Indrajaya Burnama

Oleh Indrajaya Burnama, Nominasi II Lomba Artikel Pajak Nasional Direktorat Jenderal Pajak

Siapapun kita, baik tua atau muda, miskin atau kaya, pejabat ataupun pesuruh, pasti ingin selalu hidup sehat. Tanpa kesehatan, rasanya akan sulit untuk bisa melakukan banyak hal. Kita tidak akan bisa bekerja mencari nafkah untuk keluarga atau sekedar bercengkerama dengan sanak keluarga maupun teman. Health is not everything but without health we cannot do nothing. Begitulah slogan Badan Kesehatan Dunia atau World Health Organization (WHO).

Slogan yang sangat tepat untuk mengingatkan kepada seluruh penghuni bumi betapa pentingnya kesehatan. Bahkan, sering kita mendengar ungkapan bahwa kesehatan itu mahal harganya. Padahal, menurut hemat penulis, ungkapan tersebut sebenarnya kurang tepat. Bukan kesehatan yang mahal harganya, tetapi biaya yang dikeluarkan ketika sakitlah yang tidak murah harganya. 

 

Jangan sampai kita menyadari betapa kesehatan itu penting justru ketika sakit itu datang. Atau, betapa kita menyadari kesehatan itu murah ketika kita sedang membiayai pengobatan saat sakit menyerang kita. Seperti para penderita diabetes, tifus, kanker, atau liver, mereka membutuhkan biaya pengobatan yang tak sedikit. Bukan hanya ratusan ribu sampai jutaan rupiah, tetapi bisa mencapai miliaran rupiah. Betapa mirisnya, semua hasil jerih payah selama ini terpaksa dikeluarkan untuk biaya pengobatan. 

Tak heran terkadang ada keluh kesah yang muncul saat berobat. Mulai dari biaya obat, operasi, belum lagi saat harus rawat inap. Namun, satu yang pasti, berobat ketika kita sakit adalah kewajiban yang mutlak dilakukan, meski secara terpaksa harus mengeluarkan banyak uang. Dengan berobat, sakit akan hilang dan sembuh akan datang. Seperti yang disebutkan dalam sebuah slogan mens sana in corpore sano, yang artinya di dalam tubuh yang sehat, terdapat jiwa yang kuat. Ketika badan menjadi sehat kembali, aktivitas apapun bisa kita kerjakan.

 

Berbeda Tapi Serupa

Lantas, apa hubungan antara berobat dan membayar pajak? Jika dikaitkan, antara berobat dan membayar pajak pada hakikatnya terdapat dua kesamaan. Pertama, keduanya dilakukan atas dasar keterpaksaan. Sangat jarang ditemui atau bahkan tidak ada seorang pasien yang saat berobat ke dokter, datang dengan wajah riang gembira serta senyum yang mengembang sambil berkata, ”Dok, perkenalkan nama saya Indra, penderita kanker stadium empat. Seluruh badan terasa sakit. Saya senang sekali bisa berobat kepada dokter.” Mustahil. Yang terlihat justru wajah pucat nan sayu dengan ditemani keringat dingin membasahi sekujur badan. Bahkan, tak jarang pasien yang berkonsultasi kepada dokter dengan meneteskan air mata lantaran sakit yang diderita tak terperi rasanya.

 

Hal yang sama juga ditemui pada sebagian Wajib Pajak ketika harus berhubungan dengan pajak. Seperti ketika melaporkan Surat Setoran Pajak lembar ketiga kepada petugas pajak di Tempat Pelayanan Terpadu (TPT) atas pembayaran pajak yang telah dilakukan, ada sebagian Wajib Pajak yang menggerutu, “Mengapa pajak yang harus dibayar besar sekali? Capai-capai bekerja justru uang dipakai untuk membayar pajak!”

Bukan hanya menggerutu, biasanya dibarengi juga dengan menggelengkan kepala dan mengelus dada. Bahkan tak jarang, kalimat-kalimat itu dilontarkan dengan volume suara yang cukup keras. Mereka seolah marah dan kecewa, serta tidak percaya terhadap kewajiban membayar pajaknya yang terlalu besar.

