Oleh: Akhmad Isma’ul, pegawai Direktorat Jenderal Pajak

“Kualitas lebih penting daripada kuantitas,” kata Steve Jobs. Kutipan tersebut boleh jadi menjadi alasan Menteri Keuangan Sri Mulyani mengurangi jumlah pegawai Kementerian Keuangan dalam beberapa tahun mendatang melalui program pertumbuhan negatif (negative growth).

Pertanyaannya, Mengapa Kementerian Keuangan getol menerapkan program pertumbuhan negatif ini? Apabila berangkat dari asumsi masyarakat terkait berbelitnya birokrasi di Indonesia, bukankah pengurangan jumlah pegawai  Direktorat Jenderal Pajak menjadikan pelayanan perpajakan kepada wajib pajak justru menjadi terhambat dan semakin memakan waktu yang lama?

Mengutip Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 87 /PMK.01/2021 tentang Perubahan atas PMK Nomor 77/PMK.01/2020 tentang Rencana Strategis Kementerian Keuangan Tahun 2020-2024, diproyeksikan pada akhir Desember 2024 jumlah pegawai Kementerian Keuangan berkurang menjadi 79.209 orang atau turun sebesar -3.37% dari total jumlah ASN Kemenkeu yang tercatat pada akhir Desember 2020 sejumlah 81.971 orang.

Sedangkan berdasar basis data sistem informasi sumber daya manusia (SDM) yang dimiliki Kemenkeu, total pegawai Kementerian Keuangan per 1 Januari 2020 sejumlah 82.468 orang, dengan Direktorat Jenderal Pajak memegang proporsi pegawai terbanyak, yaitu sejumlah 46.468 orang atau 56,35%. Jika mengacu pada PMK yang sama, tentu jumlah pegawai Direktorat Jenderal Pajak akan mengalami penurunan pada akhir Desember 2024.

Penerapan kebijakan pertumbuhan negatif ini dilaksanakan dalam lima tahun melalui upaya pengendalian rekrutmen pegawai baru, penguatan keragaman SDM Kementerian Keuangan, redistribusi SDM antarunit kerja dan memperhatikan kemungkinan diterapkannya exit strategy dalam rangka implementasi Leaders Factory. Kebijakan ini diharapkan membuat Kementerian Keuangan menjadi institusi yang lebih ramping dan lebih efisien dalam melaksanakan proses bisnisnya karena pemanfaatan teknologi informasi yang optimal dengan rasio belanja pegawai yang terkendali. 

Sejalan dengan hal tersebut, sesuai Keputusan Menteri Keuangan Nomor KMK-483/KMK.03/2020 yang berlaku mulai 1 November 2020, bertempat di Aula Cakti Budhi Bakti Kantor Pusat Direktorat Jenderal Pajak, Dirjen Pajak, Suryo Utama, memberikan arahan kepada tim pelaksana Pembaruan Sistem Inti Perpajakan (PSIAP) untuk merumuskan langkah-langkah terbaik untuk menyukseskan reformasi perpajakan.

Optimalisasi SDM dan Teknologi Informasi

Seperti kita ketahui, PSIAP merupakan bagian reformasi perpajakan melalui optimalisasi penggunaan teknologi informasi yang saat ini tengah dipersiapkan Direktorat Jenderal Pajak. Dengan adanya sistem ini, diharapkan memberi manfaat kepada wajib pajak berupa adanya akun wajib pajak pada portal Direktorat Jenderal Pajak, layanan berkualitas, potensi sengketa berkurang, dan biaya kepatuhan rendah.

Untuk itu, saat implementasi aplikasi inti administrasi perpajakan yang baru, pegawai Direktorat Jenderal Pajak perlu memiliki kompetensi berkaitan dengan proses bisnis dan aplikasi baru tersebut sehingga diperlukan pengembangan kompetensi yang salah satunya dipenuhi melalui pelatihan. Rangkaian pelatihan proses bisnis ini merupakan bagian dari seperangkat program pelatihan yang direncanakan melalui pelatihan membongkar pola pikir pelatihan proses bisnis, serta pelatihan aplikasi.

Dengan demikian, pelatihan dalam rangka  peningkatan keterampilan dan pembentukan pola pikir pegawai agar siap menghadapi perubahan di era digital menjadi kunci. Sehingga, berkurangnya jumlah pegawai Direktorat Jenderal Pajak tidak akan menimbulkan masalah berarti.

Wajib Pajak Ambil Peran

Tahap rancangan umum  dan pendetailan desain telah dilakukan dengan baik dan akan diakhiri dengan dukungan atas Implementasi sistem PSIAP hingga akhir tahun 2024. Yang paling penting adalah, sistem sebagus dan sematang ini, harus pula mendapatkan proporsi ‘pemasaran’ yang tepat agar gaung kemanfaatannya terdengar di telinga wajib pajak. 

Salah satunya melalui konten-konten di berbagai platform media sosial Direktorat Jenderal Pajak, yang tidak hanya edukatif tetapi juga dibuat menarik, tidak hanya berisi data-data tetapi disisipi cerita serta emosi di dalamnya.

Dengan demikian wajib pajak mengerti, apa yang ditampilkan bukan sekadar data dan angka penerimaan pajak yang diproyeksikan melebihi target pada tahun 2022 ini, melainkan sumbangan masyarakat itu ternyata berhasil membuat seorang anak putus sekolah menyambung kembali cita-citanya; seorang ayah yang mengalami sakit parah, berhasil pulih berkat uang pajak yang disalurkan dalam program jaminan kesehatan; seorang pengusaha muda yang hampir mengalami kebangkrutan akibat pandemi Covid-19  berhasil bangkit setelah mengikuti program insentif pajak. Inilah kolaborasi menarik antara data dan cerita.

Dengan konten-konten demikian, akan tercipta suatu keseimbangan. Membuat titik beratnya tidak hanya ada pada Direktorat Jenderal Pajak yang dituntut untuk menanggung beban perubahan itu sendirian, tetapi juga bergeser ke arah wajib pajak. Wajib pajak diharapkan dapat turut serta dan secara aktif mengambil peran dan posisi dalam menghadapi perubahan yang terjadi, salah satunya dengan mengikuti perkembangan perpajakan yang disediakan oleh kanal-kanal informasi yang disediakan oleh Direktorat Jenderal Pajak.

Dengan demikian, meski berkurang jumlah pegawai, layanan pajak tidak akan terbengkalai, tetapi kian memuaskan. Sebab, implementasi aplikasi inti administrasi perpajakan yang baru ini semakin memudahkan wajib pajak dalam memperoleh layanan pajak yang andal, terintegrasi, serta akurat, di mana saja dan kapan saja.

*) Tulisan ini merupakan pendapat pribadi penulis dan bukan cerminan sikap instansi tempat penulis bekerja.