Kepastian Hukum bagi Investor P2P Lending

Oleh: Muhammad Rifqi Saifudin, pegawai Direktorat Jenderal Pajak
Adakah kawan pajak yang menjadi investor P2P Lending? Bingung dengan tata cara pelaporan penghasilan investasi ini? Mari bersorak-sorai dan hilangkan segala gundah gulana, DJP mempersembahkan: Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 69/PMK.03/2022 (PMK 69)! PMK ini menjadi salah satu aturan pelaksana Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2022 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP) sekaligus memberikan kepastian hukum bagi investor dan penyedia jasa layanan finansial teknologi termasuk P2P Lending.
Apa itu P2P Lending?
Pernah berhutang atau diutangin? P2P Lending (Peer-to-Peer Lending) memiliki konsep yang sama. Pihak yang memberikan pinjaman dinamakan lender dan pihak yang meminjam disebut borrower. Lender mendapatkan keuntungan berupa bunga pinjaman atau bagi hasil dari borrower.
P2P Lending identik dengan Peer-to-Peer Marketplace (P2P Marketplace) yang menjadi wadah untuk mempertemukan lender dan borrower. Layaknya pasar, transaksi dilakukan di sini namun bukan jual beli barang melainkan pinjam meminjam.
Pelaporan SPT Tahunan Investor P2P Lending
Penghasilan bunga sudah diatur dalam peraturan perpajakan, pajaknya masuk dalam ranah Pajak Penghasilan Pasal 23 (PPh Pasal 23). Pajak tersebut dipotong oleh pihak pemberi penghasilan atau dalam hal ini disebut lender. Namun, tidak semua lender merupakan pemotong PPh Pasal 23. Di sisi lain, P2P Marketplace hanya menjadi perantara antara lender dan borrower yang tidak ditunjuk sebagai pemotong PPh Pasal 23 sebelum adanya PMK 69.
Lalu, bagaimana perlakuan perpajakan investasi ini dan pelaporannya dalam SPT Tahunan lender?
Kondisi Sebelum adanya PMK 69
Sebelum membahas perlakuan perpajakan, mari kita lihat dulu definisi dari penghasilan menurut Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang No. 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (UU PPh) sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021. Dikatakan bahwa yang menjadi objek pajak adalah penghasilan, yaitu setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh wajib pajak, baik yang berasal dari Indonesia maupun dari luar Indonesia, yang dapat dipakai untuk konsumsi atau untuk menambah kekayaan wajib pajak yang bersangkutan, dengan nama dan dalam bentuk apa pun, termasuk bunga termasuk premium, diskonto, dan imbalan karena jaminan pengembalian utang.
Penghasilan bunga atau bagi hasil yang diperoleh lender di P2P Lending pada dasarnya merupakan imbalan atas pemanfaatan modal berupa uang lender yang dipinjamkan pada borrower dalam jangka waktu tertentu. Definisi ini mirip dengan bunga yang diterima pada kegiatan pinjam meminjam uang secara tradisional. Perbedaannya ada pada hadirnya P2P Marketplace sebagai pihak yang mempertemukan kedua belah pihak. Ini artinya penghasilan dari P2P Lending masih dalam objek Pajak Penghasilan.
Pasal 23 ayat (1) UU PPh mengatur bahwa atas penghasilan tersebut dipotong oleh pihak yang wajib membayarkan apabila dilakukan oleh badan pemerintah, subjek pajak badan dalam negeri, penyelenggara kegiatan, bentuk usaha tetap, atau perwakilan perusahaan luar negeri lainnya. Apakah ketentuan ini bisa diterapkan pada P2P Lending?
Kategori lender beragam, ada Wajib Pajak Orang Pribadi dan Badan. Selain itu, transaksi dilakukan dalam ekosistem P2P Marketplace sedangkan aturan perpajakan tidak menyebutkan ketentuan mengenai perantara sehingga sulit untuk memotong PPh Pasal 23 oleh lender.
