Sebuah Renungan Pajak: Menuju Hari Terakhir PPS

Oleh: Indrajaya Burnama, pegawai Direktorat Jenderal Pajak
Menarik. Itulah gambaran “kisah kasih pajak" seorang konglomerat kopi nasional yang bungkusnya bergambar kapal. Namanya, Soedomo Mergonoto. Ada dua testimoni penting yang disampaikannya saat sosialisasi Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP) di Jawa Timur pada Januari lalu. Satu, dia menerima "surat cinta pajak" padahal sudah mengikuti pengampunan pajak yang katanya ditutup rapat semua permasalahan pajaknya.
Soedomo mendadak kaget ketika surat itu membahas tentang satu asetnya yang terlewat dan belum terungkap saat mengikuti pengampunan pajak. Dia pun takjub karena Direktorat Jenderal Pajak (DJP) bisa mendeteksi aset lamanya di Singapura yang terlupa sendiri olehnya. Singkatnya dia merasakan adanya perkembangan kualitas sistem pajak nasional.
Dua, dia juga bercerita bahwa orang kaya atau konglomerat memiliki kecenderungan menghindari pajak. Menurutnya semakin besar penghasilan seseorang maka semakin besar pula pajak yang harus dibayar. Hal itu mendorong sebagian orang kaya menghindari pajak agar uangnya tidak berkurang. Dengan begitu dia dapat menumpuk harta. Terangnya, itu adalah bagian dari naluri manusia.
Dianggap Benar
Penyampaian “surat cinta pajak” seperti yang diterima Soedomo adalah bagian dari edukasi sekaligus pengawasan DJP terhadap wajib pajak. Hal itu berlaku kepada seluruh wajib pajak lantaran sistem pajak nasional adalah Self Assessment System. Artinya wajib pajak diberi kepercayaan seluas-luasnya untuk melakukan kewajiban pajak dan mengambil hak pajaknya secara mandiri.
Dalam Sistem Self Assessment, awalnya semua pelaksanaan kewajiban pajak yang dilakukan wajib pajak dianggap benar oleh DJP. Ada penghormatan besar terhadap pelaksanaan kewajiban pajak wajib pajak. Namun, anggapan itu menjadi gugur saat ditemukan data lain yang menunjukkan adanya indikasi kesalahan dalam pelaksanaan kewajiban pajaknya.
Jadi di balik pemberian kepercayaan itu juga dilakukan pengawasan berdasarkan data yang dapat dipertanggungjawabkan. Banyak data yang nantinya digunakan untuk mengawasi kepatuhan wajib pajak. Sejak data keuangan yang diperoleh dari sistem pertukaran informasi keuangan secara otomatis (AEoI) sampai dengan data instansi, lembaga, asosiasi, dan pihak lain (ILAP).
DJP tidak mendudukkan wajib pajak sebagai terpidana saat ditemukan data lain yang berbeda. Ada serangkaian proses yang mesti dilewati. Di antaranya penerbitan surat teguran, imbauan atau sejenisnya, dan kesempatan wajib pajak memberikan klarifikasi. Jika tidak merespons atau wajib pajak menanggapi, tetapi tidak sesuai peraturan perpajakan berlaku baru dilakukan pemeriksaan.
Khilaf atau Sengaja
Pernyataan Soedomo bahwa orang kaya cenderung menghindari pajak semakin memperkuat hasil riset sebelumnya. OECD (2009) menyatakan, orang kaya melakukan perencanaan pajak secara agresif lantaran mereka mampu melakukannya. Ada sumber daya yang cukup, baik uang maupun manusia. Selain itu kompleksitas dan ukuran usaha mereka juga menyebabkan kompleksitas urusan perpajakan.
IMF dan Victor Thuranyi pada tahun lalu juga menyatakan hal senada melalui penelitian yang berbeda. Mereka berpendapat sebagian besar penghasilan orang kaya berasal dari penghasilan pasif seperti investasi dan properti. Mereka juga menjelaskan bahwa orang kaya melakukan investasi atas kekayaannya di negara lain dengan tarif pajak rendah. Asetnya tersebar di banyak negara.
Melihat hasil-hasil penelitian di atas dapat disimpulkan adanya dua motif wajib pajak yang melakukan penghindaran pajak. Tepatnya, khilaf atau sengaja melakukan penghindaran pajak. Namun, pembeda motif itu akan tampak salah satunya dari kecepatan respons serta klarifikasi atas data pajak yang dilakukan wajib pajak tatkala menerima "surat cinta" Ditjen Pajak.
Menuju Hari Terakhir
Sebuah berita gembira bahwa sampai dengan akhir bulan ini terbentang kesempatan emas bagi wajib pajak untuk mengungkapkan asetnya melalui Program Pengungkapan Sukarela (PPS). Mereka bisa mengungkap aset yang belum dilaporkan sejak tahun pajak 2016 sampai dengan 2020. Selain itu mereka juga dapat mengungkapkan asetnya yang terlupa saat mengikuti pengampunan pajak.
Ada tiga manfaat yang diterima wajib pajak jika mengikuti PPS. Satu, tidak diterbitkan surat ketetapan untuk tahun pajak 2016 sampai dengan 2020. Dua, bebas sanksi 200% dari pajak penghasilan yang kurang dibayar bagi peserta PPS yang pernah mengikuti pengampunan pajak. Tiga, data atau informasi yang diungkap tidak dapat dijadikan dasar penyelidikan, penyidikan dan atau penuntutan pidana.
Testimoni Soedomo di atas seyogianya menjadi bahan renungan bagi para orang kaya lainnya. Ada peningkatan kualitas sistem pajak nasional. Menghindari pajak semakin susah. Bukannya untung bisa jadi malah buntung. Jadi manfaatkan momentum berharga dengan mengungkapkan aset yang terlupa melalui PPS karena sesal kemudian tidak berguna. Mengutip Diva Pop, Krisdayanti, dalam satu lagunya: menghitung hari detik demi detik. Bilang saja pada semua, PPS ditutup pada Kamis, 30 Juni!
*) Tulisan ini merupakan pendapat pribadi penulis dan bukan cerminan sikap instansi tempat penulis bekerja.
- 176 views