Oleh: Ferga Aristama, pegawai Direktorat Jenderal Pajak

 

Diskusi mutakhir mengenai pengelolaan administrasi perpajakan terarah pada Visi Administrasi Perpajakan 3.0. Visi global yang ambisius ini diperkenalkan oleh The Organization for Economic Cooperation and Development (OECD) pada tahun 2020 untuk mendorong transformasi digital administrasi perpajakan yang lebih seamless dan frictionless. Transformasi ini memungkinkan proses bisnis pada administrasi perpajakan dan Wajib Pajak saling terkoneksi satu sama lain melalui integrasi sistem. Sistem tersebut diharapkan bersifat resilient, real-time, terpercaya, transparan, dan terintegrasi yang dinaungi oleh organisasi yang adaptif dengan kombinasi high-touch and high-tech. Dari sisi administrasi perpajakan, integrasi ini berpotensi meningkatkan kepatuhan Wajib Pajak sebagai outcome dari lingkungan kepatuhan pajak (tax compliance environment) yang semakin terbuka. Sedangkan dari sisi Wajib Pajak, adanya intergasi dengan lingkungan alaminya (natural system) mendorong Wajib Pajak lebih mudah untuk patuh. Baik dari sisi administrasi perpajakan maupun Wajib Pajak, transformasi digital tersebut berpotensi menciptakan sistem perpajakan yang lebih efisien sehingga dapat menurunkan biaya kepatuhan.

Di Indonesia, transformasi digital pada administrasi perpajakan sebetulnya telah lama dimulai. Hal ini ditandai dengan transformasi proses bisnis pelayanan, penyuluhan, pengawasan, dan penegakan hukum yang semula analog menjadi digital melalui integrasi dalam sistem informasi, seperti SIP (Sistem Informasi Perpajakan) dan SIDJP (Sistem informasi Direktorat Jenderal Pajak). Bahkan yang terbaru, Direktorat Jenderal Pajak (DJP) akan segera me-launching sistem informasi yang menyeluruh dan terintegrasi melalui SIAP (Sistem Inti Administrasi Perpajakan). Sejalan dengan Visi Administrasi Perpajakan 3.0, segala upaya transformasi digital tersebut bermuara pada upaya menurunkan biaya kepatuhan pajak baik diri sisi uang, waktu, tenaga, dan pikiran. Akan tetapi, bagaimana pihak ketiga telah dan seharusnya dilibatkan di dalamnya?

Perlunya Melibatkan Pihak Ketiga

Pada dasarnya, Visi Administrasi Perpajakan 3.0 diharapkan dapat mendorong terwujudnya rezim pajak yang lebih transparan, sederhana, terbuka, dan fasilitatif. Dalam skema tax knowledge market, hubungan ini dapat ditinjau secara sederhana melalui interaksi knowledge seller (institusi perpajakan) dan knowledge buyer (Wajib Pajak) melalui intermediaries (pihak ketiga) sebagai penghubung keduanya. Dalam menjalankan peran dalam interaksi tersebut, institusi perpajakan sebagai policy making institution tidak sepenuhnya dapat merespon setiap kebutuhan Wajib Pajak akibat adanya isu klasik seperti keterbatasan sumber daya manusia dan finansial, serta kewenangan yang dimiliki. Sementara itu, dengan iklim bisnis yang makin dinamis di era digital, tuntutan Wajib Pajak terhadap sistem perpajakan yang lebih efisien akan terus meningkat. Dengan demikian, dibutuhkan peran intermediaries sebagai katalisator terwujudnya rezim pajak sesuai dengan maksud Visi Administrasi Perpajakan 3.0.  

Peran tersebut setidaknya dapat dilakukan melalui dua kontribusi. Pertama, pihak ketiga dapat menyediakan layanan interaksi wajib pajak (taxpayer touchpoint). Dalam hal ini, intermediaries dapat memberikan dukungan teknis dan asistensi untuk mendukung proses pendaftaran, penghitungan, pembayaran, dan pelaporan pajak knowledge buyer yang terkoneksi secara natural dalam bisnis atau usahanya. Kedua, intermediaries memiliki peran penting dalam manajemen data, misalnya menjadi hub pertukaran data dan integrator data serta penyedia storage atas interaksi antara knowledge seller dan knowledge buyer yang terjadi. Melalui Administrasi Perpajakan 3.0, data yang semula analog tidaklah hilang namun berubah bentuk ke dalam data digital. Data yang disimpan dari tahun ke tahun pun akan bertambah seiring dengan tingginya interaksi antara institusi perpajakan dan Wajib Pajak. Meskipun institusi perpajakan mungkin untuk mengurus sendiri tanpa pihak ketiga, perlu dihitung ulang biaya peluang yang dikeluarkan serta tingkat inefisiensi yang mungkin ditimbulkan dari sisi uang, tenaga, waktu, dan pikiran.

