Oleh: Gania Hariani H, Direktorat Jenderal Pajak


Hari itu, Selasa, 22 Maret 2022, bukan jadwal piket saya sebagai petugas penerima SPT Tahunan. Menjelang siang panggilan telepon masuk ke ruangan.  

"Mbak Gania, masih ingat WP (wajib pajak) difabel yang tahun lalu lapor? Dia datang hari ini. Bisa nggak Mbak Gania bantu melayani beliau?" suara Pak Djoewadi, kepala seksi kantor kami terdengar.

Saya langsung mengiyakan. Tahun lalu saat wajib pajak tersebut hadir untuk menunaikan kewajibannya, saya tidak berkesempatan menemuinya. Sehingga ketika saya mengangkat kisah beliau yang berusaha tertib melaporkan SPT di tengah kondisi fisik yang 'tidak seberuntung' lainnya, saya terpaksa menggali informasi sebanyak-banyaknya dari rekan-rekan lain.

Saya bergegas turun dan menemui Sefri Retno, nama wajib pajak itu. Saya dan Pak Djoe masih berdiskusi di mana sebaiknya melayani. Membawa kursi roda beliau ke area penerimaan SPT cukup sulit karena tiadanya undakan ke tempat yang lebih tinggi itu.

"Saya belum bayar ini," ucapnya sembari menunjukkan Rekap Peredaran Bruto di tangan, "Bayarnya di mana ya?"

"Langsung ke dalam saja ya, Mbak."

"Saya bisa sendiri kok," katanya sambil tersenyum dari balik masker ketika saya dan Pak Djoe segera sibuk mendorong kursi rodanya. Ia hanya perlu dibantu ketika menaiki atau menuruni jalur kursi roda yang sempit dan berbelok tajam untuk memasuki ruang Tempat Pelayanan Terpadu (TPT).

Mbak Sefri datang ke Kantor Pelayanan Pajak (KPP) bersama kakak lelakinya yang juga difabel dan telah lebih dulu melaporkan SPT. Saya bergegas membuatkan kode billing di area mandiri pembuatan billing yang disediakan untuk wajib pajak, lalu menyerahkannya untuk dibayar ke konter kantor pos yang terletak tepat di sebelahnya.

Petugas sekuriti kantor yang sigap mendorong pun saya bisiki, "Eh, Pak, Mbaknya sudah lebih canggih dari kita kok."

Mbak Sefri tersenyum mengiyakan. Setelah saya amati, kami-kami yang tidak terbiasa mendorong kursi roda malah membuat arah gerak kursi lebih tidak terkendali dibanding pemiliknya sendiri yang menggerakkan kursi roda dengan kedua tangannya.Kami kemudian menempati loket TPT paling ujung. Lalu saya menyempatkan mengirim foto beliau ke Grup Whatsapp Forum Account Representative Probolinggo hingga rekan saya Sutardi yang menjadi account representative (AR) Mbak Sefri, turun ke TPT.

Sutardi segera mengambil alih pelaporan SPT tersebut. Sementara saya mengambil tempat di samping Mbak Sefri, berbagi cerita, dan mengajukan pertanyaan-pertanyaan demi memupus rasa ingin tahu. Sementara rekan yang lain, Bagas, sibuk mengambil gambar untuk dokumentasi.

Ternyata informasi yang saya dapatkan dari rekan-rekan setahun lalu belum lengkap. Mbak Sefri dulunya sehat dan bisa beraktifitas normal. Ia seorang ibu dua anak yang masih balita saat itu dan bekerja di pabrik Alamo (minuman dalam kemasan) Probolinggo, Jawa Timur.

Sampai suatu ketika dunianya seperti diruntuhkan begitu saja. Sekitar tahun 2013, saat ia tengah berkendara motor,  sebuah mobil Karimun yang tak terkendali melanggarnya. Naas, tubuhnya terlindas! Inna lillahi wa inna ilaihi rajiun.

Akibatnya mbak Sefri harus dirawat dan menjalani operasi berulang kali. Tak hanya di rumah sakit Probolinggo, namun juga di Malang. Itu menghabiskan biaya puluhan juta. Sang pengemudi yang  mengaku baru beberapa bulan bisa  menyetir  hanya bisa menanggung sebagian kecil biaya, meski di awal kejadian mengatakan akan bertanggungjawab hingga ia pulih.

"Kaki saya baik-baik saja, Mbak, tapi saraf tulang belakang kena. Jadi kaki saya mati rasa, lemas. Awalnya untuk bergerak saja tidak bisa, harus dibantu untuk sekadar memiringkan tubuh di tempat tidur. Beberapa pen harus dipasang dalam tubuh saya lewat operasi," kata Mbak Sefri.

Perempuan itu bercerita dengan ceria, seolah tanpa beban. Bibirnya selalu membentuk garis senyum yang tertangkap dari balik masker.

