Asa Publik Iringi Langkah Dirjen Pajak Baru

Oleh: Didik Yandiawan, pegawai Direktorat Jenderal Pajak
Ada harapan yang menyeruak di awal November. Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati resmi melantik Suryo Utomo sebagai Direktur Jenderal Pajak (Dirjen Pajak), Jumat (01/11) di Aula Gedung Djuanda I Kementerian Keuangan (Kemenkeu), Jakarta. Sebagai nahkoda baru, Suryo Utomo menggantikan Robert Pakpahan yang telah memasuki masa purnabakti. Ekspektasi segenap pemangku kepentingan kepada Dirjen Pajak baru memberi sinyal adanya dukungan dan kepercayaan masyarakat terhadap Direktorat Jenderal Pajak (DJP) selaku institusi pengumpul penerimaan negara.
Dalam pelantikan, kepada Dirjen Pajak baru Menkeu Sri Mulyani berpesan bahwa tugas dan tanggung jawab Dirjen Pajak sangat berat, mengingat 70 persen penerimaan di dalam APBN berasal dari penerimaan pajak. Menkeu melanjutkan arahannya agar DJP senantiasa membenahi diri dan melanjutkan berbagai kemudahan dalam pengurusan kewajiban perpajakan, sehingga masyarakat merasakan manfaatnya. "DJP diharapkan untuk bisa meneruskan seluruh reformasi fundamental di DJP yang telah dilaksanakan selama ini," tegas Menkeu.
Kekhawatiran dan Harapan
Tekanan dari perlambatan pertumbuhan ekonomi global berpengaruh pada APBN. Melalui Siaran Pers bertajuk Penguatan Fundamental Ekonomi dan Infrastruktur sebagai Landasan Pertumbuhan Ekonomi (24/09), Kemenkeu melansir bahwa hingga akhir Agustus 2019, realisasi penerimaan pajak mampu tumbuh sebesar 0,21 persen (yoy). Pajak Penghasilan (PPh) nonmigas dan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menopang penerimaan pajak mencapai Rp920,2 triliun atau 50,78 persen dari target APBN 2019 sebesar Rp1.577,56 triliun. Agar mampu bertahan, pemerintah terus melakukan penguatan fundamental dan stabilitas ekonomi sebagai upaya penguatan landasan pertumbuhan ekonomi nasional di masa mendatang.
Bank Dunia turut mencermati perkembangan ekonomi di kawasan Asia Timur dan Pasifik melalui Laporan Weathering Growing Risk (10/10). Dalam laporan tersebut, Bank Dunia menyatakan bahwa pelemahan permintaan global, termasuk dari Tiongkok, dan meningkatnya ketidakpastian ketegangan perdagangan Amerika Serikat-Tiongkok telah menyebabkan penurunan ekspor dan pertumbuhan investasi, serta menguji ketahanan (ekonomi dan politik) kawasan.
Seirama dengan langkah Pemerintah Indonesia, Bank Dunia turut merekomendasikan agar negara-negara di kawasan tersebut dapat menggunakan langkah-langkah fiskal dan/atau moneter untuk membantu merangsang ekonomi mereka, sembari menjaga kesinambungan fiskal dan utang. Prinsip keterbukaan perdagangan yang mengintegrasikan perdagangan kawasan, reformasi peraturan ramah investasi, serta percepatan alih teknologi dan keterampilan menjadi tambahan dari pokok rekomendasi Bank Dunia.
Bak gayung bersambut, seusai pelantikan di depan Sidang Paripurna MPR RI (20/10), Presiden Joko Widodo menyampaikan pidato berisi lima langkah pemerintah dalam periode lima tahun ke depan. Pertama, pembangunan sumber daya manusia (SDM). Kedua, pembangunan infrastruktur. Ketiga, penyederhanaan regulasi. Keempat, penyederhanaan birokrasi. Kelima, transformasi ekonomi. "Kita harus bertransformasi dari ketergantungan pada sumber daya alam menjadi daya saing manufaktur dan jasa modern yang mempunyai nilai tambah tinggi bagi kemakmuran bangsa, demi keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia," tutup Presiden Joko Widodo menjelaskan langkah transformasi ekonomi pemerintah dalam lima tahun ke depan.