 

Harus kita pahami, pengenaan pajak memang bersifat memaksa dan ini merupakan kehendak undang-undang (UU). Hal ini tercantum jelas dalam definisi pajak pada Pasal 1 UU Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah diubah terakhir dengan UU Nomor 16 Tahun 2009 (UU KUP). Definisi pajak berbunyi, “Pajak adalah kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan undang-undang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.”

Ada kata memaksa di sana. Oleh karena itu, sebagai warga negara sekaligus Wajib Pajak yang baik, kita wajib melakukan kewajiban-kewajiban perpajakan secara sempurna sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Sebagaimana sistem pemungutan pajak yang berlaku di negara kita, yaitu self assessment system, maka kewajiban-kewajiban perpajakan dimulai sejak terpenuhinya persyaratan subjektif dan objektif sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan. 

 

Pemenuhan kewajiban perpajakan tersebut, diawali dengan adanya kewajiban mendaftarkan diri untuk mendapatkan Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) atau melaporkan usahanya untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak (PKP). Dilanjutkan dengan menghitung pajak terutang, memperhitungkan pajak yang telah dipotong/dipungut pihak lain, dan membayar pajak yang kurang bayar. Hingga diakhiri dengan kewajiban melaporkan Surat Pemberitahuan (SPT), baik SPT Masa maupun SPT Tahunan.

 

Kewajiban-kewajiban perpajakan di atas telah ditetapkan “aturan mainnya” secara jelas dan tegas. Hal ini dapat dimaklumi, mengingat pajak merupakan primadona penerimaan negara. Jadi wajar, setiap pelanggaran terhadap pelaksanaan kewajiban perpajakan akan dikenakan sanksi perpajakan, baik sanksi administrasi berupa bunga, denda dan kenaikan, maupun sanksi pidana penjara.

 

Adanya sanksi-sanksi tersebut semakin menguatkan pengenaan pajak yang bersifat memaksa. Singkat kata, mau tidak mau, suka tidak suka, sepanjang Wajib Pajak telah memenuhi syarat subjektif dan objektif, wajib memenuhi kewajiban perpajakan.

Singkat cerita, saat mengeluarkan uang untuk berobat dan membayar pajak, kita wajib mengikuti ketentuannya masing-masing. Berobat mengikuti ketentuan dokter dan membayar pajak sesuai ketentuan perpajakan, meskipun keduanya sama-sama dilandasi keterpaksaan. 

 

Namun, dalam konteks pajak kita tidak perlu khawatir, pemerintah tidak kaku dalam menerapkan ketentuan perpajakan. Ada fasilitas-fasilitas perpajakan yang diberikan kepada Wajib Pajak yang bertujuan untuk memberikan keringanan dalam melakukan kewajiban pajaknya dan pada saat yang sama untuk membantu dalam mengembangkan usahanya, seperti fasilitas Pajak Pertambahan Nilai (PPN) Dibebaskan dan PPN Tidak Dipungut. 

Persamaan antara berobat dan membayar pajak yang kedua adalah dalam hal tujuannya. Berobat bertujuan untuk “membangun badan sendiri” dan mengembalikan kebugaran badan setelah didera sakit agar bisa kembali beraktivitas. Sedangkan, membayar pajak bertujuan untuk “membangun badan Negara Kesatuan Republik Indonesia”. 

Hanya saja, perlu dicermati bahwa “efek” pengobatan biasanya akan segera bisa dirasa oleh pasien. Umumnya dalam hitungan hari sejak berobat, pasien akan segera sembuh dan kembali sehat. Berbeda dengan membayar pajak, Wajib Pajak yang membayar pajak tidak memperoleh “efek” atau imbalan secara langsung.

