Oleh: Devitasari Ratna Septi Aningtiyas, pegawai Direktorat Jenderal Pajak

Lebih dari setahun ini, di kantor saya gencar-gencarnya membangun komunitas berbagai cabang olahraga. Saya pun turut meramaikannya dengan bergabung di klub bulu tangkis yang dibentuk anak-anak muda untuk menampung hasrat meluapkan emosi ketika bermain. Bukan tentang bulu tangkis yang ingin saya bahas di sini, namun tentang memanah.

Setelah berkali-kali hanya wacana untuk datang pada sesi komunitas memanah, hari Minggu pagi kemarin saya meniatkan datang. Disambut dengan hangat oleh para anggota yang hadir, saya pun tiba-tiba “blank” karena tidak tahu harus bagaimana memulainya.

Salah seorang rekan saya pun mengajari saya sebagai pemula. Dikenalkannya dari macam-macam alat yang ada. Seperti busur horsebow dan busur standar lainnya serta beragam jenis anak panah. Ia pun meminta saya untuk melakukan pemasanan sebelum memulai latihan dan melatih saya cara untuk memegang busur, menaruh anak panah, dan mengarahkannya ke papan bidikan.

Berkali-kali saya meleset, namun sempat hoki juga walaupun hanya kena di area putih. Membidiknya susah-susah gampang. Jika sudah punya insting dan perhitungan yang tepat, pasti anak panah menancap sesuai titik yang diinginkan.

Anak Panah Itu Namanya Kebijakan Perpajakan

Seperti pemasanan sebelum memanah, pemerintah juga melakukan ancang-ancang dalam menentukan setiap kebijakan yang diambil. Salah satu contohnya adalah kebijakan perpajakan.

Pada 1983, untuk pertama kalinya  self assessment perpajakan diterapkan melalui Reformasi Perpajakan. Kemudian kita melewati berkali-kali reformasi antara lain: penyederhanaan jenis pajak pada Reformasi Perpajakan tahun 1991 s.d. 2000, penetapan visi dan misi DJP dan cetak biru pada Reformasi Perpajakan tahun 2000 s.d. 2001, modernisasi dan amandemen Undang-Undang (UU) pada Reformasi Perpajakan Jilid I tahun 2002 s.d. 2008, peningkatan kontrol internal pada Reformasi Perpajakan Jilid II tahun 2009 s.d. 2014, munculnya Pengampunan Pajak pada 2016, dan sejak tahun 2017 s.d. 2024 nantinya adalah Reformasi Perpajakan Jilid III yang akan berfokus pada konsolidasi, akselerasi, dan kontinuitas Reformasi Perpajakan.

Layaknya menaruh anak panah ke dalam busur, Direktorat Jenderal Pajak (DJP) sedang menata anak panahnya di busur agar nyaman dan pas untuk dilepas ke arah sasaran yakni masyarakat, yakni dengan menyiapkan Reformasi Perpajakan Jilid III.

UU Cipta Kerja Tahun 2020 dan UU Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP) saat ini dijadikan dasar dalam pengambilan kebijakan perpajakan. Selama dua tahun terakhir ini, pemerintah secara bertubi-tubi menelurkan beragam aturan turunan mulai dari Peraturan Pemerintah (PP), Peraturan Menteri Keuangan (PMK), Peraturan Direktur Jenderal Pajak (PER), hingga Surat Edaran (SE) bagi internal.

Tsunami informasi datang menenggelamkan masyarakat indonesia sehingga bermunculan berita simpang siur atau hoax. Seperti gaji Rp5 juta kena pajak sebesar 5% padahal belum dikurangi dengan biaya yang ada dan Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) serta adanya isu resesi global pada tahun 2023 yang membuat masyarakat gentar.

Kemana Arah Kebijakan Perpajakan Indonesia Dibawa?

Adanya beragam kebijakan perpajakan yang bermunculan ini menandakan DJP sedang berbenah. Seperti saat melepaskan anak panah ke arah sasaran berupa papan bidik, DJP meluncurkan beragam kemudahan atau formula demi memudahkan masyarakat dalam urusan perpajakan ke depannya.

Usaha perbaikan dan peningkatan segala aspek baik kebijakan dan layanan. Hal ini dilakukan untuk mewujudkan Sistem Inti Administrasi Perpajakan yang Mudah, Andal, Terintegrasi, Akurat dan Pasti untuk optimalisasi pelayanan dan pengawasan sebagai bagian reformasi perpajakan (SIAP-MANTAP).

DJP ingin meningkatkan efisiensi dan kinerja administrasi perpajakan, meningkatkan kepercayaan masyarakat, wajib pajak, dan pihak ketiga terhadap sistem administrasi perpajakan, dan penguatan akuntabilitas melalui automasi proses bisnis yang terintegrasi dengan sistem informasi kepegawaian dan sistem pengawasan kepatuhan internal.

Bagi wajib pajak sendiri, adanya kebijakan tersebut diharapkan memberikan manfaat seperti dapat mengetahui posisi hak dan kewajiban perpajakan secara near real-time, mendapatkan pelayanan secara lebih mudah dan hasil pengawasan yang lebih pasti sehingga mengurangi potensi sengketa, dan mengurangi beban kepatuhan wajib pajak.

DJP tak ingin anak panahnya meleset. Ya walaupun angin dapat memengaruhi perjalanan anak panah dari busur hingga sampai ke titik tujuan. Tentu saja, angin yang dimaksud adalah beragam isu negatif, kondisi ekonomi makro, dan juga kendala ketika proses sosialisasi ke masyarakat. Jadi, masyarakat tentu harus mendukung langkah DJP hingga akhirnya kebijakan perpajakan yang baru sampai ke masyarakat dan dimanfaatkan/dinikmati oleh masyarakat.

Teruntuk masyarakat Indonesia, jangan termakan imformasi bohong. Pelajari terlebih dahulu atas informasi perpajakan yang baru didengar dan cari tahu sumber berita. Jika bingung dengan yang diterima, silakan hubungi kanal layanan informasi dan konsultasi milik DJP atau unit kerja terdekat. Saya yakin petugas akan membantu masyarakat secara responsif.

Nah, tahukah apa yang sebenarnya dibidik oleh anak panah pajak? Ya, penerimaan negara tercapai sehingga Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) kita sehat. Masyarakat jugalah yang menikmati APBN. Seperti fasilitas umum, kesehatan, dan pembangunan infrastruktur lainnya.

Untuk itu, sepertinya pekan depan saya ingin belajar memanah lagi.

*)Artikel ini merupakan pendapat pribadi penulis dan bukan cerminan sikap instansi tempat penulis bekerja.