Oleh: Anandita Budi Suryana, pegawai Direktorat Jenderal Pajak

Untuk menghindari tagihan pajak, masih ada penanggung pajak berbuat tidak jujur. Para penanggung pajak, terutama orang pribadi penanggung pajak perusahaan, menggunakan modus pailit untuk menghindari tunggakan pajak.

Terkait tindakan menagih pajak, pemerintah menggunakan UU Nomor 19 tahun 2000 tentang PPSP (Penagihan Pajak dengan Surat Paksa). Inti kekuatan dari UU PPSP, yaitu adanya Surat Paksa yang menjadi dasar atau perintah kepada wajib pajak atau penanggung pajak agar membayar utang pajak dan biaya penagihan pajak. Dalam rangka pemaksaan pembayaran tunggakan, Surat Paksa mempunyai kekuatan eksekutorial dan kedudukan hukum yang sama dengan putusan pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum tetap (inkracht). Kekuatan eksekutorial ini khusus untuk penagihan pajak dan tidak ada pada UU lainnya.

Rangkaian tindakan penagihan pajak yang dilakukan juru sita meliputi penerbitan surat teguran, penagihan seketika dan sekaligus, pemberitahuan Surat Paksa, mencegah ke luar negeri, gijzeling atau sandera penanggung pajak, dan menjual barang sitaan. Juru sita  berhak menagih seketika dan sekaligus dalam hal penanggung pajak akan meninggalkan Indonesia, mengalihkan barang yang dikuasai, membubarkan badan usahanya, badan usaha akan dibubarkan negara, atau terdapat tanda-tanda akan pailit.

Dalam hal penyitaan harta penanggung pajak oleh pengadilan, negara mempunyai hak mendahulu untuk tagihan pajak melebihi segala hak mendahulu lainnya, termasuk hak mendahulu dari perbankan atau lembaga lainnya. Apakah landasan hukum untuk  penagihan telah efektif?

Permohonan pailit terus meningkat. Data permohonan pailit di PN Niaga Surabaya berdasarkan SIPP (Sistem Informasi Penelusuran Perkara) tahun 2020 hanya ada 10 permohonan, tahun 2021 meningkat menjadi 32, dan untuk Januari-Mei 2022 ada 16.

Tujuan kemudahan permohonan pailit adalah untuk memberikan kepastian hukum dalam berbisnis di Indonesia. Maka itu, pemerintah menetapkan UU Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (UU Pailit). Pasal 2 pada UU Pailit hanya mensyaratkan debitor dengan minimal dua kreditor  dan satu utang telah jatuh tempo, maka debitor tersebut bisa dinyatakan pailit.

Gugatan Actio Pauliana

Celah kemudahan pailit dimanfaatkan penanggung pajak badan untuk memailitkan diri sendiri. Akibat pailit ini, maka kreditur tidak dapat menyita harta penanggung pajak dan harus berkoordinasi dengan kurator atau hakim pengawas untuk pembayaran tagihan. Meskipun berdasarkan UU PPSP negara memiliki hak mendahulu untuk pembayaran tagihan, namun debitur yang pailit telah mengalihkan atau menghibahkan harta kekayaannya ke keluarga terdekat.

Dalam hal kreditor dirugikan karena debitur mengajukan pailt, maka kreditur dapat menggunakan actio pauliana. Opsi ini diatur pada Pasal 41 UU Pailit. Fasilitas ini dapat digunakan oleh kreditor untuk meminta pembatalan tindakan hukum debitur yang tidak diwajibkan dan tindakan itu merugikan kreditur. Namun, tidak ada batasan waktu sampai kapan actio pauliana dapat diajukan dan kreditur mana saja yang dapat menggugat.

Ada tiga syarat actio pauliana yaitu perbuatan hukum debitur merugikan kreditur, perbuatan itu tidak wajib dilakukan, dan perbuatan dilakukan kurun waktu setahun sebelum pailit. 

Contoh dasar gugatan actio pauliana yaitu adanya hibah dari penanggung pajak kepada anak kandung. Hibah oleh penanggung pajak ini bukan tindakan yang wajib dilakukan. Hibah justru berpotensi mengurangi kemampuan debitur membayar utang. Jika hibah dilakukan sebelum setahun saat pailit diputuskan, maka kantor pajak seharusnya dapat menggugat keputusan pailit tersebut.

Secara khusus Pasal 43 dan 44 UU Pailit mengatur bahwa hibah yang dilakukan debitur dapat diminta pembatalan apabila saat hibah dilakukan debitur mengetahui tindakan itu merugikan kreditur dan hibah yang dapat dibatalkan dalam jangka setahun sebelum pailit.

Secara umum, perlu revisi UU Pailit dengan merubah beberapa hal agar penagihan pajak efektif. Pertama, kewajiban bagi orang pribadi yang mengajukan pailit harus dilampiri surat bebas tunggakan pajak atas pajak pribadi maupun pajak perusahaan dari KPP. Opsi ini menjadi mitigasi awal agar seluruh tunggakan pajak dapat dilunasi sebelum adanya permohonan pailit.

Kedua, Pemerintah perlu menetapkan Menteri Keuangan atau Direkorat Jenderal Pajak berkedudukan sebagai kreditor utama yang berhak memveto permohonan pailit, dalam hal wajib pajak atau penanggung pajak mengajukan pailit. Dengan adanya veto, maka  modus permohonan pailit oleh orang pribadi atau badan tidak menjadi moral hazard dari pembayaran tunggakan pajak.

Ketiga, dalam hal ada pengalihan saham atau kepemilikan atas perusahaan, maka atas tunggakan wajib pajak badan yang dialihkan tetap menjadi kewajiban penanggung pajak yang lama dan baru. Modus pengalihan saham kepada pihak lain yang secara ekonomis tidak mampu melunasi pajak, bisa dicegah dengan menetapkan pemegang saham lama tetap menjadi penanggung pajak.

Keempat, DJP diberi prioritas harus mengajukan actio pauliana ke Pengadilan Niaga, dengan tidak ada kedaluwarsa batasan waktu gugatan actio pauliana dengan saat pailit diputuskan. Kelima, Pemerintah perlu menetapkan dalam hal wajib pajak atau penanggung pajak mengajukan pailit, maka harta yang dipindah tangan dalam jangka waktu setahun sebelum pailit, langsung menjadi aset sitaan untuk dilelang.

Aturan pailit menjadi sarana kemudahan berbisnis, namun perlu dikelola secara baik, agar tidak menjadi sarana penghindaran pembayaran tunggakan pajak.

 

*)Artikel ini merupakan pendapat pribadi penulis dan bukan cerminan sikap instansi tempat penulis bekerja