Bebas Bersyarat

Oleh: Bayu Arti Nugraheni, Pegawai Direktorat Jenderal Pajak
"Bebas Parkir", tulisan itu terpampang jelas di halaman sebuah instansi pemerintah yang kami tuju. Dari dalam mobil kami bertiga mencoba mereka-reka maksud tulisan ini. Berarti kita boleh parkir di sini atau harus mencari tempat parkir di koridor lain? 'Bebas Parkir' itu artinya bebas mau parkir di mana saja dan tanpa perlu membayar atau justru area ini adalah area yang tidak boleh dipergunakan untuk tempat parkir? Akhirnya kami bertiga sepakat untuk menerjemahkan tulisan "Bebas Parkir"ini sebagai pernyataan bahwa kami boleh parkir di tempat ini karena ada mobil lain yang kebetulan sudah parkir lebih dahulu tak jauh dari tempat kami berhenti.
"Area Bebas Merokok!" nah kalau tulisan yang ini mungkin kita lebih mudah mengartikannya. Tidak perlu mencari-cari makna yang ambigu, cukup lihat saja gambar yang terpampang, biasanya di sisi kiri tulisan ini tertera gambarnya. Jika yang tampak adalah gambar rokok tanpa coretan, berarti siapa pun dapat merokok di tempat ini. Kalau gambar yang ditampilkan berupa rokok dalam lingkaran merah dengan garis menyilang atau sekadar mencoret gambar rokok tersebut, dapat dipastikan maksud tulisan itu adalah siapa pun tidak diperkenankan merokok di tempat ini.
"Bebas Pajak!" kemudian ada gambar perumahan bagus melatarbelakangi tulisan tersebut. Apa maknanya? Pasti Anda sependapat dengan saya bahwa itu artinya tidak ada pajak yang perlu dibayar. Titik. Tidak ada makna yang ambigu atas tulisan itu. Singkat, padat, dan tanpa bias makna.
Tentu lebih menarik membahas tulisan "Bebas Pajak" dibanding tulisan "Bebas Merokok" atau "Bebas Parkir". Apalagi kalau tulisan itu tercantum di iklan properti, semakin tampak menarik lah iklan itu.
Sebuah transaksi pengalihan hak atas tanah dan bangunan menimbulkan kewajiban pembayaran pajak dari masing-masing pihak yang bertransaksi. Apabila transaksi ini berupa jual beli rumah misalnya, maka pihak yang melakukan peralihan hak, dalam hal ini penjual akan menanggung Pajak Penghasilan Final Pengalihan hak atas Tanah dan Bangunan sebesar 2,5% dari nilai peralihan atau nilai transaksi.
Bahasa sederhananya pajak tersebut merupakan pajak atas penghasilan yang diterima oleh penjual. Berdasarkan PER-30/PJ/2009 tanggal 27 April 2009, Pasal 2, yang dikecualikan dari kewajiban pembayaran atau pemungutan Pajak Penghasilan atas penghasilan dari pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan, dalam hal transaksi jual beli adalah orang pribadi yang mempunyai penghasilan di bawah Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) yang melakukan pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan dengan jumlah bruto pengalihan kurang dari Rp60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah).
Pengecualian dari kewajiban pembayaran atau pemungutan Pajak Penghasilan atas penghasilan dari pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan atas transaksi tersebut diberikan dengan penerbitan Surat Keterangan Bebas Pajak Penghasilan atas penghasilan dari pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan. Wajib pajak yang melakukan pengalihan hak harus mengajukan permohonan Surat Keterangan Bebas tersebut ke Kantor Pelayanan Pajak. Jika Anda tidak termasuk kriteria berpenghasilan di bawah PTKP dan tanah dan/atau bangunan yang dijual harganya di atas Rp60.000.000,- dapat dipastikan ada Pajak Penghasilan yang harus dibayarkan dari transaksi tersebut.
Sedangkan pihak yang menerima peralihan hak, dalam hal ini pembeli, menanggung Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan sebesar 5% dari Nilai Transaksi setelah dikurangi Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak (NPOPTKP). NPOPTKP antara satu daerah dengan daerah lain bisa jadi berbeda, hal itu dituangkan dalam Peraturan Daerah masing-masing kota/kabupaten. Di daerah tempat saya tinggal, ditetapkan NPOPTKP sebesar Rp60.000.000,- Sehingga jika terjadi transaksi jual beli tanah dan atau bangunan senilai Rp100.000.000,- sedangkan Nilai Jual Objek Pajak Pajak Bumi dan Bangunan (NJOP PBB) senilai Rp80.000.000,- maka perhitungan Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan adalah sebagai berikut :
Nilai Perolehan Objek Pajak Rp 100.000.000,-
(menggunakan angka yang lebih tinggi antara
Harga transaksi/Nilai pasar dengan NJOP PBB)
Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak (NPOPTKP) Rp 60.000.000,-
Nilai Perolehan Objek Pajak Kena Pajak (NPOPKP) Rp 40.000.000,-
Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan yang terutang
(5% x NPOPKP) Rp 2.000.000,-
Jika ternyata di brosur rumah yang Anda pegang ternyata Bebas BPHTB-nya juga, berarti harga rumah yang dicantumkan dalam Akta Jual Beli di bawah NPOPTKP daerah Anda. Sudah sesuaikah harga di Akte Jual Beli tersebut dengan harga transaksi yang sebenarnya? Kalau memang sudah sesuai, Anda boleh bernafas lega menikmati fasilitas bebas yang satu ini. Dan perlu diingat, bukan developer yang memberi Anda fasilitas bebas yang ini, tetapi Peraturan Daerah setempat lah yang membebaskan Anda.
Di samping itu pada kondisi tertentu -misalnya penjualan properti dari pengembang perumahan- ada juga Pajak Pertambahan Nilai (PPN) yang dibayarkan oleh pembeli tetapi dipungut oleh penjual yang terdaftar sebagai Pengusaha Kena Pajak (PKP). Karena kewajiban pembayaran PPN itu berada pada konsumen akhir, biasanya penjual memasukkan nilai PPN tersebut dalam harga jual rumah yang ditawarkan, sehingga harga yang dibayar oleh pembeli adalah harga yang sudah termasuk PPN.
Nah dari uraian di atas, masih menarikkah iklan "Bebas Pajak" yang ditampilkan di billboard iklan perumahan yang sering terpampang di pinggir-pinggir jalan?
Lebih dari 70% pendapatan negara ini disokong dari sektor perpajakan. Mari bersama-sama membangun negara ini dengan membayar pajak! Mewujudkan pengharapan Indonesia yang sejahtera. Membuat Indonesia terbebas dari segala hal yang menghambat terwujudnya kesejahteraan itu. "Bebas Kebodohan"........"Bebas Kemiskinan"......!(*)
*) Tulisan adalah pendapat pribadi dan tidak mencerminkan kebijakan instansi di mana penulis bekerja
- 2292 kali dilihat