Benarkah Pemeriksaan Bukti Permulaan Bertentangan dengan UUD 1945?

Oleh: Miko Danang Setyawan, pegawai Direktorat Jenderal Pajak
Tulisan ini berawal dari sebuah kasus uji materi (constitutional review) di Mahkamah Konstitusi. Kasus tersebut teregister dengan Nomor Perkara 83/PUU-XXI/2023 pada 27 Juli 2023. Dalam perkara tersebut, pemohon dengan amat yakin melakukan uji materi terhadap Pasal 43A ayat (1) dan ayat (4) dalam Pasal 2 Angka 13 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP), yang berkaitan dengan Pemeriksaan Bukti Permulaan. Singkatnya begini, menurut pemohon, Pemeriksaaan Bukti Permulaan dinilai sama dengan penyidikan berdasarkan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) karena terdapat upaya paksa seperti yang dilakukan dalam penyidikan. Selain itu, pemohon juga mempersoalkan pendelegasian materi tentang Pemeriksaan Bukti Permulaan di dalam sebuah peraturan menteri --yang dimaksud adalah Peraturan Menteri Keuangan Nomor PMK-177/PMK.03/2022 tentang Tata Cara Pemeriksaan Bukti Permulaan di Bidang Perpajakan-- bukan di dalam peraturan pemerintah.
Lazimnya, setiap penguji pasti selalu yakin bahwa pendapatnya adalah pendapat yang benar. Semua hanya menunggu bagaimana nantinya Majelis Hakim memutuskan benar atau salah, sehingga perkara tersebut berkekuatan hukum tetap. Sembari menunggu putusan tersebut, bagaimana jika kita bermain peran, sidang pembaca yang budiman menjadi hakim atas kasus tersebut? Tentunya dengan sederet fakta yang akan penulis sajikan berikut ini.
Tentu saja tulisan ini tidak bermaksud "trial by the press" atau bikin pengadilan tandingan melalui media massa. Penulis sebagai pribadi tetap menghormati jalannya sidang dan wewenang Majelis Hakim yang Mulia dalam merumuskan putusan, serta penulis yakin bahwa Majelis Hakim akan memutuskan perkara ini dengan seadil-adilnya.
Antara Penyidikan dan Pemeriksaan Bukti Permulaan
Kita mulai dari definisi. Menurut Pasal 1 Angka 2 KUHAP, penyidikan adalah serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang KUHAP untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya. Sementara itu, penyelidikan sebagaimana dalam Pasal 1 Angka 5 KUHAP adalah serangkaian tindakan penyelidik untuk mencari dan menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana guna menentukan dapat atau tidaknya dilakukan penyidikan menurut cara yang diatur dalam undang-undang KUHAP. Menurut KUHAP, penyelidik nantinya akan melaporkan hasil tindakannya kepada penyidik --sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2).
Bagaimana dengan Pemeriksaan Bukti Permulaan? Berdasarkan Pasal 1 Angka 9 PMK-177/PMK.03/2022, Pemeriksaan Bukti Permulaan adalah pemeriksaan yang dilakukan untuk mendapatkan bukti permulaan tentang adanya dugaan telah terjadi tindak pidana di bidang perpajakan.
Berdasarkan definisi-definisi itu saja, penulis sudah mendapatkan pandangan awal bahwa Pemeriksaan Bukti Permulaan memiliki definisi yang justru lebih dekat dengan definisi penyelidikan, bukan penyidikan. Hal ini karena ia memiliki tujuan dan kedudukan yang sama. Pandangan tersebut semakin dikuatkan oleh Pasal 43A ayat (1) UU HPP yang menyebutkan bahwa Direktur Jenderal Pajak berdasarkan informasi, data, laporan, dan pengaduan berwenang melakukan pemeriksaan bukti permulaan sebelum dilakukan penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan. Pemeriksaan Bukti Permulaan dapat ditindaklanjuti dengan kegiatan penyidikan apabila ditemukan Bukti Permulaan Tindak Pidana di Bidang Perpajakan dan Wajib Pajak tidak melakukan pengungkapan ketidakbenaran sesuai ketentuan.
