Oleh: Muhammad Irwanda Siahaan, pegawai Direktorat Jenderal Pajak

 

Belum lama ini, Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Pajak (UU HPP) telah disahkan dan akan mulai berlaku pada tahun 2022. Munculnya UU HPP merupakan upaya penyempurnaan undang-undang perpajakan yang telah berlaku sebelumnya. Pro dan kontra tentu terjadi di masyarakat karena tidak semua orang telah memahami bahkan tidak semua orang telah membaca UU HPP tersebut.

Umumnya, sikap kontra terjadi karena yang bersangkutan hanya mendengar atau membaca potongan-potongan kata yang membuat UU HPP tidak harus diberlakukan. Seharusnya orang-orang membacanya terlebih dahulu sebelum menyampaikan pendapatnya. Penyempurnaan peraturan perpajakan dilakukan agar maysarakat atau pelaku Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) memperoleh keadilan dalam membayar pajak khususnya pajak penghasilan (PPh).

Saat ini, sesuai Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 23 Tahun 2018 tentang Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari Usaha yang Diterima atau Diperoleh Wajib Pajak yang Memiliki Peredaran Bruto Tertentu, untuk UMKM Orang Pribadi atau Badan yang memiliki peredaran bruto di bawah Rp4,8 miliar dalam satu tahun dikenakan tarif 0,5% dari peredaran bruto.

Peraturan ini tidak menjelaskan mengenai batas bawah peredaran bruto untuk dikenakan PPh yang berarti bahwa setiap UMKM yang memiliki nilai peredaran bruto berapapun dalam usahanya maka akan dikenakan tarif pajak 0,5%. Tarif 0,5% hanya bisa dimanfaatkan selama tujuh tahun oleh Wajib Pajak Orang Pribadi.

Tidak adanya batas bawah peredaran bruto yang ditetapkan membuat semua  pelaku UMKM membayar PPh berdasarkan peredaran brutonya. Namun, hal ini tentu membuat berat masyarakat yang memiliki peredaran bruto yang tidak banyak. Misalnya, pedagang-pedagang kecil yang peredaran bruto sebulannya Rp10 juta atau bahkan kurang. Mereka akan membayar pajak penghasilan sebesar Rp50 ribu per bulan atau Rp600 ribu per tahun.

Dari peredaran bruto tersebut tak jarang mereka memperoleh laba bersih di bawah 40% dari peredaran brutonya. Jika dihitung maka nilai laba bersih mereka Rp4 juta atau kurang. Terkadang peredaran bruto yang terlihat banyak tidak selaras dengan laba bersih yang diperoleh oleh pelaku UMKM karena adanya biaya-biaya yang dikeluarkan atau biasa disebut dengan modal usaha untuk menjalankan kegiatan usaha tersebut.

Jika melihat Pasal 17 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan (UU PPh) dijelaskan mengenai lapisan tarif pajak 5%-30% yang dikenakan kepada masyarakat yang memperoleh penghasilan dari pemberi kerja ditambah dengan adanya batas bawah Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) sebesar Rp4,5 juta s.d. Rp6 juta per bulannya. Hal ini membuat pekerja yang memperoleh penghasilan di bawah PTKP tidak perlu membayar PPh.

Dari perbedaan ini terlihat masih adanya ketimpangan antara peraturan perpajakan bagi UMKM dan pekerja. Hal ini karena UMKM dikenakan PPh tanpa adanya nilai batas bawah tertentu bagi mereka untuk digolongkan sebagai UMKM yang membayar pajak. Contohnya, UMKM yang memiliki laba bersih di bawah Rp4,5 juta harus membayar PPh sedangkan pekerja dengan penghasilan yang sama tidak harus membayar PPh. Berdasarkan perbedaan tersebut tentunya perlu penyesuaian terhadap peraturan yang mengatur tentang pembayaran PPh bagi pelaku UMKM.

UU HPP telah mengatur PTKP atau peredaran bruto sebesar Rp500 juta per tahun bagi UMKM. Nilai ini merupakan nilai yang sangat fantastis dan akan menjangkau sebagian UMKM berkembang yang belum memiliki peredaran bruto sebesar Rp500 juta karena UMKM yang memiliki peredaran bruto di bawah Rp500 juta tidak wajib membayar PPh.

Bagaimana jika peredaran bruto di atas Rp500 juta? Pelaku UMKM tetap membayar pajak karena memiliki peredaran bruto di atas nilai PTKP sebesar Rp500 juta. Misalnya, Tuan X memiliki peredaran bruto sebesar Rp700 juta dalam satu tahun maka nilai peredaran bruto yang dikenakan tarif 0,5% sebesar 200 juta rupiah (Rp700.000.000 – Rp500.000.000). Hal itu berarti Tuan X akan membayar PPh sebesar Rp1,5 juta per tahunnya.

Indonesia memiliki lebih dari 65 juta UMKM yang menjadi roda penggerak ekonomi nasional. Dari 65 juta pelaku UMKM tersebut masih ada pelaku UMKM yang memiliki peredaran bruto di bawah Rp500 juta sehingga mereka tidak harus membayar PPh. Sedangkan mereka yang memiliki peredaran bruto lebih dari Rp500 juta akan membayar PPh dengan PTKP peredaran bruto sebesar Rp500 juta.

UU HPP ini dibuat sebagai upaya pemerintah untuk ikut serta membantu mengurangi pengeluaran pelaku UMKM mengingat saat pandemi Covid-19 seperti ini merupakan saat-saat sulit bagi mereka untuk menjalankan dan mengembangkan usahanya. Diharapkan stimulus ini dapat membantu stabilitas ekonomi UMKM yang nantinya akan berdampak terhadap perekonomian nasional.

 

*) Tulisan ini merupakan pendapat pribadi penulis dan bukan cerminan sikap instansi tempat penulis bekerja.