Menyoal Perubahan Iklim Melalui Implementasi Pajak Karbon

Oleh: Timothy Happy Santoso, pegawai Direktorat Jenderal Pajak
Perubahan iklim merupakan isu global yang penting yang diangkat dalam Presidensi G20. Isu ini menjadi permasalahan strategis di banyak negara-negara di dunia. Dampak dari perubahan iklim tidak hanya dirasakan oleh satu atau dua negara, tetapi seluruh penjuru dunia. Cakupan dampaknya bahkan bisa sama seperti pandemi COVID-19.
Ancaman perubahan iklim ini berjalan seiring dengan pembangunan sebuah negara. Semakin maju sebuah negara dengan tingginya mobilitas dan penggunaan energi, maka emisi karbon yang dihasilkan juga semakin tinggi. Alhasil, perubahan iklim bukanlah sebuah lelucon belaka dan dampak katastropik akibat kenaikan suhu permukaan bumi tidak terhindarkan.
Menurut data Standard & Poor’s (2014) Indonesia merupakan salah satu negara yang sangat rentan terhadap perubahan iklim. Perubahan iklim yang nyata dialami Indonesia saat ini adalah kenaikan permukaan laut dan kenaikan suhu setiap tahunnya. Berdasarkan data Bappenas (2021), kenaikan permukaan laut Indonesia mencapai 0,8-1,2 cm per tahun, sedangkan sekitar 65% dari penduduk Indonesia tinggal di pesisir. Data BMKG (2020) juga menunjukkan tren kenaikan suhu dari 1998-2018 sebesar 0,03 derajat celcius setiap tahunnya. Hal ini menunjukkan bahwa jelas perubahan iklim merupakan bom waktu yang menjadi isu penting untuk dicari solusinya untuk mitigasi.
Dampak Kerugian Ekonomi
Menurut Roadmap NDC (Nationally Determined Contribution) Adaptasi (2020), potensi kerugian ekonomi Indonesia dapat mencapai 0,66% sampai dengan 3,45% dari PDB Nasional atau sekitar Rp110,38 triliun hingga Rp577,01 triliun dengan nilai rupiah tahun 2020. Analisis tersebut hanya memperhitungkan dampak akibat bencana yang secara mendasar, seperti sebaran penyakit akibat bencana banjir, longsor, dan kekeringan serta kejadian puso pada pertanian akibat banjir. Sedangkan dampak riil terhadap infrastruktur diperhitungkan secara terpisah. Jika diperhitungkan secara keseluruhan baik perubahan iklim dan kerusakan ekosistem akibat bencana, maka nilainya sekitar Rp4.328,38 triliun dengan nilai rupiah tahun 2020.
Sejalan dengan komitmen Indonesia dalam mitigasi dampak perubahan iklim, tidak dapat dimungkiri bahwa perlu pendanaan yang cukup besar. Menurut data Roadmap NDC, biaya mitigasi secara akumulatif dari tahun 2020 sampai dengan 2030 mencapai Rp3.779,63 triliun (rata-rata Rp343,6 triliun per tahun). Perlu adanya paket kebijakan yang komprehensif dan menyeluruh untuk memastikan kebutuhan pendanaan dalam mitigasi dapat terpenuhi dengan baik.
Relevansi Mitigasi Perubahan Iklim
Isu perubahan iklim menjadi Prioritas Nasional dalam RPJMN 2020-2024 dan mendapatkan prioritas pendanaan melalui mekanisme APBN. Namun, dalam APBN tidak disebutkan secara spesifik nilai pendanaan untuk adaptasi perubahan iklim. Apabila disesuaikan dengan tingkat kompleksitas adaptasi dan mitigasi dampak perubahan iklim yang ada, sangat mungkin diperlukan diferensiasi sumber pendanaan melalui instrumen non APBN seperti pembiayaan inovatif, akses pendanaan global, dan intervensi investasi swasta. Dengan beragamnya sumber pendanaan adaptasi dan mitigasi perubahan iklim, maka tujuan NDC akan semakin mudah dicapai tanpa terlalu membebani APBN.