Reformasi Perpajakan sebagai Panglima
Setelah dilantik sebagai nahkoda anyar, Dirjen Pajak Suryo Utomo beserta jajarannya mutlak segera berakselerasi. Kali ini, walaupun kapal tengah mengarungi samudera luas dengan cuaca yang berubah-ubah, Dirjen Pajak telah memiliki peta yang andal untuk mengantar kapal menuju pelabuhan tujuan. Peta ini bernama Peta Jalan Reformasi Perpajakan. Peta ini merangkum sejumlah gagasan transformasi hasil olah pikir dan praktik terbaik dari berbagai pemangku kepentingan, baik internal maupun eksternal. Peta ini merumuskan lima pilar utama sebagai penopang, yaitu organisasi, SDM, teknologi informasi dan basis data, proses bisnis, serta peraturan perundang-undangan.
Dalam jangka pendek, DJP mengutamakan intensifikasi dan ekstensifikasi pajak berbasis teknologi informasi dan basis data yang aman dan andal. Proses ini bertumpu pada data-data internal dan eksternal yang dihimpun, diuji, dan diolah secara profesional oleh DJP. Jika intensifikasi menitikberatkan pada peningkatan kontribusi dan partisipasi wajib pajak terdaftar aktif, maka ekstensifikasi menitikberatkan pada penambahan jumlah pembayar pajak baru. Pembinaan sekaligus pengawasan berjenjang selalu dimulai dari calon wajib pajak, wajib pajak baru, hingga wajib pajak terdaftar. Hadirnya compliance risk management (CRM) sebagai alat bantu, memudahkan DJP dalam menakar risiko wajib pajak. Hasil yang diharapkan adalah peningkatan partisipasi dan kontribusi wajib pajak dalam pembayaran dan pelaporan pajak.
Secara simultan, untuk mencapai kepatuhan dan peningkatan rasio pajak dalam jangka menengah, DJP menempuh sejumlah program pembaruan dan penyempurnaan. Program ini berfokus pada seluruh pilar utama dalam pelaksanaan Program Reformasi Perpajakan. Pertama, DJP sedang mendesain kebutuhan organisasi dan SDM yang lincah serta mampu menjawab tantangan zaman, khususnya eksistensi DJP sebagai otoritas fiskal dalam menghadapi segenap perubahan di era Reformasi Industri 4.0. Kedua, DJP sedang menyiapkan pembaruan teknologi informasi dan basis data dengan rancangan proses bisnis yang lebih ramping, efektif, efisien yang memudahkan wajib pajak. Ketiga, penyusunan peraturan perundang-undangan yang mendukung pencapaian penerimaan pajak sekaligus mendorong peningkatan investasi dan daya saing usaha.
Jika kita menghitung bilangan era sejak Program Reformasi Perpajakan sejak pertama kalinya dicanangkan, maka tahun ini Indonesia telah menempuh lebih dari 35 tahun perjalanan reformasi. Selama lebih dari tiga dasawarsa tersebut, DJP secara persisten mengakumulasikan pengalaman dan kemampuannya dalam menghimpun penerimaan pajak demi menjaga cita-cita republik untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Maka tak ada salahnya jika di momen terbaru di penghujung tahun 2019 ini kita kembali memaknai mengapa reformasi perpajakan senantiasa menjadi panglima dalam pencapaian misi bernegara. Sebagaimana pernyataan Malcolm Gillis peneliti pajak ternama dalam artikelnya pada Journal of Development Economics (1985) berjudul “Micro and Macroeconomics of Tax Reform: Indonesia”. Gillis menyatakan bahwa tujuan reformasi perpajakan lainnya (selain perubahan regulasi) adalah redistribusi pendapatan yang lebih efektif, penyederhanaan perpajakan, sistem informasi perpajakan yang baru, dan perampingan administrasi perpajakan.
*) Tulisan ini merupakan pendapat pribadi penulis dan bukan cerminan sikap instansi penulis bekerja.
- 424 kali dilihat