Oleh Dedi Kusnadi, Nominasi IV Lomba Artikel Pajak Nasional Direktorat Jenderal Pajak

Sebuah rumah ‘gubuk’ (semi permanen) yang terletak di pinggir sawah itu tampak sepi, seperti tak berpenghuni, hanya beberapa ekor ayam kampung berkeliaran disekitar gubuk. Pada sisi kanan bangunan tampak tumpukan kayu bakar yang teronggok rapi dan pada sisi kirinya tampak tiang-tiang bambu tempat menjemur pakaian. Di belakang gubuk tampak ‘kamar mandi’ yang terbuat dari jalinan bambu dengan pintu terbuat dari bilah papan yang tak begitu rapat. Hm… ya, rumah itu milik Mbah Bejo, seorang kakek buruh tani yang bekerja serabutan membantu para petani dalam bercocok tanam dan memetik hasil panen. Mbah Bejo menghuni rumah itu hanya ditemani istri tercintanya yang setiap hari berjualan sayur di pasar. Putra-putrinya telah dewasa dan tinggal di kota lain. Sarana transportasi satu-satunya yang dimiliki Mbah Bejo adalah ‘Sepeda Kumbang’ yang telah berumur puluhan tahun hampir seumur dengan Mbah Bejo. Sepeda inilah yang dengan setia mengantarkan Si Mbok (Istri Mbah Bejo) ke pasar yang berjarak sekitar 1 km dari rumahnya.

 

Seperti biasanya, selepas bekerja membantu para pemilik lahan bercocok tanam, Mbah Bejo duduk-duduk di teras rumah dengan ditemani sebuah radio transistor yang sudah cukup tua. Radio itu menggunakan 2 buah baterry ukuran standar sebagai dayanya, yang dapat bertahan hingga 3 hari. Itulah satu-satunya pengeluaran terbesar dalam kehidupan Mbah Bejo. Setiap bulannya rata-rata Rp 50.000,- ia keluarkan demi mendengar suara merdu dari radio tercintanya.

 

“Hm…nikmatnya kalau listrik sudah sampai ke sini”, demikian Mbah Bejo bergumam. Dalam benaknya terbayang jika ada listrik ia dapat menghidupkan radio dan menyalakan lampu untuk penerangan. Selama ini ia masih menggunakan minyak tanah untuk menghidupkan lenteranya. Dengan listrik pula kemungkinan banyak anak kampung dapat lebih giat belajar dan suara anak-anak mengaji di Surau pun akan lebih ramai. Itulah rupanya yang menjadi impian Mbah Bejo, listrik…. ya listrik….

 

Sekali waktu terpikir juga olehnya, betapa Si Mbok sering kepayahan mengayuh sepeda ‘butut’ di tengah siraman air hujan. Jalan kampung di desanya belum beraspal dan ketika turun hujan jalan ini berubah menjadi ‘kubangan lumpur’ yang sangat sulit untuk dilalui sepeda. Mbah Bejo membayangkan, “Andai saja jalan itu sudah beraspal, tentunya Si Mbok tidak kepayahan mengayuh sepeda”. Inilah impian Mbak Bejo berikutnya, perbaikan sarana jalan.   

 

Mbah Bejo pernah mendengar dari radio tercintanya bahwa dibutuhkan dana yang cukup besar untuk membangun sarana perlistrikan dan perbaikan sarana jalan. Dana tersebut, katanya, sebagian besar diperoleh dari pembayaran pajak yang dilakukan oleh masyarakat. Oleh karenanya, Mbah Bejo tidak pernah menunda-nunda pembayaran pajaknya yaitu Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) atas rumah gubuknya yang tidak seberapa. Mbah Bejo berpikir kalau saja semua masyarakat membayar pajak dengan baik dan benar, maka dana yang terkumpul tentunya akan sangat cukup untuk membangun sarana listrik dan perbaikan sarana jalan di desanya dan mungkin di desa-desa lainnya juga.     

 

Tahukah Anda, apakah hanya jenis pajak PBB yang telah dibayar oleh Mbah Bejo?