Dalam mencapai target komitmen nasional dalam penanganan perubahan iklim, Indonesia menerapkan instrumen Nilai Ekonomi Karbon (NEK) atau Carbon Pricing. Dalam NEK, terdiri dari instrumen perdagangan dan nonperdagangan. Instrumen perdagangan mengandung perpindahan hak atas aktivitas emisi karbon yang terdiri atas dua jenis, yaitu perdagangan ijin emisi bagi entitas yang mengemisi lebih banyak membeli izin emisi dari entitas yang mengemisi lebih sedikit dan offset emisi bagi entitas yang melakukan aktivitas penurunan emisi dapat menjual marjin emisi karbonnya kepada entitas yang membutuhkan marjin emisi tersebut.
Hal ini tentu akan menggerakkan pasar karbon sebagai sektor perekonomian yang potensial dan bentuk partisipasi industri dalam mengurangi emisi karbon. Adapun instrumen nonperdagangan tidak mengandung perpindahan hak atas aktivitas emisi karbon yang terdiri dari dua jenis, yaitu pajak karbon sebagai pungutan atas aktivitas yang menghasilkan emisi karbon dan result based payment, yaitu pembayaran atau insentif yang diberikan atas hasil penurunan emisi karbon.
Pajak Karbon merupakan salah satu instrumen non perdagangan dalam NEK yang telah dituangkan dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan dan Peraturan Presiden Nomor 98 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan NEK. Penerimaan dari pajak karbon dalam postur APBN dapat digunakan untuk dana pembangunan, adaptasi dan mitigasi perubahan iklim, mendukung investasi teknologi yang ramah lingkungan, serta dukungan kepada masyarakat berpenghasilan rendah dalam bentuk bantuan sosial.
Implementasi Pajak Karbon di Indonesia
Landasan hukum dari pengenaan pajak karbon secara garis besar telah tertuang dalam Pasal 13 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021. Latar belakang dari pengenaan pajak karbon adalah eksternalitas negatif yang ditimbulkan bagi lingkungan hidup atas aktivitas industri yang menghasilkan karbon. Oleh karena itu, pajak karbon dapat dikatakan salah satu bentuk Pigouvian Tax. Terlebih lagi komitmen pemerintah dalam mewujudkan target NDC untuk menurunkan emisi Gas Rumah Kaca (GRK) sebesar 29% dengan usaha sendiri atau sekitar 834 juta ton emisi karbon dan mencapai 41% jika dengan bantuan internasional atau sekitar 1.081 juta ton emisi karbon.
Pengenaan pajak karbon memiliki tiga tujuan penting. Pertama, eksistensi dari pajak karbon ini diharapkan mengubah perilaku. Sesuai dengan teori mekanisme pajak pigovian, pajak akan menggeser biaya marjinal privat yang akan naik bersamaan dengan jumlah eksternalitas yang ditimbulkan. Pajak karbon yang diterapkan dengan tarif per ton emisi karbon diharapkan mengubah perilaku industri untuk mengubah proses produksi, teknologi, atau menggunakan sumber daya energi yang lebih hijau dan terbarukan.
Kedua, pajak karbon mendukung penurunan emisi GRK dalam jangka menengah dan panjang. Ketiga, mendukung perkembangan perdagangan emisi karbon dan mendorong inovasi serta investasi teknologi yang efisien dan ramah lingkungan. Mekanisme pasar karbon seperti cap & trade merupakan sistem perdagangan izin emisi karbon bagi industri yang menghasilkan emisi lebih sedikit akan memperdagangkan marjin emisi tersebut ke industri yang menghasilkan emisi lebih banyak. Sistem semacam ini akan mendorong industri untuk berinovasi untuk membangun proses produksi yang menghasilkan emisi paling efisien dan teknologi yang ramah lingkungan. Selain itu, wajib pajak yang berpartisipasi dalam perdagangan emisi karbon dapat diberikan insentif berupa pengurangan pajak karbon.
Pemberlakuan pajak karbon menggunakan skema cap & tax pada badan yang bergerak di bidang PLTU batubara. Prinsip pengenaan pajak karbon adalah keadilan dengan berdasar pada polluters-pay-principle, memperhatikan aspek keterjangkauan nilai pajak demi kepentingan masyarakat, dan dilaksanakan secara bertahap dengan memperhatikan kesiapan sektor terkait agar tidak memberatkan perekonomian nasional. Tarif pajak karbon ditetapkan lebih tinggi atau sama dengan harga karbon di pasar karbon per kilogram CO2e atau satuan yang setara. Jika harga karbonnya lebih rendah, maka ditetapkan Rp30,00 per kilogram CO2e atau satuan yang setara.