Hal ini disebabkan imbalan negara kepada Wajib Pajak berupa kontraprestasi tidak langsung. Pajak yang terkumpul akan digunakan untuk keperluan negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat, melalui pelaksanaan pembangunan nasional di seluruh aspek kehidupan, baik ekonomi, politik, sosial budaya, maupun pertahanan keamanan. Implementasi nyata dari pembangunan dalam seluruh aspek kehidupan di antaranya adalah:

a)Membangun infrastruktur, seperti jalan raya dan jembatan penghubung antarkota dan desa, sehingga dapat memperlancar mobilitas dan meningkatkan perekonomian masyarakat. Misalnya, pembangunan Jalur Trans Sumatera;

b)Meningkatkan kesehatan masyarakat dengan adanya Jaminan Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas) bagi warga tidak mampu;

c)Membiayai program pendidikan wajib belajar sembilan tahun dan pemberian dana Bantuan Operasional Sekolah untuk mencerdaskan generasi penerus bangsa di seluruh pelosok Indonesia;

d)Menjaga keamanan dan kedaulatan wilayah negara kedaulatan Republik Indonesia (dari Sabang sampai Merauke) dengan membentuk Tentara Nasional Indonesia (TNI) dan Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri) yang kuat.

 

Kedua persamaan ini harus dipahami dengan baik agar kita dapat bertindak dan berpikir dengan bijak. Di satu sisi, kita akan mempunyai kesadaran untuk berobat ketika menderita sakit, karena memang manfaatnya sangat terasa. Di sisi lain, mengapa kesadaran untuk membayar pajak (tax awareness) kita masih begitu rendah tatkala kita telah memenuhi syarat subjektif dan objektif?

 

Bukankah hendaknya dengan penuh kesadaran kita melakukan kewajiban pajak sesuai ketentuan perpajakan yang berlaku? Pada hakikatnya membayar pajak merupakan perwujudan peduli kepada sesama. Tidak selayaknya, kita selaku Wajib Pajak, merasa berat untuk membayar pajak hanya karena tidak mendapatkan imbalan secara langsung.

 

Pay As You Earn

Jika itu yang terjadi, maka sudah seharusnya kita mengikuti saran Adam Smith seperti yang tertuang dalam bukunya The Wealth of Nations, Pay As You Earn. Pembayaran pajak hendaknya dilakukan segera pada saat yang ”menyenangkan” untuk meringankan Wajib Pajak itu sendiri. Misalnya, pada saat Wajib Pajak menerima atau memperoleh penghasilan dan dengan cara mengangsur. 

 

Dalam perpajakan nasional, hal ini diaplikasikan melalui sistem pemotongan atau pemungutan pajak oleh pihak lain (withholding tax system). Contohnya, pemotongan/pemungutan Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 21 atau PPh Pasal 26, PPh Pasal 22, dan PPh Pasal 23 atau PPh Pasal 26. 

 

Sebagai contoh, PPh Pasal 21 merupakan kewajiban PPh yang dikenakan terhadap gaji atau penghasilan Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri sehubungan dengan pekerjaan, jasa, jabatan, dan kegiatan. Kewajiban PPh Pasal 21 lebih dikenal sebagai kewajiban perpajakan bagi karyawan. Pemberi kerja, sebagai tax withholder (pemotong pajak), segera memotong PPh Pasal 21 pada saat memberikan penghasilan kepada karyawan tiap bulannya, sebelum penghasilan karyawan itu digunakan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, misalnya membayar kredit bank atau biaya sekolah anak. Hingga di akhir tahun, sang karyawan tidak merasa telah melakukan kewajiban PPh terutang selama satu tahun pajak.

 

Belajar dari peristiwa di atas, sudah sepantasnya para Wajib Pajak pengusaha (non-karyawan) juga melakukan hal yang sama. Segera membayarkan kewajiban PPh-nya begitu menerima atau memperoleh penghasilan. Pembayaran PPh yang terutang selama satu tahun pajak wajib dilakukan dengan cara mengangsur melalui PPh Pasal 25 yang dibayar sendiri setiap bulannya. Dengan menerapkan asas pay as you earn, keterpaksaan dalam membayar pajak tidak akan begitu memberatkan. Membayar pajak pun akan menjadi lebih ringan.