 

Hm… memang secara langsung hanya jenis pajak PBB yang dibayar sendiri oleh Mbah Bejo, namun ketika Mbah Bejo membeli baterry untuk radionya, secara tidak langsung Mbah Bejo telah membayar Pajak Pertambahan Nilai (PPN) yang dipungut oleh Penjual Baterry. Demikian juga ketika Mbah Bejo membeli sepeda, radio, dan barang lainnya. Mungkin Anda tidak mengira bahwa Mbah Bejo telah membayar PPN lebih besar dari orang-orang di kota. Benarkah ? Ya benar… hal ini terjadi karena harga barang-barang di desanya jauh lebih mahal dari harga di kota. Semakin mahal suatu barang, maka PPN yang dibayar pasti lebih besar, karena PPN dipungut oleh penjual sebesar 10% dikalikan dengan harga jual barang tersebut.

 

Mbah Bejo tidak pernah mengeluh walaupun mengetahui dirinya telah membayar pajak lebih tinggi dari orang-orang di kota. Dia pun tidak pernah ‘protes’ ketika mengetahui dirinya tidak termasuk dalam daftar penerima ‘Bantuan Langsung Tunai (BLT)’, yang ‘notabene’ merupakan dana yang dihimpun dari pajak. Mbah Bejo hanya berharap rumahnya yang semi permanen dapat diterangi oleh cahaya lampu dari tenaga listrik dan jalan menuju rumahnya dapat rapi di aspal.

 

Jika Mbah Bejo yang tinggal di rumah gubuk saja tertib membayar pajak, bagaimana dengan kita? 

 

Sebagai gambaran, pada APBN Tahun 2010 jumlah Penerimaan Pajak Dalam Negeri mencapai Rp 715,2 triliun, terdiri dari penerimaan Pajak Penghasilan (PPh) sebesar Rp 356,6 triliun, PPN sebesar Rp 251,9 triliun, PBB sebesar Rp 28,6 triliun, dan jenis pajak lainnya. Sementara Penerimaan Negara Bukan Pajak, termasuk penerimaan dari Sumber Daya Alam, hanya sebesar Rp 267,5 triliun. Penerimaan dari sektor pajak ini memiliki kontribusi sebesar 70% dari total penerimaan APBN kita yang jumlahnya sebesar Rp 1.014 trilyun.

 

Dana APBN tersebut dialokasikan menjadi 2 (dua) bagian yaitu sebagian untuk Belanja Pemerintah Pusat sebesar Rp 708,7 triliun dan sebagian lagi di Transfer Ke Daerah sebesar Rp 344,7 triliun. Sementara Belanja Pemerintah Pusat sendiri lebih banyak digunakan untuk pembiayaan Belanja Pegawai (gaji dan honorarium) sebesar Rp 147,7 triliun, Belanja Barang sebesar Rp 94,6 triliun, Belanja Modal sebesar Rp 75,5 triliun dan untuk Pembayaran Bunga Utang sebesar Rp 88,3 triliun. Belanja terbesar dalam APBN kita adalah pengeluaran untuk Subsidi (antara lain : listrik dan bahan bakar) sebesar Rp 214,1 triliun.

 

Dapat dibayangkan bahwa jika penerimaan pajak merosot, tentunya jumlah dana dalam APBN pun akan jauh berkurang. Dampaknya adalah berkurangnya kegiatan-kegiatan yang dapat dilakukan oleh pemerintah sebagaimana yang telah dialokasikan dalam APBN, sehingga secara langsung dapat mengganggu jalannya pembangunan nasional di segala bidang.

 

Oleh karenanya, mari kita tertib membayar pajak demi berlanjutnya pembangunan dan demi tegaknya Negara Kesatuan Republik Indonesia.

 

Gelorakan semangat bahwa kita membayar pajak bukan untuk siapa-siapa, tapi untuk kita-kita juga, untuk kemajuan Bangsa Indonesia.

 

“PAJAKKU UNTUK INDONESIAKU”

 

Jika Anda bercita-cita ingin menjadi pahlawan, maka sekaranglah saatnya. Pembayar pajak adalah Pahlawan Pembangunan Bangsa.