Bank Dunia. Secara matematis, menurunnya rasio utang kita dan menaiknya rasio pajak terhadap PDB akan menghasilkan postur anggaran belanja yang semakin sehat dan mandiri. Apalagi jika rasio utang negara dibawah 10 persen dalam lima tahun mendatang maka dana hasil penarikan pajak dapat digunakan lebih leluasa untuk belanja yang produktif.
Tantangan Esok
Prestasi yang sudah diraih sampai hari ini patut membuat DJP berbangga diri namun tidak boleh lupa diri. Perjuangan layaknya perputaran bumi pada porosnya akan terus berputar tiada henti. Demikian juga masalah dan tantangan untuk mewujudkan kemandirian bangsa. Bila kita mengintip jendela tahun depan semakin berat tantangan yang dihadapi. RAPBN 2012 menantang DJP dengan angka 1.019,3 triliun rupiah atau dengan kontribusi 72% dari belanja. Angka ini sangat fantastis secara jumlah, nilai dan historis. Untuk pertama kali dalam sejarah Indonesia, penerimaan sektor pajak menembus angka Rp 1.000 Trilyun. Saya sempat menahan nafas dan berusaha mencari istilah angka 16 digit yang belum pernah saya dengar, kemudian menemukan “kuadriliun” dalam sistem bilangan. Jumlah ini setara dengan 2 kali total penerimaan Malaysia, sepertiga penerimaan pajak Australia dan 3 kali penerimaan pajak Thailand.
Menjawab Tantangan
Fantastisnya beban penerimaan di tahun depan dan tahun-tahun mendatang tentu saja membutuhkan usaha yang fantastis pula. Dengan cara business as usual dipastikan target penerimaan yang tinggi itu akan susah dicapai. Beberapa solusi yang sedang dijalankan cukup baik dan fundamental.
Yang pertama, reformasi jilid dua lewat proyek PINTAR (Project for Indonesian Tax Administration Reform). Melalui proyek ini, DJP secara internal akan mengalami transformasi ke level baru yakni menerapkan administrasi pajak yang efisien dan efektif berbasis sistem baru yang terintegrasi. Reformasi ini menggaransi keefisienan pegawai dalam bekerja, efektifitas pelayanan dan pengawasan kepatuhan wajib pajak.
Kedua adalah program ekstensifikasi dan intensifikasi yang dikemas dengan SPN (Sensus Pajak Nasional). Dalam jangka panjang pelaksanaan sensus ini merupakan terobosan bagus untuk meningkatkan kesadaran wajib pajak, memperkuat basis data DJP dan mengenal secara dekat profil wajib pajak.
Solusi lain yang belum terpikirkan secara baik adalah focusing penggalian potensi dari sektor-sektor yang sedang mengalami masa emas (golden time). Misalnya belakangan ini sektor energi pertambangan, perkebunan dan keuangan menjadi sektor idaman para investor dan menghasilkan gain yang luar biasa. Segala sumber daya dan kemampuan terbaik DJP sebaiknya dikerahkan untuk menangani sektor booming tersebut. Karena itu, dinamika organisasi termasuk dinamika SDM-nya juga harus lebih luwes. Selain dikonsentrasikan ke sektor-sektor potensial tersebut, SDM DJP seharusnya dikerahkan masif pada kantor operasional dan unit fungsi seperti pelayanan, pemeriksaan dan penagihan bukan di pekerjaan klerikal.
Mengikuti filosofi dan grafik kursi goyang, jika badan kita dorong ke depan, jika segenap energi ditumpu kedepan dan tidak kendur maka puncak kursi ini akan selalu mencapai posisi tertinggi penerimaan.
Wujud Kemandirian
Kesemua solusi diatas menuju satu hal yaitu pemenuhan penerimaan pajak yang optimal untuk kemandirian pembiayaan belanja negara. Karena belanja negara meliputi banyak sektor yaitu keamanan, kesehatan, pendidikan, kesejahteraan sosial, Infrastruktur dan pelayanan publik lainnya, maka misi penerimaan pajak DJP ini merupakan niat 24 karat untuk memandirikan segala aspek kehidupan negara.