Apabila kuantitas emisi karbon yang dihasilkan satu ton, maka total pajak karbon yang terutang minimal Rp30.000,00 atau sekitar US$2,10 per ton. Saat terutang pajak karbon ini adalah pada akhir periode tahun kalender dari aktivitas yang menghasilkan emisi karbon dalam jumlah tertentu. Untuk mekanisme pengenaan pajak, wajib pajak yang berpartisipasi dalam perdagangan emisi karbon dapat memanfaatkan sertifikat karbon yang dibeli di pasar karbon sebagai pengurang atas kewajiban pajak karbon.
Implementasi Pajak Karbon di Negara Lain
Finlandia merupakan negara pertama yang menggunakan pajak karbon sebagai instrumen dalam mitigasi perubahan iklim pada tahun 1990. Menurut data The World Bank per 1 April 2021, tarif pajak karbon yang diterapkan Finlandia saat ini adalah US$ 72,83 per ton untuk bahan bakar transportasi dan US$ 62,25 per ton untuk bahan bakar fosil lainnya. Penerapan pajak karbon ini turut berkontribusi dalam penurunan tingkat emisi pada sektor transportasi setidaknya 15% dan meningkatkan penggunaan sumber energi terbarukan untuk sektor transportasi setidaknya 10% dari seluruh sumber energi transportasi negara Finlandia di tahun 2020.
Negara dengan tarif pajak tertinggi di dunia saat ini adalah Swedia. Menurut data The World Bank per 1 April 2021, tarif pajak karbon di Swedia mencapai $137,24 per ton. Swedia menerapkan pajak karbon pada 1991. Sejalan dengan komitmen dalam mitigasi perubahan iklimnya, Swedia melakukan pergeseran porsi penerimaan pajak dari pajak penghasilan ke pajak karbon. Penerapan pajak karbon menurunkan tarif PPh Badan menjadi 27% dan PPh Orang Pribadi menjadi 30%. Berbagai upaya dilakukan termasuk kemudahan administratif atas pajak karbon juga diterapkan oleh Swedia.
Bagaimana dengan negara tetangga? Singapura merupakan negara pertama di kawasan Asia Tenggara yang menerapkan skema pajak karbon. Mulai tanggal 1 Januari 2019, Singapura menerapkan tarif pajak karbon sebesar US$ 3,71 atau sekitar Rp53.000 per ton karbon per 2019 hingga 2023. Terdapat sekitar 50 entitas yang dikenakan pajak karbon yang mencakup sekitar 80% dari total emisi negara Singapura. Dengan memperhitungkan cukai bahan bakar yang memberikan dampak eksternalitas negatif bagi lingkungan, lebih dari 90% dari emisi tersebut telah dikenakan pajak karbon. Singapura merupakan salah satu negara dengan cakupan pemajakan karbon tertinggi di dunia.
Penerapan skema pemajakan karbon tidak selalu berjalan sesuai dengan yang diharapkan. Australia merupakan negara yang menghentikan pengenaan pajak karbon pada tahun 2014 setelah dua tahun berjalan sejak 2012. Pada waktu itu tarif pajak yang ditetapkan adalah US$ 24,00 per ton karbon. Ditambah lagi, Australia pada saat itu sedang dalam masa pemulihan ekonomi pasca krisis ekonomi global. Eksistensi pajak karbon ini menambah beban secara operasional industri sehingga menyebabkan tarif energi meningkat dan tenaga kerja banyak yang dikurangi. Dari sudut pandang kebijakan fiskal, kebijakan pajak karbon berdampak pada meningkatnya defisit APBN dan utang publik.
Penutup
Eksistensi pajak karbon dan upaya menggerakkan perekonomian pada pasar karbon menjadi bukti nyata keseriusan Indonesia dalam mewujudkan target NDC untuk menurunkan tingkat emisi dan dampak perubahan iklim. Sebagai negara yang akan memulai pemajakan pada sektor yang baru melalui kebijakan fiskal yang countercyclical sejak 2020 menunjukkan keberpihakan pengelolaan APBN yang nyata untuk membantu masyarakat dan dunia usaha. Harapan dengan adanya pajak karbon ini tidak hanya menambah penerimaan perpajakan, tetapi juga dapat meningkatkan kualitas hidup masyarakat Indonesia melalui kualitas udara yang baik dan ketersediaan dana pemerintah mendanai pembangunan dan pelayanan kesehatan.
*) Tulisan ini merupakan pendapat pribadi penulis dan bukan cerminan sikap instansi tempat penulis bekerja.
- 449 views