Oleh: Eko Priyono, pegawai Direktorat Jenderal Pajak

Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS, 2007–2024), sejak 2007 hingga 2024, beras selalu menduduki predikat pertama dari jenis bahan makanan yang paling banyak dikonsumsi penduduk Indonesia. Rata-rata konsumsi per kapita seminggu beras selalu menyentuh di atas angka 1,5 kg. Angka tersebut jauh di atas jenis bahan makanan lain seperti jagung, ketela, dan gaplek yang “hanya” di bawah 0,5 kg. Beras merupakan kebutuhan pokok yang sangat penting bagi masyarakat Indonesia.

Sebagai makanan utama bagi mayoritas penduduk, keberadaan beras dengan harga terjangkau lantas menjadi aspek vital dalam menjaga kestabilan sosial dan ekonomi. Untuk itu, pemerintah menetapkan beras sebagai barang kena pajak (BKP) tertentu yang bersifat strategis, di samping barang kebutuhan pokok yang lain. Hal ini diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 49 Tahun 2022 tentang Pajak Pertambahan Nilai Dibebaskan dan Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah Tidak Dipungut atas Impor dan/atau Penyerahan Barang Kena Pajak Tertentu dan/atau Penyerahan Jasa Kena Pajak Tertentu dan/atau Pemanfaatan Jasa Kena Pajak Tertentu dari Luar Daerah Pabean (PP 49/2022).

Kebijakan ini memberikan fasilitas pembebasan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) atas impor maupun penyerahan domestik beras, dengan tujuan meringankan beban masyarakat sekaligus menjaga stabilitas harga pangan. Dengan demikian, harga beras tetap terjaga dan terjangkau, terutama di tengah situasi ekonomi yang penuh tantangan seperti inflasi dan gangguan rantai pasok global.

Kebijakan ini juga memberikan kelegaan yang signifikan bagi masyarakat, terutama mereka yang berada di lapisan ekonomi rentan. Dengan dihapuskannya komponen PPN pada beras, masyarakat memiliki lebih banyak ruang dalam mengelola anggaran rumah tangga guna memenuhi kebutuhan esensial lainnya, seperti pendidikan dan kesehatan.

Jelas saja, manfaat ini tidak hanya dirasakan oleh konsumen akhir, tetapi juga oleh pelaku usaha yang bergerak di sektor distribusi beras. Fasilitas pembebasan PPN diberikan tanpa mensyaratkan surat keterangan bebas (SKB), sebagaimana diatur dalam Pasal 9 ayat (2) PP 49/2022. Langkah ini dapat membuat distribusi beras menjadi lebih efisien, tanpa proses administrasi yang berbelit-belit. Tanpa syarat SKB PPN, proses pengiriman barang dapat berlangsung dengan lebih lancar, meskipun mereka tetap diwajibkan untuk membuat faktur pajak dan melaporkannya melalui Surat Pemberitahuan (SPT) Masa PPN apabila tergolong sebagai Pengusaha Kena Pajak (PKP).

Bagi PKP, pembuatan faktur pajak dengan penggunaan kode faktur 08 untuk transaksi yang mendapatkan fasilitas pembebasan PPN adalah hal yang wajib. Faktur pajak ini harus dibuat melalui aplikasi e-Faktur sesuai ketentuan dalam Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-03/PJ/2022 tentang Faktur Pajak sebagaimana telah diubah dengan PER-11/PJ/2022 (PER Faktur Pajak). Hal ini menegaskan bahwa meskipun ada pembebasan PPN, PKP tetap memiliki kewajiban administrasi yang harus dipatuhi.

Namun, dalam transaksi dengan konsumen akhir, PKP penjual dapat menggunakan faktur pajak digunggung yang lebih sederhana, sebagaimana diatur dalam Pasal 25 ayat (2) PER Faktur Pajak. Kebijakan ini memberikan fleksibilitas bagi PKP, terutama dalam menghadapi dinamika perdagangan modern yang semakin berkembang, termasuk melalui platform daring.

Dengan meningkatnya tren perdagangan elektronik, penjualan beras melalui platform daring menjadi semakin populer. Dalam konteks ini, penggunaan faktur pajak digunggung mempermudah pelaku usaha untuk tetap mematuhi peraturan tanpa harus menanggung beban administrasi yang berat. Hal ini penting untuk menjaga efisiensi sekaligus memastikan agar transaksi tetap transparan dan terdokumentasi dengan baik.

Namun, pelaksanaan kebijakan ini juga menghadapi tantangan, terutama dalam aspek edukasi kepada para PKP yang belum sepenuhnya memahami kewajiban administrasi perpajakan. Dalam banyak kasus, para PKP sering kali mengalami kesulitan dalam memahami teknis pelaporan PPN melalui aplikasi e-Faktur. Oleh karena itu, diperlukan edukasi yang inklusif agar seluruh PKP dapat memanfaatkan fasilitas pembebasan PPN sesuai dengan ketentuan yang berlaku.

Selain itu, pemerintah perlu memastikan bahwa kebijakan ini tidak disalahgunakan oleh oknum yang ingin mencari keuntungan besar di tengah ketidakstabilan pasar. Sebagai contoh, dalam situasi kelangkaan, pembebasan PPN beras dapat dimanfaatkan oleh spekulan untuk menimbun barang dan menaikkan harga secara tidak wajar. Oleh karena itu, pengawasan dan evaluasi kebijakan secara berkala menjadi kunci untuk memastikan bahwa tujuan utama dari kebijakan ini tercapai.

Dalam jangka panjang, pembebasan PPN atas beras menunjukkan komitmen pemerintah untuk menjaga keseimbangan ekonomi dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Namun, kebijakan ini juga perlu dilengkapi dengan langkah-langkah lain yang mendukung sektor produksi beras, seperti pemberian subsidi langsung kepada petani, pengembangan teknologi pertanian, dan perbaikan infrastruktur distribusi. Dengan cara ini, pemerintah dapat menciptakan ekosistem pangan yang lebih tangguh dan berkelanjutan.

Kesimpulannya, pembebasan PPN atas beras adalah langkah strategis yang berdampak positif bagi masyarakat luas, baik dari sisi konsumen maupun pelaku usaha. Kebijakan ini tidak hanya memberikan manfaat ekonomi jangka pendek, tetapi juga mendukung pembangunan yang inklusif dan berkelanjutan. Dengan sinergi yang baik antara pemerintah, pelaku usaha, dan masyarakat, diharapkan kebijakan ini dapat terus berkontribusi dalam menciptakan stabilitas ekonomi dan kesejahteraan bagi seluruh rakyat Indonesia.

 

*)Artikel ini merupakan pendapat pribadi penulis dan bukan cerminan sikap instansi tempat penulis bekerja.

Konten yang terdapat pada halaman ini dapat disalin dan digunakan kembali untuk keperluan nonkomersial. Namun, kami berharap pengguna untuk mencantumkan sumber dari konten yang digunakan dengan cara menautkan kembali ke halaman asli. Semoga membantu.