"Kalau bayar pajak harus ke sini, ya?" tanyanya.
"Bisa dari rumah dengan internet banking misalnya, tapi harus membuat kode billing dulu, Mbak. Mau diajarin?"
"Iya deh, dari pada saya ke sini terus," sambutnya antusias, "Sejak pandemi omzet juga turun."

Kami segera mengaktifasi EFIN. Ternyata mbak Sefri masih melaporkan SPT secara manual. Sementara saya mondar-mandir menyelesaikan administrasi aktivasi EFIN tersebut, Sutardi mengajarkan cara pembuatan kode billing secara mandiri.

"Boleh saya rekam ya caranya," ucapnya sambil mengarahkan ponselnya ke monitor.
"Nanti kalau kurang jelas, bisa hubungi saya, Mbak," Sutardi menawarkan, begitu jaringan di ponsel perempuan itu gagal membuka menu kode billing.

Selama berinteraksi dengan beliau, saya nyaris tidak menangkap kegundahan dari cerita-ceritanya. Ia bukan saja tampak tegar meski hatinya berdarah-darah, namun ia seperti telah berada di tingkatan penerimaan yang sesungguhnya. Menerima keadaan tanpa syarat.

"Beberapa bulan setelah saya lumpuh, suami meninggalkan kami begitu saja. Terpaksa saya dan anak-anak kembali ke rumah orang tua," katanya. Suaranya tetap lepas, seolah bukan kisah menyedihkan.

Pembayaran pajak dan laporan SPT tuntas. Kami mendampingi Mbak Sefri dan sang kakak yang sabar menanti menuju becak langganan yang berada di tempat parkir. Sebagaimana menaiki dan menuruni undakan, rupanya naik dan turun dari becak juga ada teknik tersendiri. Dua tas berisi suvenir kami sertakan sebagai wujud apresiasi kecil.

Sorenya saya menyempatkan melanjutkan obrolan di Whatsapp. Sosoknya tak mudah diabaikan. "Mbak, usaha kuliner begini memang pintar baking sejak dulu?" tanya saya.

"Ngga juga, saya dulu kalau bikin kue sering gagal. Padahal sudah sesuai resep.Setahun setelah kecelakaan saya dropship kosmetik, baju, dan lain-lain, tetapi kurang peminatnya. Tiga-empat tahun kemudian saya coba-coba bikin brownis. Lha kok berhasil. Akhirnya saya jual," katanya.

"Lalu saya coba hias brownis pakai buttercream, jadi kue tar. Jelek banget hasilnya. Akhirnya saya gabung grup FB, grup WA, belajar dari anggota lain. Buka Youtube. Lama-lama berani nyoba kue-kue lain. Alhamdulillah bisa akhirnya," katanya lagi.

Sefri Retno dan dua anaknya kini menggantungkan hidup dari usaha kuliner yang dilabeli d'Frischa. Ia menerima pesanan aneka kue, tar, puding, bronis, bolu gulung, juga nasi kotak. Lokasi usahanya tak terlalu jauh dari KPP Pratama Probolinggo. Profilnya bisa dilihat di instagram @sefri_retno. Saya berkali-kali memuji, masyaallah, tabarakallah.

"Mungkin karena the power of kepepet ya, harus menghidupi dua anak, jadi bisa," lanjutnya sambil mencatumkan emotikon nyengir

"Keren kamu, Mbak. Kamu hebat!"

"Ah, belum keren, Bu," sahutnya merendah, "yang paling berat itu sebenarnya menyehatkan mental."

Deg, ucapannya spontan mengingatkan saya pada sosok Kanti, ibu muda yang menyentak nurani kita beberapa hari terakhir. Seorang ibu yang depresi, dan sayangnya tidak mendapat pertolongan memadai hingga berpikir ketiga anaknya lebih baik mati daripada hidup dalam penderitaan seperti dirinya.

"Saya sedih baca kasus Kanti. Dalam hati saya berkata, Maaf Mbak, saya tidak ada di sana ketika kamu membutuhkan teman bicara. Ketika kamu butuh dipeluk," kalimat itu keluar dari seorang Sefri Retno, sang difabel.

"Karena saya sering di posisi Kanti," lanjutnya. "Semoga ada pesanan dari kantor pajak setelah ini ya, Bu," ucapnya di akhir obrolan.

Kami saling bertukar doa dan harapan. Semoga negara ini, tentunya dengan pajak yang dibayarkan secara gotong royong oleh seluruh anak bangsa, semakin meningkatkan perhatian dan membuka lebih banyak peluang untuk para pelaku UMKM. Terutama bagi saudara kita yang difabel, para ibu tunggal, serta siapa pun yang membutuhkan dukungan serius.

Seorang Sefri Retno dan sang kakak sanggup berkontribusi, ia rela berbakti pada ibu pertiwi, di tengah keterbatasannya berjuang untuk kehidupan buah hati. Lalu apa yang layak kita tawarkan sebagai bentuk apresiasi?

*)Artike ini merupakan pendapat pribadi penulis dan bukan cerminan sikap instansi tempat penulis bekerja.