Amnesti Pajak, Stigma, dan Rekonsiliasi

Oleh: Dewi Damayanti, Pegawai Direktorat Jenderal Pajak
Bicara Amnesti Pajak memang tak sekedar bicara penerimaan pajak dari uang tebusan. Juga tentang rekonsiliasi dan menghapuskan stigma negatif tentang Ditjen Pajak yang beredar selama ini. Ini bukan pepesan kosong, selama ini masyarakat banyak yang enggan berurusan dengan kantor pajak karena stigma pajak itu: ribet dan menakutkan. Amnesti Pajak bisa jadi sarana rekonsiliasi, untuk mencairkan stigma itu. Karena dalam kondisi tertentu Amnesti Pajak adalah pilihan, bukan keharusan.
Ada sebuah cerita ringan. Tentang sepasang suami isteri setengah baya yang menyatakan keinginannya untuk mengikuti Amnesti Pajak,
“Tapi kami nggak punya uang Bu,” si bapak menjelaskan dengan enggan.
Akhirnya mengalirlah cerita itu. Mereka mendapat info dari tetangga mereka, jika ada harta yang belum dilaporkan di SPT Tahunan, maka harus diikutkan dalam Amnesti Pajak. Mereka mengakui memang memiliki satu rumah yang kini mereka tempati dan belum dilaporkan. Masalahnya jika rumah itu harus diikutkan Amnesti Pajak mereka tak memiliki dana untuk membayar uang tebusannya. Karena untuk biaya kehidupan sehari-hari saja mereka harus ditopang oleh anak mereka.
Dengan obrolan ala investigasi ringan, bisa disimpulkan pengakuan suami-isteri itu bisa dipercaya. Di sini prinsip self assessment harus tetap dipegang. Akhirnya dijelaskan kepada mereka bahwa mereka tidak punya kewajiban untuk membayar pajak apalagi harus mengikuti Amnesti Pajak dengan kondisi ekonomi seperti itu. Nampak kelegaan luar biasa di wajah mereka. Bahkan berkali-kali menyatakan ternyata pajak itu tidak seseram yang mereka bayangkan.
“Selama ini saya takut ke kantor pajak, tapi ternyata tidak seperti bayangan saya.”
Pengakuan kedua orang tua tadi menjadi cermin bahwa stigma negatif itu belum sepenuhnya pudar. Masih ada yang membayangkan pajak bagai wajah seorang ‘bapak diktator’. Padahal pajak seyogyanya adalah wajah seorang ‘bapak bijak’ di mana beban pajak akan dipikul sesuai dengan kemampuan ekonomi si Wajib Pajak.
Bahwa kewajiban pajak yang harus dipenuhi itu akan dibebankan ke Wajib Pajak sesuai dengan kemampuannya untuk memikul. Bagi yang tidak mampu, pastinya negara tidak akan membebani. Sederhananya semakin tinggi penghasilan seseorang, maka semakin besar pajak yang harus dibayarnya. Sementara bagi yang penghasilannya di bawah Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) tidak akan dikenakan pajak.
Jika kita bicara aturan tentang pengenaan pajak mengikuti besarnya penghasilan yang diperoleh bisa dilihat dalam Pasal 17 Undang-Undang (UU) No. 7 tahun 1983 sebagaimana telah diubah terakhir dengan UU No. 36 tahun 2008. Didalamnya diatur pengenaan lapisan Penghasilan Kena Pajak dengan Tarif Pajak progresif. Sehingga semakin besar penghasilan seseorang akan semakin besar pajak yang harus dibayarnya.
Nah, untuk sepasang suami isteri setengah baya tersebut, di mana mereka tidak mendapat penghasilan lagi, maka tidak ada kewajiban untuk membayar pajak. Pun tidak ada kewajiban untuk mengikuti Amnesti Pajak.
Tapi perlakuannya akan berbeda, jika yang datang itu Wajib Pajak yang masih memiliki usaha tetap dan penghasilannya di atas PTKP, maka ketika dia memilih mengikuti Amnesti Pajak akan mendapat privilege lebih. Semua harta yang diperolehnya tahun 2015 kebawah dan diikutkan Amnesti Pajak maka atas pajak yang seharusnya terhutang akan dihapuskan. Juga dibebaskan dari sanksi administrasi dan sanksi pidana di bidang perpajakan. Ini adalah wajah ‘bapak bijak’. Dalam sebuah analogi “bapak bijak’ akan menyiapkan stick and carrot untuk anak-anaknya.
Stick juga telah disiapkan untuk Amnesti Pajak ini. Karena bagi Wajib Pajak yang memiliki kemampuan ekonomi tetapi bandel untuk tidak melaporkan hartanya dan mengikuti Amnesti Pajak, siap-siap saja atas harta yang ditemukan yang diperoleh sejak tanggal 1 Januari 1985 sampai dengan 31 Desember 2015 akan dianggap sebagai penghasilan dan dihitung sebagai pajak terhutang, dan dikenakan sanksi administrasi sesuai Undang-Undang perpajakan.