Pada akhirnya, lender memasukkan penghasilan dari P2P Lending pada kategori “Penghasilan Neto Dalam Negeri Lainnya” di SPT Tahunan. Konsekuensinya, penghasilan tersebut masuk dalam penghitungan penghasilan yang nantinya dikalikan dengan tarif PPh Pasal 17.
Masalah pelaporan SPT Tahunan lender terpecahkan, namun masalah utama masih belum tuntas. Tarif PPh Pasal 17 bersifat progresif, lapisan terkecil memang cuma 5%, namun lapisan terbesar mencapai 30% melebihi tarif PPh Pasal 23 yang cuma 15%. Di sisi lain, tidak semua lender bisa menjadi pemotong PPh Pasal 23 dan P2P Marketplace tidak diatur dalam aturan perpajakan.
Setelah Hadirnya PMK 69
Pada 30 Maret 2022, telah hadir PMK 69 yang menyebutkan P2P Lending untuk pertama kalinya di Pasal 1 angka 12 yang menyebutnya dengan Layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis Teknologi Informasi. Definisi P2P Lending di PMK ini adalah penyelenggaraan layanan untuk mempertemukan pemberi pinjaman dengan penerima pinjaman dalam rangka melakukan perjanjian pinjam meminjam secara langsung melalui sistem elektronik dengan menggunakan jaringan internet, termasuk yang menerapkan prinsip syariah.
Konsep penghasilan dijelaskan di Pasal 2, yaitu pemberi pinjaman menerima atau memperoleh penghasilan berupa bunga pinjaman yang dibayarkan oleh penerima pinjaman melalui Penyelenggara Layanan Pinjam Meminjam. Penghasilan tersebut merupakan bunga dengan nama dan dalam bentuk apapun atau imbal hasil berdasarkan prinsip syariah.
Di Pasal 3 ayat (4) menyebutkan bahwa Penyelenggara Layanan Pinjaman ditunjuk untuk melakukan pemotongan Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud pada ayat (2). Pajak penghasilan yang dimaksud adalah PPh Pasal 23 dengan tarif 15% bagi penerima penghasilan wajib pajak dalam negeri dan bentuk usaha tetap atau PPh Pasal 26 dengan tarif 20% atau sesuai ketentuan dalam persetujuan penghindaran pajak berganda untuk wajib pajak luar negeri selain bentuk usaha tetap.
Pasal-pasal di atas menjadi kejelasan hukum perpajakan bagi investasi P2P Lending. P2P Marketplace ditunjuk menjadi pemotong PPh Pasal 23 sehingga jelaslah sudah mekanisme pelaporan SPT Tahunan lender pada tahun pajak 2022.
Jangan Lupa Lapor SPT Tahun Depan!
Penghasilan bunga P2P Lending merupakan penghasilan yang wajib dilaporkan dalam Surat Pemberitahuan tahunan pemberi pinjaman, ini bunyi Pasal 3 PMK 69. Di Pasal 4 disebutkan Penyelenggara Layanan Pinjam Meminjam harus membuat Bukti Pemotongan Pajak Penghasilan dan memberikan Bukti Pemotongan dimaksud kepada pemberi pinjaman.
Ini artinya pada pelaporan SPT Tahunan untuk Tahun Pajak 2022, penghasilan P2P Lending dimasukkan lender pada bagian pemotongan PPh Pasal 23 sesuai dengan data bukti potong dari P2P Marketplace. Tidak ada lagi penghasilan yang dimasukkan pada kategori “Penghasilan Neto Dalam Negeri Lainnya” dan menambah pajak yang dikalikan tarif Pasal 17.
Kawan pajak yang bingung pelaporan pajak P2P Lending, PMK 69 jawabannya. Jangan ragu untuk berinvestasi. Selain membantu borrower, adanya potongan PPh Pasal 23 menandakan uang investasi kita ikut berkontribusi dalam membangun Indonesia!
*)Tulisan ini merupakan pendapat pribadi penulis dan bukan cerminan sikap instansi tempat penulis bekerja.
- 411 views