Adilkah Jika Sembako Premium Bebas PPN?

Oleh: Edi Purwanto, pegawai Direktorat Jenderal Pajak
Pertandingan Euro 2020 menjadi event besar sepak bola tahun ini sekaligus unik. Unik, mengingat Euro 2020 diselenggarakan pada 2021 dan dilaksanakan di 12 kota dalam 12 negara berbeda. Penulis tidak akan membahas insiden Eriksen yang sempat mengalami henti jantung (cardiac arrest) pada saat laga Denmark melawan Finlandia, tetapi ingin membahas 12 kota. Dua belas kota ini artinya ada 12 stadion yang berbeda. Perbedaan stadion dan kota serta posisi duduk menyebabkan harga tiket berbeda.
Harga tiket terendah adalah pada saat pertandingan penyisihan antara Turki dan Wales di Baku Olympic Stadium, Azerbaijan. Harga terendah sebesar €21 dan tertinggi €320. Adapun pada saat final di London, Inggris, harga terendah €968 dan tertinggi €11.074. Pertanyaan yang muncul adalah mengapa dalam satu stadion saja berbeda-beda harganya? Inilah praktik yang selama ini dinamakan price discrimination, diskriminasi harga dalam rangka optimaliasi keuntungan. Perbedaan harga terjadi karena perbedaan lokasi, fasilitas, dan kemudahan yang diperoleh konsumen.
PPN Multitarif, Mungkinkah ?
Multiharga tiket Euro 2020, mungkinkah dapat diterapkan pada tarif PPN yang akhir-akhir ini sedang menjadi isu panas? Jika menilik kecenderungan tarif PPN dunia, tarif PPN cenderung menganut multitarif, baik berdasarkan jenis barang maupun kewilayahan. Berbeda jenis barang akan berbeda tarif. Begitu juga dari sisi kewilayahan, khususnya negara yang menganut federasi, tarif PPN akan berbeda-beda antarwilayah federal. Bagaimana dengan Indonesia ?
Tren tarif PPN dunia yang berbeda-beda, menurut hemat penulis, juga dapat diterapkan pada tarif PPN di Indonesia. Baik berdasarkan jenis Barang Kena Pajak (BKP)/Jasa Kena Pajak (JKP) maupun dari sisi kewilayahan. Bahkan, dari sisi kewilayahan, perbedaan tarif tidak hanya mengoptimalkan penerimaan pajak, tetapi juga mampu merelokasi pusat industri.
Jika tarif PPN di Pulau Jawa lebih tinggi dibandingkan dengan di luar Pulau Jawa, diyakini tidak hanya sisi penerimaan pajak yang lebih optimal, tetapi adanya relokasi usaha ke luar Pulau Jawa. Perlu diketahui, Pulau Jawa menyumbang 80% total penerimaan pajak. Dengan relokasi usaha dan lebih rendahnya tarif PPN di luar Jawa, akan menarik investor untuk membuka lapangan usaha baru di luar Jawa.
Bagaimana dengan PPN atas Sembako?
Sembako premium dan biasa (nonpremium) berbeda harganya, sebagai contoh adalah daging sapi. Daging sapi merupakan salah satu dari bahan makanan pokok, kualitasnya berbeda antara daging sapi premium dan biasa. Kelas premium contohnya daging sapi wagyu, sedangkan daging sapi biasa untuk kategori daging sapi yang dijual di pasar tradisional, seperti pasar Induk Kramat Jati DKI Jakarta. Jelas antara keduanya terdapat perbedaan harga yang signifikan.
Daging sapi premium wagyu tertinggi merupakan jenis Omi Hime Japan Wagyu A5 Sirloin. Ditawarkan di salah satu toko daring dengan penyedia barang dari Bandung, harga per tanggal 14 Juni 2021 mencapai Rp1.850.000/kg. Mengapa mahal ? Jawabannya sederhana, itu karena kualitas. Daging wagyu mempunyai pola marbling yang halus, mempunyai kandungan asam lemak shomifuri yang banyak mengandung Omega-3 dan bagus untuk kesehatan jantung.
Adapun dading sapi murni biasa, bukan kelas premium, harga rata-rata pasar tradisional DKI Jakarta per tanggal 14 Juni 2021 sebesar Rp131.446/kg. Harga tersebut jauh di bawah harga daging sapi premium wagyu.
