Oleh: Putu Dian Pusparini, pegawai Direktorat Jenderal Pajak

Pajak Pertambahan Nilai (PPN) adalah pungutan yang dikenakan atas transaksi penyerahan Barang Kena Pajak (BKP) dan/atau Jasa Kena Pajak (JKP) yang dilakukan oleh Wajib Pajak Orang Pribadi dan/atau Wajib Pajak Badan yang telah menjadi Pengusaha Kena Pajak (PKP).

PPN dibebankan kepada konsumen terakhir dalam rantai distribusi. Direktorat Jenderal Pajak (DJP) bekerja sama dengan pihak ketiga sebagai pemungut PPN. Pihak ketiga tersebut adalah Pengusaha Kena Pajak (PKP).

Berdasarkan Pasal 1 Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009 tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah,  PKP adalah pengusaha yang melakukan penyerahan Barang Kena Pajak  dan/atau  penyerahan  Jasa  Kena Pajak yang dikenai pajak berdasarkan Undang-Undang PPN Tahun 1984 dan perubahannya. Jikalau diibaratkan dalam kehidupan sehari-hari, jika kita berbelanja sabun di sebuah supermarket dan dikenakan PPN 10%, maka supermarket tersebutlah yang disebut dengan PKP.

 

Siapa saja yang berhak menjadi PKP?

Sebagai pemungut pajak tentu saja ada persyaratannya. Ada beberapa kriteria wajib pajak yang diharuskan untuk menjadi PKP. Wajib pajak dengan omzet atau peredaran bruto dalam satu tahun buku mencapai Rp4,8 miliar diwajibkan untuk menjadi PKP. Sedangkan wajib pajak dengan omzet di bawah Rp4,8 miliar diperbolehkan memilih menjadi PKP.
 

Setelah mengajukan pengukuhan PKP di Kantor Pelayanan Pajak (KPP), calon PKP akan melewati survei yang dilakukan oleh KPP dalam proses menyetujui dan menetapkan pengukuhan PKP. Mengapa wajib pajak dengan omzet di bawah batasan (threshold) PKP diperbolehkan untuk memilih menjadi PKP? Dari sudut pandang DJP, DJP memiliki keuntungan yaitu bertambahnya PKP akan menyebabkan bertambahnya pemungut PPN dan otomatis akan menambah peluang meningkatkan penerimaan pajak dari PPN. Sedangkan dari sudut pandang calon PKP, calon PKP juga memiliki keuntungan yaitu dapat mengkreditkan Pajak Masukan yang telah dibayarkan dengan Pajak Keluaran.

Bagi masyarakat awam yang tidak mengenal istilah Pajak Masukan dan Pajak Keluaran, Pajak Masukan (PM) adalah PPN yang telah dibayarkan kepada penjual, sedangkan Pajak Keluaran (PK) adalah pajak yang dipungut kepada pembeli. Jika wajib pajak menjadi PKP, ia akan memperoleh fasilitas untuk dapat mengkreditkan Pajak Masukan yang telah ia bayar kepada penjual sebelumnya atas pembelian barang kena pajak dan/atau jasa kena pajak dengan Pajak Keluaran yang ia pungut kepada pembeli barang kena pajak dan/atau jasa kena pajak tersebut. Secara tidak langsung, wajib pajak PKP ini tidak perlu menanggung PPN atas barang dan/atau jasa dagangannya. Penanggung PPN ini adalah konsumen terakhir.

 

Batasan omzet PKP diturunkan

Seperti yang kita ketahui, semakin ke depan tuntutan penerimaan negara akan semakin tinggi, ditambah lagi pandemi Covid-19 sejak tahun 2020 telah melemahkan perekonomian. Banyak pegawai yang di-PHK, banyak perusahaan baik kecil atau besar ditutup, banyak usahawan gulung tikar, semuanya mengakibatkan penerimaan negara dari sektor pajak menurun. Sebagai rencana ke depan, Kementerian Keuangan melalui Direktorat Jenderal Pajak bertekad untuk mengoptimalkan penerimaan pajak tahun 2021.

Berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor PMK-197/PMK.03/2013 tentang Batasan Pengusaha Kecil Pajak Pertambahan Nilai, Batasan (threshold) PKP menjadi Rp4,8 miliar yang sebelumnya adalah Rp600 juta. Tujuan awal dinaikkannya batasan omzet ini adalah agar wajib pajak usahawan fokus menggunakan skema PPh Final berdasarkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 46 Tahun 2013 dan tidak begitu dipusingkan dengan kewajiban PPN-nya.

Namun, setelah 7 tahun berjalan dan jika dibandingkan dengan negara-negara lain, batasan di Indonesia termasuk yang tertinggi. Jika batasan omzet ini diturunkan berpotensi meningkatkan penerimaan pajak dari jenis PPN karena jangkauan pemungut PPN akan semakin luas. Bayangkan jika batasan diturunkan artinya wajib pajak yang melakukan penyerahan BKP dan/atau JKP yang memiliki omzet kecil pun diwajibkan jadi PKP dan diwajibkan memungut PPN atas konsumennya. Hal ini berdampak baik bagi peningkatan potensi PPN, tetapi di lain hal juga menyusahkan wajib pajak.

Sebagaimana yang kita ketahui, Indonesia sedang berusaha bangkit dari keterpurukan ekonomi akibat pandemi. Banyak usahawan yang baru mulai atau kembali memulai usahanya lagi. Apabila wajib pajak ini diwajibkan menjadi PKP karena batasan omzet PKP yang kecil, maka mereka akan diwajibkan memungut PPN. Hal ini bisa mengakibatkan barang/jasa dagangan mereka lebih mahal 10% dibandingkan dengan usahawan lainnya yang bukan PKP terutama bagi pengusaha mikro dan kecil.

Memang dalam membuat suatu keputusan tidak akan menyenangkan semua pihak. Di satu sisi penurunan batasan omzet PKP akan memperluas jangkauan wajib pajak wajib PKP yang otomatis memberikan peningkatan potensi penerimaan pajak jenis PPN, tetapi di lain pihak hal ini akan memberatkan usahawan mikro dan kecil karena akan kalah saing dengan wajib pajak bukan PKP. Sampai dengan dibuatnya tulisan ini, pemerintah belum menetapkan peraturan terkait penurunan batasan omzet PKP.

*)Artikel ini merupakan pendapat pribadi penulis dan bukan cerminan sikap tempat penulis bekerja.