Oleh: Nur Iksan, pegawai Direktorat Jenderal Pajak     

Pada umumnya masyarakat Indonesia sejak dulu memang memiliki akar agrikultur yang sangat kuat, bahkan tidak jarang hal ini juga berkembang sebagai pola ekonomis pada masyarakat di daerah.

Seperti halnya kecenderungan yang ada pada masyarakat daerah, mereka akan lebih suka untuk menginvestasikan dana yang dimiliki ke dalam bentuk sawah maupun hewan ternak dibandingkan harus berinvestasi pada deposito bank maupun pasar modal yang belum banyak mereka kenal model dan pola kerjanya.

Dalam hal ini biasanya masyarakat daerah yang memiliki penghasilan lebih akan menggunakan dana yang mereka miliki untuk membeli hewan-hewan ternak seperti sapi maupun kerbau. Selain dianggap sebagai hewan simbol kemakmuran dan kejayaan, masyarakat di daerah memiliki keyakinan bahwa memelihara hewan ternak lebih menguntungkan daripada harus menyimpan uang di bank.

Hal ini sejalan, karena hewan yang diternak biasanya dibeli ketika masih anakan kemudian dipelihara beberapa waktu dan digemukkan lalu dikembangbiakkan. Tentunya hal tersebut sangatlah menguntungkan bagi pemeliharanya.

Kemudian yang menjadi pertanyaan adalah apakah hewan ternak ini dapat diakui sebagai harta pribadi? Bidang agribisnis pada umumnya memiliki keunikan tersendiri dibandingkan dengan bidang lainnya. Hal ini terjadi karena adanya aset biologis (seperti halnya hewan ternak dan tanaman). Aset biologis ini mempunyai karakter yang khas karena mengalami pertumbuhan, degenerasi, produksi dan prokreasi yang menyebabkan perubahan secara kuantitatif maupun kualitatif pada aset tersebut.

Berdasarkan IAS (International Accounting System) 41 yang termasuk aset biologis adalah hewan ternak dan tanaman hidup. Brdasarkan masa manfaatnya atau jangka waktu transformasi biologisnya aset biologis ini dapat dikelompokkan menjadi 2 jenis, yaitu;

a. Aset biologis jangka pendek (short term biological assets)

Aset biologis yang memiliki masa manfaat sampai dengan atau kurang dari  satu tahun atau dengan kata lain hanya membutuhkan waktu yang pendek untuk mencapai kuantitas dan kualitas tertentu dari proses transformasi biologisnya. Seperti halnya ikan, ayam, padi, jagung, dan jenis tanaman sayuran daun.

b. Aset biologis jangka panjang (long term biological assets)

Aset biologis yang memiliki masa manfaat lebih dari satu tahun karena untuk menghasilkan suatu produk dengan kualitas dan kuantitas tertentu membutuhkan waktu yang  tidak pendek. Seperti produk agrikultur pohon durian, tanaman apel, tanaman jeruk dan berbagai macam hewan ternak yang memiliki masa produksi panjang (kuda, sapi, keledai, maupun unta).

Berdasarkan hal tersebut maka aset biologis dapat diklasifikasikan ke dalam aset lancar (Current Assets) ataupun aset nonlancar (noncurrent assets), tergantung pada masa transformasinya dan waktu yang dibutuhkan sampai dengan asset tersebut siap untuk dijual.

Pada umumnya perusahaan-perusahaan agribisnis mencatat aset biologisnya yang memiliki masa produksi pendek sebagai akun persediaan (current assets), sedangkan untuk aset biologis yang memiliki masa transformasi biologis panjang lebih dari satu tahun akan dicatat sebagi aset tidak lancar lainnya (noncurrent assets). Sampai disini, pengakuan perusahaan tersebut setidaknya memberikan petunjuk bahwa hewan ternak dan tanaman dapat diklasifikasikan sebagai aset perusahaan. Lalu bagaimana dengan orang pribadi? Dapatkah mereka mengakuinya sebagai aset pribadi?  

Pasal 1 angka 4 Peraturan Menteri Keuangan Nomor PMK-118/PMK.03/2016 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2016 tentang Pengampunan Pajak menyebutkan, Harta adalah akumulasi tambahan kemampuan ekonomis berupa seluruh kekayaan, baik berwujud maupun tidak berwujud, baik bergerak maupun tidak bergerak, baik digunakan untuk usaha maupun bukan untuk usaha, yang berada di dalam dan/atau di luar wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Berdasarkan pasal tersebut tentunya hewan ternak seperti sapi maupun kerbau yang dipelihara dan dimiliki oleh setiap warga negara dapat diklasifikasikan sebagai harta karena adanya tambahan kemampuan ekonomis yang dihasilkan dari memelihara hewan tersebut. Dengan demikian lalu apakah hewan-hewan ternak tersebut juga harus dilaporkan ke dalam (Surat Pemberitahuan) SPT?

Jawabannya adalah belum tentu karena tidak semua hewan ternak harus dilaporkan ke dalam SPT. Mesti dilihat terlebih dahulu nilai materielnya, mungkin untuk hewan ternak seperti kuda, sapi, dan kerbau yang bernilai puluhan juta rupiah dapat di laporkan pada SPT, sedangkan bagi hewan ternak yang memiliki nilai materiil cukup kecil seperti ayam,ikan, maupun burung yang bernilai hanya puluhan ribu maupun ratusan ribu boleh untuk tidak dilaporkan dalam SPT.

Berbicara mengenai ayam, ikan, dan burung juga perlu diteliti terlebih dahulu jenisnya karena untuk ayam seperti ayam cemani, ikan seperti ikan arwana, dan burung seperti burung murai batu yang ikut dalam kontes dan memiliki harga jual yang tinggi tentunya juga dapat diklasifikasikan sebagai sebuah aset.

Jadi bagi Anda yang memiliki dan memelihara hewan ternak, baiknya Anda nilai terlebih dahulu apakah hewan ternak Anda sudah dapat diklasifikasikan sebagai aset atau merupakan nonaset jika dilihat dari nilai ekonomisnya.

Nilai tersebut dapat dicari dengan mengalkulasi seluruh biaya perolehan untuk membeli hewan tersebut ditambah dengan biaya-biaya yang telah dikeluarkan untuk merawatnya hingga sekarang. Selain itu juga dapat memakai perkiraan harga pasar suatu hewan tertentu dengan jenis dan umur yang sama untuk dapat mengetahui nilai ekonomisnya. Jika memang hewan yang Anda pelihara mempunyai nilai materiel yang tinggi dan dapat diklasifikasikan sebagai aset, Anda tentu wajib untuk melaporkannya dalam daftar harta pada SPT pribadi Anda.      

*) Tulisan ini merupakan pendapat pribadi penulis dan bukan cerminan sikap instansi penulis bekerja.