Oleh : Hana Maurinawati, Pegawai Direktorat Jenderal Pajak

Ketika berselancar di Instagram, mata saya tertuju pada sebuah konten milik akun edukasi finansial @ngertisaham tentang frugal living. Konten itu hanya berupa beberapa foto tangkapan layar dari pesan masuk seorang pengikut yang disamarkan identitasnya. Ia mengaku menjalankan  frugal living selama tiga tahun dan berhasil mengumpulkan tabungan berikut investasi dengan total Rp180 juta. Secara ringkas, begini ia bercerita.

Assalamualaikum, saya ingin sharing rincian saving dan living saya. Saya seorang IRT (red-Ibu Rumah Tangga) yang resign. Penghasilan suami sebulan total 6 juta kadang-kadang 8 juta kalau lembur. Saya masih ngontrak, suami penglaju Jakarta-Tangerang. Saya punya balita usia 2 tahun yang masih nyusu formula dan pakai diapers.

Tiap bulan saya saving 2 juta (masuk rekening saham atau tabungan), total pengeluaran perbulan sekitar 4,3 juta. Saat ini di saham udah ada 140 juta dan tabungan 40 juta. Saya nikah 3 tahun, suami tiap hari bekal nasi dan jajan yang saya bikin sendiri. Suami saya nggak makan seafood, tiap hari hanya menu sayur, telor ayam tahu dan jengkol.

Ayam saya beli setengah kilo buat 2x masak. Kalau ada sisa uang, saya beli skincare, baju anak, atau mainan. Hasil profit saham nambah tabungan. Doain ya tahun ini mau beli rumah cash.

Siapapun pasti setengah tak percaya membaca kisah tersebut. Ternyata meski penghasilan terbatas seseorang tetap bisa menabung dan berinvestasi hanya dengan (yang katanya) frugal living. Lalu, apa itu frugal living? Benarkah bisa membuat berlimpah harta? Simak penjelasan selengkapnya berikut ini.

Sejarah dan Makna Frugal Living

Menilik arti frugal living dari kata pembentuknya, frugal berarti hemat, dan living artinya penghidupan. Sehingga frugal living dapat diartikan sebagai gaya hidup hemat. Frugal living saat ini disebut sebagai The New Economic Lifestyle atau hemat next level, sebuah gaya hidup yang menekankan kesadaran saat mengeluarkan uang untuk membantu kebebasan finansial.

Menurut buku  “Your Money or Your Life” yang ditulis oleh Vicky Robin dan Joe Dominguez (2010), tren frugal living bermula dari gerakan di Amerika Serikat (AS) bernama Financial Independence Retire Early (FIRE) pada tahun 1992. FIRE adalah gerakan untuk pensiun sebelum usia 40 tahun yang digagas oleh Vicky dan Joe yang merupakan ahli finansial.

Tahun 2007-2008, Gerakan FIRE semakin populer akibat krisis keuangan di AS. Kondisi ini akhirnya melahirkan tren hidup sederhana atau frugal living. Menurut pendapat para ahli finansial, tren frugal living sangat dimungkinkan lahir dari kecemasan atas prilaku konsumtif yang mengakibatkan tidak memiliki tabungan dan terlilit utang. Kecemasan itu berlanjut mungkin hingga saat ini.

Salah satu  miskonsepsi tentang frugal living adalah gaya hidup ini cenderung menjadi sama dengan pelit. Bahkan tak jarang salah diartikan dengan bersikap seperti benalu yang suka memanfaatkan situasi tertentu demi lebih banyak menabung dengan tujuan mencapai kebebasan finansial. Kalau bisa gratis kenapa mesti bayar. Pola pikir ini tentu salah besar.

Frugal living sebenarnya bukan sekadar hidup yang mengedepankan hemat. Gaya hidup frugal living mewajibkan pelakunya untuk mengatur keuangan dengan cermat dan sebaik mungkin. Sebagai contoh, ketika membeli sebuah barang bukan berarti kita harus membeli barang dengan harga paling murah untuk menghemat pengeluaran, namun kita dapat melihat nilai dari kualitas barang tersebut. Membeli barang murah namun kualitasnya kurang baik, justru menjadi boros karena cepat rusak bukan?

Pada prinsipnya, dengan menjalani gaya hidup frugal living, kita bisa memanfaatkan suatu barang secara maksimal. Jadi, barang benar-benar dapat berfungsi sesuai yang kita butuhkan. Selain itu, kita juga jadi lebih cermat saat ingin membeli suatu barang. Apakah barang tersebut benar-benar kita butuhkan, atau hanya keinginan saja.

 

Harta Meningkat Karena Frugal Living?


Saat Indonesia dilanda pandemi pada awal tahun 2020 lalu, tanpa disadari sebelum mengenal apa itu frugal living sudah banyak dari kita yang ‘dipaksa’ menerapkannya. Masyarakat dipaksa berhemat karena menurunnya pendapatan terutama dari sektor swasta.

