Oleh: Wisnu Saka Saputra, pegawai Direktorat Jenderal Pajak

Tapering merupakan kebijakan moneter yang diambil oleh The Federal Reverse untuk mengurangi stimulus ekonomi yang mereka lakukan. Tapering dilakukan untuk bisa menahan laju inflasi yang terus meningkat selama pemulihan ekonomi. 

Kebijakan tapering biasanya diikuti dengan peningkatan suku bunga yang membuat banyak investor asing memilih berinvestasi di Amerika Serikat karena dinilai lebih menarik. Kebijakan tersebut akan menimbulkan capital outflow pasar keuangan domestik yang memengaruhi nilai tukar rupiah yang terus terdepresiasi terhadap dolar Amerika Serikat. 

Industri yang bergantung pada impor akan terdampak terhadap pelemahan nilai mata uang rupiah tersebut. Termasuk usaha kecil yang menggunakan bahan dasar dari impor seperti industri farmasi, industri makanan dan minuman, serta industri benang dan pakaian. Tetapi dampak dari kebijakan tapering The Fed tidak selamanya buruk bagi Indonesia.

Untungkan Pengusaha Batu Bara

Pelemahan rupiah tidak selamanya berdampak negatif, tetapi justru banyak dinantikan oleh para pengusaha komoditas energi seperti batu bara. Hal tersebut karena 70 persen hasil tambang batu bara di Indonesia diekspor ke luar negeri. Menurut laporan Badan Pusat Statistik (BPS), nilai total ekspor batu bara nasional pada kuartal II tahun 2022 mencapai US$13,55 miliar. Angka tersebut meningkat 155% year on year. Hal tersebut menjadikan batu bara sebagai komoditas ekspor energi terbesar di Indonesia.

Pengusaha batu bara diuntungkan dari pelemahan rupiah karena mereka mendapatkan pendapatan yang berasal dari luar negeri dalam bentuk dolar dan menggunakan sumber daya yang ada seperti tenaga kerja dan ongkos transportasi yang mereka bayar menggunakan mata uang rupiah.

Selain mendapatkan keuntungan dari pelemahan rupiah, pengusaha komoditas batu bara juga diuntungkan dengan naiknya harga batu bara acuan (HBA) dari US$2,59 menjadi US$321,59 per ton akibat adanya krisis energi di Eropa terutama pasokan gas dan lonjakan permintaan batu bara dari China, India, dan Korea Selatan.

Tingginya harga komoditas ekspor tersebut dapat membantu perekonomian Indonesia. Pada saat harga komoditas tinggi maka pada saat itu pula pertumbuhan ekonomi Indonesia meningkat. Pertumbuhan ekonomi yang tinggi berkorelasi positif dengan peningkatan penerimaan dari sektor perpajakan karena lebih dari 80% sumber penerimaan APBN berasal dari sektor pajak.

Capaian Realisasi Penerimaan Perpajakan

Menteri Keuangan Republik Indonesia dalam Konferensi Pers APBN mengatakan bahwa kinerja penerimaan negara tumbuh positif didukung oleh peningkatan harga komoditas, pemulihan ekonomi, dampak insentif, dan dampak kebijakan terkait perpajakan. Penerimaan negara dari sektor pertambangan mineral dan batu bara mencatatkan rekor sebagai penerimaan tertinggi dalam lima tahun terakhir dan memberikan kontribusi besar bagi penerimaan negara.

Realisasi penerimaan perpajakan tahun 2021 mencapai Rp1.547,8 triliun atau 107,15% dari target yang ada di dalam APBN dan pada tahun 2022 realisasi penerimaan pajak diharapkan melebihi target yang ada dan tumbuh positif. Peningkatan harga komoditas terutama batu bara mempunyai sumbangan positif terhadap penerimaan negara terutama pada aspek perpajakan pajak pertambahan nilai (PPN) dan pajak penghasilan (PPh).

Berdasarkan sektor, pertambangan menjadi sektor yang paling menonjol. Per akhir Juni 2022, setoran pajak melalui sektor pertambangan meningkat hingga 286,8%. Sektor tambang mengalami kenaikan yang luar biasa karena harga komoditas sedang melesat dengan tinggi.

Amerika sebagai penggerak ekonomi dunia mempunyai magnet yang besar terhadap negara lain dalam setiap kebijakan ekonomi yang mereka lakukan. Salah satu kebijakan yang menjadi perhatian oleh negara lain adalah kebijakan tapering. 

Tapering yang dilakukan oleh The Fed membuat guncangan perekonomian di berbagai negara. Pada saat dunia terjadi guncangan, Indonesia pasti juga akan merasakan guncangan tersebut tetapi tidak separah negara lain karena Indonesia berhasil menahan guncangan yang ada.

Untuk mengantisipasi dampak tapering, otoritas moneter Bank Indonesia (BI) perlu melakukan langkah kebijakan intervensi seperti suku bunga acuan, intervensi di pasar spot, tunai, hingga di pasar surat berharga negara (SBN).

Dukungan kebijakan non-moneter dari pemerintah juga diperlukan, yaitu menjaga neraca dagang berada pada level yang akomodatif. Artinya jika neraca dagang harus kembali defisit maka tidak begitu besar sehingga tidak akan berdampak pada neraca transaksi berjalan. Neraca transaksi berjalan ini menjadi penting karena akan ikut memengaruhi keputusan BI, misalnya dalam menurunkan atau menaikan suku bunga acuan.

Kondisi perekonomian Indonesia masih dalam kondisi yang baik dengan adanya peningkatan penerimaan negara serta adanya surplus transaksi berjalan dan surplus neraca perdagangan. Indonesia juga memanfaatkan momentum tersebut untuk berfokus pada komoditas terutama batu bara sebagai salah satu cara dalam menahan guncangan ekonomi dunia.

Menteri Keuangan Republik Indonesia mengatakan bahwa Indonesia tidak bisa mengontrol kebijakan ekonomi negara lain, tetapi Indonesia dapat menyesuaikan pada kebijakan di dalam negeri agar perekonomian nasional lebih tahan terhadap guncangan dari luar. Indonesia harus tetap waspada dan selektif dalam membuat kebijakan terkait dengan tapering yang dilakukan oleh The Fed, baik kebijakan moneter maupun fiskal yang akan berdampak bagi penerimaan negara.

*) Tulisan ini merupakan pendapat pribadi penulis dan bukan cerminan sikap instansi tempat penulis bekerja.