Begini Cara Melaporkan Harta dalam SPT Tahunan agar Menguntungkan dan Sesuai Ketentuan

Oleh: Yulina Tri Atikasari, pegawai Direktorat Jenderal Pajak
Saat ini, kita memasuki periode pelaporan Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan. Salah satu hal yang perlu dilaporkan dalam SPT Tahunan adalah data kepemilikan harta wajib pajak. Tidak jarang ditemui, sebagian wajib pajak hanya melaporkan sebagian harta yang dimilikinya. Alasannya bisa jadi karena takut semakin banyak harta yang dilaporkan, semakin banyak pula pajak yang harus dibayarkan. Sebenarnya kekhawatiran --tepatnya kekurangtahuan-- tersebut justru makin menyulitkan Kawan Pajak di kemudian hari. Melaporkan seluruh harta sesuai dengan kondisi yang sebenarnya justru sebagai solusi yang tepat. Lalu, apa sebenarnya tujuan pelaporan harta pada SPT Tahunan? Bagaimana cara melaporkan harta di SPT Tahunan supaya menguntungkan Kawan Pajak serta sesuai ketentuan, dan tidak menyusahkan di kemudian hari? Simak penjelasan berikut, ya.
Tujuan Pelaporan Harta
Kewajiban pelaporan kepemilikan harta dalam SPT Tahunan diatur dalam Pasal 3 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (UU KUP) sebagaimana telah diubah beberapa kali terakhir dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja menjadi Undang-Undang (UU Ciptaker), yang menyatakan bahwa SPT harus disampaikan dengan benar, lengkap, dan jelas. Dalam penjelasan pasal tersebut, disebutkan bahwa salah satu fungsi SPT adalah untuk melaporkan harta dan kewajiban.
Untuk mengetahui cara melaporkan harta yang paling menguntungkan, Kawan Pajak harus tahu terlebih dahulu apa tujuan Direktorat Jenderal Pajak (DJP) meminta Kawan Pajak untuk melaporkan harta pada SPT tahunan. Ternyata, harta yang Kawan Pajak laporkan tidak akan serta-merta mempengaruhi jumlah pajak yang harus Kawan Pajak bayarkan. Mengapa demikian? Pada dasarnya, dasar pengenaan pajak penghasilan adalah tambahan penghasilan, bukan tambahan harta. Pelaporan harta dalam SPT Tahunan bukan digunakan untuk menambah pajak yang Kawan Pajak bayarkan, melainkan untuk menilai kewajaran penghitungan pajak berdasarkan jumlah penghasilan yang Kawan Pajak cantumkan dalam SPT Tahunan. Fiskus atau petugas pajak akan menggunakan data harta tersebut sebagai pembanding jumlah penghasilan yang Kawan Pajak laporkan dalam SPT Tahunan. Hasil pembandingan tersebut juga dapat digunakan untuk meneliti kepatuhan kewajiban perpajakan yang berkaitan dengan perolehan atau pelepasan harta dalam SPT Tahunan.
Cara Pelaporan
Setelah mengetahui tujuan pelaporan harta, dapat disimpulkan bahwa cara yang paling menguntungkan dan sesuai ketentuan dalam melaporkan harta adalah dengan melaporkan semua harta yang Kawan Pajak miliki menurut keadaan yang sebenarnya. Dengan begitu, penghasilan dan pembayaran pajak yang Kawan Pajak laporkan juga akan terbaca wajar. Soalnya, pada dasarnya penghasilan yang Kawan Pajak dapatkan setelah dikurangi dengan perkiraan biaya hidup merupakan representasi dari jumlah tambahan harta yang Kawan Pajak miliki. Bukti bahwa melaporkan harta sesuai keadaan sebenarnya merupakan cara yang paling menguntungkan, dan dapat disimak melalui penjelasan berikut.
Ketidaksesuaian pelaporan harta pada suatu tahun akan berimbas pada ketidaksesuaian pelaporan harta pada tahun-tahun berikutnya. Jika harta yang tidak dilaporkan pada suatu tahun kemudian dilaporkan di suatu tahun yang akan datang, penghasilan yang dilaporkan dalam SPT Tahunan tahun yang akan datang tersebut akan terbaca tidak wajar atau tidak sebanding dengan nilai perolehan harta pada tahun tersebut. Akibatnya, DJP dapat mempertanyakan dari mana sumber penghasilan untuk memperoleh harta tersebut. Jadi, daripada menimbulkan masalah di kemudian hari, lebih baik Kawan Pajak melaporkan semua harta sesuai keadaan sebenarnya.
Hingga saat ini, DJP telah menjalin kerja sama dengan 69 instansi pemerintah, lembaga, asosiasi, dan pihak lain (ILAP) seperti Badan Pertanahan Nasional (BPN), Pemerintah Daerah, Bank Indonesia, dan lain-lain. Perincian jenis data yang dipertukarkan dan daftar pihak ketiga tersebut dapat dilihat dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 228/PMK.03/2017 tentang Rincian Jenis Data dan Informasi serta Tata Cara Penyampaian Data dan Informasi yang Berkaitan dengan Perpajakan. Dengan semakin kuatnya basis informasi data transaksi wajib pajak yang dimiliki oleh DJP, sepandai-pandainya Kawan Pajak menyembunyikan harta, pada akhirnya DJP akan dapat menemukannya.
Jika DJP menemukan indikasi ketidaksesuaian dalam pelaporan SPT Tahunan Kawan Pajak, DJP akan menerbitkan Surat Permintaan Penjelasan atas Data dan/atau Keterangan (SP2DK). Atas SP2DK tersebut, Kawan Pajak perlu menyampaikan tanggapan berisi penjelasan atau klarifikasi atas indikasi ketidakpatuhan yang ditemukan oleh DJP. Jadi, itulah alasan mengapa pelaporan harta sesuai keadaan sebenarnya merupakan cara yang paling menguntungkan. Mari menjadi wajib pajak yang bijak, laporkan semuanya dengan benar, hati pun tenang.
*) Artikel ini merupakan pendapat pribadi penulis dan bukan cerminan sikap instansi tempat penulis bekerja.
Konten yang terdapat pada halaman ini dapat disalin dan digunakan kembali untuk keperluan nonkomersial. Namun, kami berharap pengguna untuk mencantumkan sumber dari konten yang digunakan dengan cara menautkan kembali ke halaman asli. Semoga membantu.
- 3497 kali dilihat