Namun, faktanya frugal living tidak hanya diterapkan oleh mereka yang belum merdeka finansial. Lembaga Pengelola Dana Pendidikan (LPDP) mengungkapkan, banyak pemain film, musisi, hingga CEO dan miliarder dunia yang menerapkan gaya hidup ini. Mark Zuckerberg, Warren Buffet, Bill Gates, Jim Walton, Charlie Egen adalah lima miliarder dunia yang ternyata menerapkan frugal living meski sudah kaya raya.

Dari dalam negeri, artis berbakat Cinta Laura, penulis sekaligus pemengaruh Raditya Dika, dan jurnalis kawakan Desi Anwar adalah contoh pesohor yang menerapkan gaya hidup frugal living.

Jika melirik kembali kisah nyata di awal tulisan ini, dapat disimpulkan bawah frugal living berfokus pada bagaimana kita mengatur keuangan dengan bijak. Dampak positifnya akan sangat terasa bagi mereka yang memiliki penghasilan pas-pasan atau sedang berjuang membangun masa depan. Harta bisa jadi bertambah seiring waktu mulai dari tabungan, investasi, atau bahkan properti. Sedangkan bagi mereka yang sudah tajir melintir ini lebih kepada pilihan hidup yang membawa ketenangan jiwa.

 

Jangan Skip Lampiran Harta di SPT Tahunan!

Dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 mengenai ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (UU KUP), seluruh wajib pajak diharuskan untuk melapor Surat Pemberitahuan Tahunan (SPT Tahunan). SPT adalah surat yang digunakan untuk melaporkan penghitungan dan/atau pembayaran pajak, objek pajak dan/atau bukan objek pajak, dan/atau harta dan kewajiban sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan.

Banyak orang mengaku resah ketika diminta memberikan data daftar harta yang dimilikinya. Sepertinya ini terlalu pribadi, sensitif, dan rahasia. Perasaan tersebut bisa jadi muncul saat mengisi lampiran harta di SPT. Bahkan bagi yang hartanya belum seberapa sering merasa enggan, dan berpikir masa iya harus dicantumkan juga?

Benar, sekecil apa pun harta yang dimiliki oleh wajib pajak harus dilaporkan. Wajib pajak wajib mengisi dan menyampaikan Surat Pemberitahuan dengan benar, lengkap, jelas, dan menandatanganinya, demikian bunyi Pasal 4 ayat (1) UU KUP.

Harta perlu dilaporkan karena harta yang dimiliki merupakan representasi dari penghasilan wajib pajak. Pendapatan yang diperoleh seseorang harusnya sama dengan konsumsi dan investasi yang dilakukan. Jika saya memiliki penghasilan setahun Rp200 juta, dan biaya hidup saya setahun adalah Rp150 juta, maka Rp50 juta sisanya dapat dipastikan menjadi harta atau investasi.

Harta dalam SPT secara garis besar meliputi enam jenis yaitu : kas dan setara kas, piutang, investasi, alat transportasi, harta bergerak lainnya, dan harta tidak bergerak. Bila harta tidak dilaporkan, Direktorat Jenderal Pajak (DJP) sewaktu-waktu bisa saja menemukan harta tersebut dan wajib pajak harus membuktikan dari mana harta tersebut berasal. Jadi jangan skip bagian ini dan pastikan sudah diisi dengan benar, lengkap, dan jelas.

Saat ini tak sedikit generasi milenial memilih gaya hidup frugal living agar bisa berinvestasi demi tujuan merdeka finansial. Mengutip dari Kompas.com, berdasarkan hasil studi terkait investasi banyak platform memperlihatkan keterlibatan generasi muda dalam sistem ekonomi.

Investor retail dominan mencapai 75 persen dengan mayoritas usia 18-35 tahun. Terdapat peningkatan penguasaan literasi keuangan terutama di Indonesia karena semua serba bisa akses secara digital. Literasi keuangan ini meningkat cukup signifikan, tercatat 50 persen atau 5 dari 10 orang dinilai sudah melek finansial dan memiliki investasi.

Sejak berlakunya UU KUP, DJP memiliki kewenangan untuk meminta data terkait perpajakan (termasuk transaksi harta dan investasi) yang diperlukan kepada Instansi Pemerintah, Lembaga, Asosiasi dan Pihak Lain (ILAP).

Kewenangan permintaan data kepada ILAP tersebut diatur dalam Pasal 35A UU KUP, PP 31 Tahun 2022, dan PMK 228 Tahun 2017. Cepat atau lambat, potensi pajak yang ada atau belum dilaporkan tentu akan diketahui oleh DJP. Oleh karena itu, mari mulai membiasakan diri untuk mengisi SPT Tahunan kita dengan lengkap, jelas, dan benar mulai sekarang.

Sebuah ungkapan anonim ini mungkin bisa menginspirasi. Biasakan yang benar, bukan membenarkan yang biasa.

 

*) Artikel ini merupakan pendapat pribadi penulis dan bukan cerminan sikap instansi tempat penulis bekerja