Oleh : Ujang Sobari, Direktorat Jenderal Pajak

Ingar bingar Amnesti Pajak baru saja berlalu dengan pilihan prosentase dana tebusan yang berbeda dan adanya tarif khusus untuk pelaku UMKM. Animo masyarakat yang sangat tinggi dan rela antre panjang di detik-detik terakhir batas waktu tiap periode menunjukkan adanya partisipasi yang sangat tinggi dari warga negara. Dana segar yang berhasil dikumpulkan mencapai Rp147 triliun dari target Rp165 triliun, tentunya merupakan keberhasilan yang perlu diapresiasi. Artinya masih banyak warga negara yang percaya dengan program Amnesti Pajak dan sukarela menyukseskannya.

Pertanyaan yang tersisa dari selesainya gelaran Amnesti Pajak adalah apa yang harus dan sebaiknya dilakukan oleh para wajib pajak setelah mengikuti Amnesti Pajak?

Pembahasan kali ini difokuskan untuk sektor Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM), supaya bisa lebih membantu segmen UMKM yang biasanya masih awam dalam pemahaman perpajakan dibanding sektor lainnya.

Untuk sektor UMKM yang selama ini membayar PPh 1% dari omzet dan bisa jadi membayar ala kadarnya bukan berasal 1% dari omzet sesungguhnya, diminta untuk lebih bijak dalam menghitung pajak Penghasilan (PPh) terutang yang harus dibayar.

Contoh kasus, ada Tuan A hanya memiliki satu usaha UMKM dan tidak ada sumber penghasilan lain. Selama ini ia melaporkan omzetnya pertahun Rp500 juta dengan PPh terutang setahun hanya Rp5 juta. Dari tahun 2010 melaporkan di SPT PPh Orang Pribadi omzetnya flat dan bayar PPh-nya juga flat Rp5 juta. Namun dalam Surat Pernyataan Harta Untuk Pengampunan Pajak (SPH) dideklarasikan memiliki kepemilikan harta Rp5 miliar yang bisa dikumpulkan dalam kurun waktu 2010-2015.

Mungkin iya, dari tahun pajak 2010 sampai dengan 2015, DJP luput mengaudit Tuan A, namun dengan fakta adanya kepemilikan harta yang tidak sejalan dengan omzet yang selama ini dilaporkan di Surat Pemberitahuan (SPT)  PPh Orang Pribadi tentunya menjadi sesuatu yang tidak elok.

Yang lalu biarlah berlalu, mari setelah ikut Amnesti PajaK bersama-sama menuju perbaikan yang diinginkan oleh undang-undang. Negara dalam hal ini melepaskan kewenangannya untuk menagih penghasilan yang memberikan kemampuan Tuan A untuk memiliki harta Rp5 miliar. Dan sebaliknya warga negara diminta untuk lebih bertanggung jawab dalam menunaikan kewajiban pajaknya.

Mengambil contoh kasus Tuan A di atas, tentunya jika dalam SPT PPh OP Tahun Pajak 2016 tetap sama omzetnya Rp500 juta, padahal secara kasat mata usaha membesar, pelanggan bertambah, dan indikasi keberhasilan usaha tidak bisa ditutupi lagi, alangkah eloknya jika Tuan A menghitung pajaknya berdasarkan 1% dari omzet konkret per bulannya. Atau mungkin sudah naik kelas bukan lagi UMKM.

Tentunya ajakan ini juga berlaku untuk selain UMKM, para pengusaha, profesional, karyawan dan lain bentuk usaha yang mencari rejeki di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Marilah lebih bijak dalam menghitung berapa kewajiban yang harus ditunaikan untuk menjaga eksistensi NKRI menjadi negara modern, bermartabat, dan mandiri. Semoga.(*) 

*) Tulisan ini merupakan pendapat pribadi penulis dan bukan cerminan sikap instansi dimana penulis bekerja.