Lantas, bagaimana dengan tindakan-tindakan Pemeriksaan Bukti Permulaan seperti meminjam dan memeriksa buku atau catatan, mengakses dan/atau mengunduh data, memasuki dan memeriksa tempat atau ruangan tertentu, bukankah itu ada upaya paksa sehingga merampas hak-hak warga negara?
Ahli hukum pidana yang menjadi saksi ahli dalam sidang Mahkamah Konstitusi 7 November 2023 terkait perkara tersebut, Ahmad Sofian, mengatakan penyelidikan dalam konteks UU HPP atau yang namanya Pemeriksaan Bukti Permulaan adalah sebuah batasan untuk memastikan apakah suatu peristiwa tersebut merupakan tindak pidana di bidang perpajakan, sebelum dinaikkan ke tahap penyidikan. Dalam Pemeriksaan Bukti Permulaan, tindakan-tindakan seperti meminjam buku atau catatan, memasuki dan memeriksa tempat atau ruangan tertentu dilakukan berdasarkan izin Wajib Pajak bukan dengan pemaksaan.
Berkaca pada Putusan MA
Oleh sebab itu, tidak mengherankan jika Mahkamah Agung RI, atas permohonan uji materi PMK-177/PMK.03/2022 telah memutuskan melalui Putusan Nomor 25/P/HUM/2023 yang pada amar putusannya menolak permohonan Uji Materi atas PMK 177/PMK.03/2022 tersebut. Pertimbangan hukum Mahkamah Agung sangat jelas dan tegas, di antaranya adalah:
“Bahwa Pemeriksaan Bukti Permulaan memiliki tujuan dan kedudukan yang sama dengan penyelidikan…;
Bahwa pelaksanaan Pemeriksaan Bukti Permulaan bukan merupakan tahap penyidikan (pro justitia) yang dapat dipersamakan dengan upaya paksa penggeledahan dan penyitaan sebagaimana dalam KUHAP. Tindakan yang dilakukan oleh Pemeriksa Bukti Permulaan yang meminjam buku atau catatan, mengakses dan/atau mengunduh data, dan tindakan lainnya sebagaimana diatur dalam Pasal 8 ayat (3) objek permohonan keberatan a quo bukan merupakan upaya paksa yang merampas kebebasan orang atau badan (Wajib Pajak) yang diperiksa mengingat seluruh proses tersebut baru dapat dilakukan setelah adanya persetujuan, izin, dari Wajib Pajak. Dengan demikian, tidak terdapat perampasan kebebasan yang dilakukan terhadap orang atau badan yang dilakukan pada saat Pemeriksaan Bukti Permulaan. Oleh karena itu, materi muatan norma Pasal 8 ayat (3), dan Pasal 8 ayat (5) tidaklah bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.”
Kemudian, bagaimana dengan pendelegasian wewenang Pemeriksaan Bukti Permulaan dalam sebuah peraturan menteri bukan dalam peraturan pemerintah?
Ahli Hukum Tata Negara yang juga hadir dalam sidang 7 November 2023 tersebut, Zainal Arifin Mochtar, menyatakan bahwa dari kacamata hukum tata negara, UU HPP (termasuk pengaturan mengenai tindak pidana di bidang perpajakan) dikualifikasikan sebagai undang-undang yang memiliki karakteristik khusus yang lebih bersifat sistematis (lex specialis systematis). Pemberian wewenang kepada Menteri Keuangan untuk mengatur teknis pelaksanaan dari UU HPP adalah hal yang sudah benar dan lazim dilakukan pembentuk undang-undang.
Jadi, bagaimana menurut pembaca sebagai "Majelis Hakim yang Terhormat", apakah objek permohonan uji materi a quo merampas hak warga negara dan ada upaya paksa, sehingga bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945)? Atau menolak permohonan pemohon dan memutuskan bahwa materi a quo tidak bertentangan dengan UUD 1945?
*) Artikel ini merupakan pendapat pribadi penulis dan bukan cerminan sikap instansi tempat penulis bekerja.
Konten yang terdapat pada halaman ini dapat disalin dan digunakan kembali untuk keperluan nonkomersial. Namun, kami berharap pengguna untuk mencantumkan sumber dari konten yang digunakan dengan cara menautkan kembali ke halaman asli. Semoga membantu.
- 264 kali dilihat