Pertanyaannya adalah apakah daging sapi wagyu masuk kategori bahan makanan pokok yang dimaksud dalam UU PPN ? Merujuk pada penjelasan UU PPN, yang dimaksud dengan makanan pokok adalah untuk memenuhi kebutuhan masyarakat banyak. Artinya, makanan pokok dimaksud adalah bahan makanan untuk kebutuhan primer (daruriyah), yakni pakan. Adapun daging sapi Wagyu, bagi sebagian besar masyarakat kita, adalah mimpi untuk memakannya. Mereka akan berpikir ulang untuk membelinya. Oleh karena itu, menurut penulis, konsumsi daging wagyu dilakukan oleh mereka yang kaya dan bukan lagi untuk memenuhi kebutuhan primer, melainkan kebutuhan tersier (tahsiniyah).
Namun, mengingat daging wagyu, bentuknya daging, yang merupakan bahan makanan pokok, sehingga mau tidak mau, selama ini tidak termasuk BKP. Artinya, tidak dikenakan PPN. Ketika suatu barang, masuk kategori untuk memenuhi kebutuhan tersier, maka pemberian faslitas pembebasan dari pengenaan PPN apakah adil ? Adilkah jika mengonsumsi daging wagyu, sama dengan mengkonsumsi daging sapi yang harganya 100 ribu rupiah, yang dijual di pasar tradisonal dan dibebaskan PPN-nya?
Fasilitas PPN tidak tepat sasaran?
Selama ini daging termasuk sembako, sehingga tidak termasuk BKP, alias tidak dikenakan PPN. Tidak termasuknya BKP, dapat dipahami bahwa selama ini, seolah-olah daging sapi mendapatkan faslitias pembebasan PPN 10%. Pertanyaan yang muncul adalah siapa yang paling banyak menikmati fasitas pembebasan PPN tersebut?
Dalam perbandingan pemberian fasilitas PPN antara daging wagyu dan daging biasa, maka tampak bahwa selama ini, konsumen wagyu yang umumnya orang kaya, memperoleh fasilitas pembebasan PPN sebesar Rp185.000,00. Ada pun untuk daging biasa, konsumen mendapatkan fasilitas pembebasan PPN sebesar Rp13.000,00. Dengan demikian, fasilitas pembebasan PPN selama ini sebagian besar dinikmati oleh mereka yang kaya, sedangkan masyarakat umum tidak mencapai sepersepuluhnya.
Apabila dibandingkan dengan gagasan pengenaan PPN atas sembako, misalnya diberikan tarif 1% untuk daging sapi biasa dan 10% untuk daging premium, maka orang kaya yang mengonsumsi daging premium, akan menanggung PPN-nya sebesar Rp185.000,00. Adapun masyarakat umum, jika mengonsumsi daging biasa akan dikenakan PPN 1%, maka hanya menanggung PPN sebesar Rp1.300,00. Lebih lanjut, jika pembelian di pasar tradisional tidak dikenakan PPN, maka masyarakat umum tidak dikenakan PPN. Dengan demikian, pengenaan PPN atas daging sapi, akan lebih menguntungkan masyarakat umum, dan pemberian fasilitas akan lebih tepat sasaran.
Sejalan logika berpikir tersebut di atas, maka pengenaan PPN atas sembako lainnya seperti beras, telur, gula, tepung, garam, dan lain sebagainya, akan lebih menguntungkan masyarakat umum. Orang kaya yang mengonsumsi sembako premium akan menanggung PPN lebih besar, sedangkan masyakarat umum akan menanggung PPN lebih kecil atau bahkan tidak menanggung PPN sama sekali, jika BKP-nya mendapat fasilitas dibebaskan dari pengenaan PPN.
Kesimpulan
Seperti perbedaan harga tiket pada pertandingan sepakbola, yang terbukti dapat mengoptimalkan keuntungan, maka mengikuti tren dunia yakni kecenderungan multitarif serta membedakan tarif PPN berdasarkan kewilayahan dan jenis BKP/JKP akan mengoptimalkan penerimaan PPN. Bahkan perbedaan tarif berdasarkan kewilayahan, akan mampu merelokasi industri ke wilayah yang tarif PPN-nya lebih rendah.
Pun, pengenaan PPN atas sembako akan mendatangkan keadilan bagi masyarakat wajib pajak dan fasiitas PPN lebih tepat sasaran. Namun demikian, diharapkan pengenaan PPN atas sembako, sebaiknya dikenakan dengan tarif PPN berbeda atau multitarif, disesuaikan dengan kewilayahan dan jenis atau kategori jenis BKP/JKP serta kemampuan untuk membayar (ability to pay) agar tidak memberatkan masyarakat.
*) Artikel ini merupakan pendapat pribadi penulis dan bukan cerminan sikap instansi tempat penulis bekerja.
- 1423 kali dilihat