Ada Apa dengan Rp1 Miliar?
Oleh: Suparnyo, pegawai Direktorat Jenderal Pajak
Bulan Juni 2022 sudah kita masuki, tak terasa sebentar lagi berakhir. Ingatkah, bahwa Program Pengungkapan Sukarela (PPS) dalam Undang-Undang nomor 7 tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan juga akan segera selesai pada 30 Juni 2022?
Direktorat Jenderal Pajak (DJP) sudah secara masif menyosialisasikan program ini, baik via daring maupun luring. Berbagai media sosial juga sudah menampilkan testimoni PPS dari para pesohor negeri ini, di antaranya: Merry Riana, Bambang Soesatyo, Boy William, Hotman Paris, dan lainnya. Tujuannya satu agar masyarakat juga ikut.
Bagi peserta PPS kebijakan I yang sampai PPS berakhir masih ada harta yang belum diungkapkan pada saat mengikuti amnesti pajak 2016 akan dikenai Pajak Penghasilan (PPh) Final atas harta bersih tambahan ditambah sanksi 200%. Untuk peserta PPS kebijakan II yang sampai PPS berakhir masih ada harta yang belum diungkapkan dalam Surat Pemberitahuan Pengungkapan Harta (SPPH) dikenai PPh Final atas harta bersih tambahan dengan tarif 30% ditambah sanksi sanksi sesuai UU KUP. Baik kebijakan I maupun II, jika wanprestasi untuk repatriasi/investasi sampai batas waktu yang ditentukan, dikenakan tambahan PPh Final. Besar sekali sanksi kedua kebijakan ini, jadi sayang sekali kalau kesempatan ini kita lewatkan begitu saja.
Pada acara adendum Perjanjian Kerja Sama (PKS) antara Direktorat Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil (Ditjen Dukcapil) dan DJP tanggal 19 Mei 2022, Dirjen Pajak Suryo Utomo mengatakan bahwa sejak perpanjangan PKS dengan Ditjen Dukcapil pada 2018 pihaknya sudah melakukan pemadanan data. Dirjen Dukcapil Kementerian Dalam Negeri Zudan Arif Fakrulloh juga menyampaikan bahwa data kependudukan Dukcapil ini mulai diintegrasikan sejak tahun 2013, dipelopori oleh 10 lembaga, salah satunya DJP.
Amandemen perjanjian ini merupakan tindak lanjut dari kebijakan Nomor Induk Kependudukan (NIK) sebagai Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) dalam UU HPP. Keraguan untuk ikut atau tidak ikut PPS, terutama terkait keandalan data yang dipunyai DJP, seharusnya tidak ada karena pemadanan berbagai sumber data, baik atas data dari luar negeri maupun dalam negeri terus disempurnakan. Atas harta yang belum kita laporkan pada Surat Pemberitahuan (SPT) suatu saat pasti akan ketahuan.
Kewajiban perpajakan masyarakat adalah daftar, hitung, bayar, dan lapor. Keempatnya menganut prinsip self assessment. Daftar di fungsi ekstensifikasi, dan Hitung, bayar, lapor di fungsi intensifikasi. Terlepas dari sifatnya yang lunak, ada hal paling penting untuk dicatat tentang definisi self assessment ini, yakni bahwa ia tidak berhenti di situ, terserah wajib pajak. Keduanya ada pengawasan yang dilakukan oleh Petugas Pajak.
Sumber daya manusia di DJP sangat komplet. Mulai dari surat cinta atas temuan data yang perlu diklarifikasi oleh account representative, kemudian jika dalam jangka waktu paling lama empat belas hari sejak surat cinta disampaikan masih tidak ditindaklanjuti wajib pajak bisa diusulkan pemeriksaan yang akan dikerjakan oleh Fungsional Pemeriksa dan bila diperlukan bisa dibantu Fungsional Penilai. Setelah diterbitkan nilai ketetapan dan wajib pajak masih bandel juga akan ditindaklanjuti oleh Juru Sita Pajak Negara (JSPN) melalui penagihan seketika dan sekaligus, pemberitahuan surat paksa, penyitaan, serta penyanderaan.
Sama sekali tidak ada tujuan DJP untuk memenjarakan wajib pajak. Penanggung pajak yang disandera pada paksa badan/gijzeling akan lepas jika utang pajak dan biaya penagihan pajak telah dibayar lunas. Dalam UU HPP juga muncul istilah ultimum remedium, sampai tahap persidangan, wajib pajak diberikan kesempatan untuk mengembalikan kerugian pada pendapatan negara dengan membayar pokok pajak dan sanksi sebagai pertimbangan untuk dituntut tanpa penjatuhan pidana penjara.
Keinginan beberapa individu untuk menghindar dari kewajiban membayar pajak seharusnya tidak ada. Jangan sampai ada free rider, julukan yang disematkan untuk pihak yang turut menikmati manfaat publik, tetapi tidak membayar pajak. Pajak adalah sistem gotong royong, yang mampu membayar maka wajib membayar pajak, sedangkan yang tidak mampu akan ditolong dengan penerimaan pajak. Semakin besar pajak yeng terkumpul, tentu akan semakin besar juga manfaatnya untuk Indonesia.
Setiap Rp1 miliar uang pajak kita akan sangat berguna, yaitu untuk transfer ke daerah Rp340 juta, pelayanan umum Rp171 juta, bidang ekonomi Rp149 juta, perlindungan sosial Rp76 juta, bidang pendidikan Rp69 juta, bidang ketertiban dan keamanan Rp58 juta, bidang pertahanan Rp52 juta, bidang kesehatan Rp30 juta, dana desa Rp29 juta, pariwisata dan lingkungan hidup Rp8 juta, keagamaan Rp4 juta, serta untuk perumahan dan fasilitas umum Rp14 juta.
Tak ketinggalan, pemerintah juga amat peduli pada kita semua, baik dengan insentif, subsidi, dan lainnya. Salah satu contohnya adalah Wajib Pajak Orang Pribadi yang memiliki peredaran bruto tertentu tidak dikenai PPh atas bagian peredaran bruto sampai dengan Rp500 juta dalam satu tahun pajak. Ketika kita memiliki omzet sebesar Rp1 miliar setahun, dengan tarif 0,5% maka pajak UMKM yang kita setor hanya Rp2,5 juta. Kecil sekali, karena pemerintah lewat DJP sangat mendukung UMKM.
Dalam testimoninya, motivator dan pakar marketing terkenal di Indonesia Tung Desem Waringin mengimbau masyarakat untuk ikut. “Karena itu adalah kepentingan kita sendiri, kenikmatan kita sendiri. Di kemudian hari, kita jauh lebih lebih lega, lebih damai karena kita sudah ikut PPS.”
*) Artikel ini merupakan pendapat pribadi penulis dan bukan cerminan sikap instansi tempat penulis bekerja.
- 250 views