Tantangan

Dalam beberapa tahun terakhir, DJP telah menaruh perhatian yang cukup serius terhadap eksistensi pihak ketiga dalam administrasi perpajakan di Indonesia. Pertama, dalam konteks penyediaan layanan interaksi wajib pajak, DJP telah memberikan ruang kepada kuasa wajib pajak seperti konsultan pajak dalam menjalankan hak dan kewajiban perpajakan wajib pajak. Bagi masyarakat yang kurang memiliki akses terhadap konsultan pajak, DJP juga telah mendorong pembentukan Tax Center sejak tahun 2008, diikuti dengan Relawan Pajak tahun 2017. Selain itu, Application Service Provider (ASP) yang kemudian sekarang dikenal dengan Penyedia Jasa Aplikasi Perpajakan (PJAP) hadir memberikan layanan perpajakan sejak tahun 2004. Lebih lanjut, agen laku pandai dan tax agent juga telah dibentuk dengan harapan dapat menjadi alternatif kanal dalam mempermudah pembayaran dan pendafataran Wajib Pajak. Di ruang yang lebih strategis, intergasi kurikulum pajak dalam pendidikan telah menjadi tonggak penting dalam inklusi kesadaran pajak bagi Calon Wajib Pajak pada tahapan awareness. Kedua, dalam manajemen data, DJP juga telah melibatkan pihak ketiga. Selain PJAP, DJP juga telah bekerja sama dengan pihak perbankan dan jasa tenaga outsourcing untuk pemindaian dokumen di Unit Pengolahan Data dan Dokumen Perpajakan (UPDDP).

Perjalanan panjang dalam mengelola interaksi dengan pihak ketiga merupakan modal penting dalam mencapai Visi Administrasi Perpajakan 3.0. Dalam mencapai peran penyediaan layanan interaksi dan manajemen data yang lebih efektif, DJP perlu memikirkan ulang bentuk hubungan interaksi yang tepat dengan para pihak ketiga secara firm. Praktek yang dijalankan selama ini memperlihatkan perlakuan DJP yang masih variatif terhadap pihak ketiga. Di satu sisi dianggap sebagai mitra yang setara, sedangkan di sisi yang lain merupakan agen dari DJP. Bentuk interaksi yang firm menjadi prinsip dasar dalam menentukan strategi kerja sama antar pihak ke depannya. Akan tetapi, hal ini tidak mudah dilakukan mengingat penyatuan visi kerja sama yang sustainable membutuhkan waktu yang tidak singkat, serta adanya tantangan birokratis dan kelembagaan baik internal maupun eksternal. Selain itu, area kerja sama DJP kadangkala dibatasi oleh regulasi perpajakan itu sendiri, seperti area kerja sama terkait pengelolaan data dan informasi perpajakan. Dengan demikian, regulasi dan proses bisnis yang akomodatif dan ramah terhadap pihak ketiga menjadi prasyarat kontribusi pihak ketiga yang lebih inklusif.

Penutup

Sebagai simpulan, tulisan ini menawarkan pendapat bahwa Visi Administrasi Perpajakan 3.0, sebagai norma global yang secara sukarela telah diadopsi oleh DJP, merupakan upaya positif dalam mempengaruhi perkembangan administrasi perpajakan di indonesia. Perkembangan ini tentu perlu keterlibatan berbagai pihak, termasuk pihak ketiga di dalamnya. Dengan adanya andil peran pihak ketiga, diharapkan upaya membangun sistem perpajakan yang lebih efisien menjadi semakin inklusif. Diperlukan dukungan regulasi dan proses bisnis yang memadai untuk mencapai harapan ini. Dengan begitu, biaya kepatuhan akan menurun sehingga kepatuhan perpajakan akan meningkat.

 

*) Artikel ini merupakan pendapat pribadi penulis dan bukan cerminan sikap instansi tempat penulis bekerja.

Konten yang terdapat pada halaman ini dapat disalin dan digunakan kembali untuk keperluan nonkomersial. Namun, kami berharap pengguna untuk mencantumkan sumber dari konten yang digunakan dengan cara menautkan kembali ke halaman asli. Semoga membantu.