Amnesti Pajak Sarana Rekonsiliasi
Rekonsiliasi yang ditawarkan pemerintah dalam Amnesti Pajak bisa dilihat dalam Pasal 11 UU No. 11 tahun 2016 Tentang Pengampunan Pajak. Bagi Wajib Pajak yang telah mengikuti Amnesti Pajak dan telah memperoleh Surat Keterangan (Sket) tidak akan dilakukan pemeriksaan, pemeriksaan bukti permulaan, dan penyidikan Tindak Pidana di Bidang perpajakan. Bahkan bagi yang telah dilakukan pemeriksaan, pemeriksaan bukti permulaan, dan penyidikan Tindak Pidana di Bidang Perpajakan dapat dihentikan jika Wajib Pajak yang bersangkutan mengikuti Amnesti Pajak.
Namun yang perlu diperhatikan adalah jangan sampai wajah ‘bapak bijak’ dalam Amnesti Pajak ini akan dimanfaatkan Wajib Pajak yang sedang dalam proses pemeriksaan, pemeriksaan bukti permulaan, atau penyidikan untuk lolos dari kewajiban membayar pajak yang seharusnya lebih besar. Jangan sampai dijadikan sarana menghindari pajak yang seharusnya dikenakan.
Karena itu diperlukan pendekatan persuasif ke Wajib Pajak yang sedang dalam pemeriksaan, pemeriksaan bukti permulaan, atau sedang dalam penyidikan Tindak Pidana di Bidang Perpajakan, bahwa dalam melakukan Amnesti Pajak ini dituntut kejujuran dari Wajib Pajak. Karena jika tidak Pasal 18 ayat (3) UU Amnesti Pajak akan siap menjaring ketidakjujurannya.
Karena meski Wajib Pajak telah mengikuti Amnesti Pajak namun ditemukan ketidakbenaran atas harta yang dilaporkan dalam Surat Pernyataan, atas harta dimaksud dianggap sebagai tambahan penghasilan dan akan dikenai Pajak Penghasilan sesuai dengan ketentuan UU dan ditambah dengan sanksi administrasi perpajakan berupa kenaikan sebesar 200% (dua ratus persen). Bayangkan berapa konsekuensi yang harus dibayar dari sebuah ketidakjujuran!
Menyadari banyak keuntungan yang didapati mengikuti Amnesti Pajak ini, antusiasme Wajib Pajak memanfaatkan sarana rekonsiliasi ini dapat dilihat dari jumlah uang tebusan yang diperoleh Ditjen Pajak pada akhir periode II Amnesti Pajak sebesar Rp103,31 triliun atau 62,6 persen dari target Rp165 triliun dengan jumlah peserta 632.654 Wajib Pajak. Artinya ada kesadaran yang cukup tinggi untuk memanfaatkan ‘carrot’ fasilitas ini. Karena ada beberapa keuntungan yang akan diperoleh yaitu:
Pertama penghapusan pajak terhutang yang belum diterbitkan ketetapan pajak, tidak dikenai sanksi administrasi, dan sanksi pidana di bidang perpajakan sampai dengan akhir Tahun Pajak Terakhir.
Kedua penghapusan sanksi administrasi perpajakan berupa bunga ataupun denda sampai dengan akhir Tahun Pajak Terakhir.
Ketiga tidak dilakukan pemeriksaan, pemeriksaan bukti permulaan, dan penyidikan Tindak Pidana di Bidang Perpajakan sampai dengan akhir Tahun Pajak Terakhir.
Keempat penghentian pemeriksaan, pemeriksaan bukti permulaan, dan penyidikan Tindak Pidana di Bidang Perpajakan, dalam hal Wajib Pajak sedang dilakukan pemeriksaan pajak, pemeriksaan bukti permulaan, dan penyidikan Tindak Pidana di Bidang Perpajakan sampai dengan akhir Tahun Pajak Terakhir.
Yang harus menjadi fokus perhatian lebih pada Wajib Pajak yang memanfaatkan Amnesti Pajak karena point keempat di atas. Perlu diteliti kebenaran harta yang dilaporkan dalam Surat Pernyataan Harta (SPH) dengan cara menyandingkan dengan data-data intern yang dimiliki Ditjen Pajak dan data-data yang didapat dari pihak luar. Pengawasan tetap diperlukan dalam sebuah sistem self assessment.
Bagaimanapun Amnesti Pajak ini wajah ‘bapak bijak’ sesungguhnya. Selain untuk menghapuskan stigma, juga membangun rekonsiliasi dengan Wajib Pajak. Dan semuanya itu akan berimbas pada citra positif Ditjen Pajak di masa depan.
*) Tulisan ini merupakan pendapat pribadi penulis dan bukan cerminan sikap instansi dimana penulis bekerja.
- 327 kali dilihat