Kemandirian keamanan yang tidak bergantung dengan bantuan dana militer akan menghilangkan potensi penyusupan agenda negara tertentu. Tentara kita bisa menjaga keamanan tanpa disusupi oleh misi negara lain. Kemandirian alat dan sistem persenjataan. Dari hasil pajak, gaji polisi akan memadai sehingga mampu menjaga ketertiban umum dan bersikap profesional kepada masyarakat.
Kemandirian kesehatan yang tidak bergantung dengan utang. Pengadaan dokter, perawat, bidan dan tenaga-tenaga kesehatan profesional, puskesmas gratis, rumah sakit murah, jaminan kesehatan, imunisasi dan obat-obatan yang terjangkau dibiayai dari hasil pajak.
Kemandirian pendidikan dimana biaya sekolah gratis di semua tingkatan. Tidak ada lagi anak-anak putus sekolah di lampu merah pada jam sekolah. Perbaikan gedung sekolah roboh yang tidak mengandalkan pinjaman debitur. Penelitian atau riset -sebagai ciri negara maju- dapat kita biayai dengan dana yang tak terbatas.
Usaha modal dan pemenuhan kesejahteraan usaha kecil tidak lagi dari pinjaman Bank Dunia. Kredit usaha kecil dan menengah dari dana pemerintah sendiri dengan bunga yang sangat rendah bahkan tanpa bunga.
Pengadaan pelabuhan di Aceh, bandara di Medan, Banjir Kanal di Jakarta, bendungan di Nusa Tenggara Barat, jalan di pedalaman Kalimantan, dan percepatan pembangunan infrastruktur di Papua dapat dibiayai secara mandiri dari pajak.
Optimisme dari Gatot Subroto
DJP bersama masyarakat Indonesia sudah di jalur yang benar untuk menuju tingkat kemandirian yang lebih tinggi. Sebagai negara dengan peringkat PDB terbesar ke-18 dunia dan masuk ke dalam forum bergengsi G20, Indonesia adalah salah satu negara yang terbaik rasio utangnya diantara negara anggota G20. Hal ini berkat gotong-royong masyarakat Indonesia membayar cicilan utang lewat pajak yang disetor ke negara.
Dengan prestasi less debt itu, kita bisa berdiri tegak seperti cara menatap gunung ketika berbicara dengan negara-negara besar. Kita bisa memasak belanjaan sendiri di dapur tanpa dipusingkan dengan debt collector mengetuk pintu rumah. Kita bisa memandangi bunga-bunga indah di taman rumah tanpa memikirkan mekarnya bunga utang.
Di cuaca Jakarta yang cerah, 16 Agustus 2011 lalu, Presiden SBY di hadapan rapat Paripurna DPR dengan suara tegas berkata “peningkatan pendapatan menjadi kunci kemandirian untuk membiayai pembangunan”. Kita sadari betul gembok-gembok “ketergantungan” itu ada pada pengemplang pajak, penggelap pajak dan penjahat pajak. Maka anak-anak kuncinya adalah dukungan masyarakat Indonesia, kebaikan para pembayar pajak dan persistensi upaya DJP.
Sepuluh tahun lalu di bulan Nopember, di tengah perekonomian yang suram, rakyat kita bermimpi agar bisa hidup mandiri lewat Visi 2020 yang diketuk oleh MPR. Pada hari ini kondisi anggaran kita sudah cerah. Sepuluh tahun kedepan, kita harus optimis mampu berdiri di posisi puncak kemandirian bahkan lebih dari capaian kemandirian. Tidak mustahil pada saatnya akan tiba tangan kita berada diatas dan pemimpin kita berkata pede “Can we help u, uncle Sam?” dengan gema melalui corong Direktorat Jenderal Pajak.
- 218 kali dilihat