Lao Zi, PPS, dan Wu Wei

Oleh: Ade Yusuf, pegawai Direktorat Jenderal Pajak
Semerbak wangi dupa yang dibakar menyeruak hidung. Walau kami bermasker, bau khasnya tetap tercium. Kami melewati gerbang dan pagar besi yang agak sempit lalu turun dari mobil yang parkir persis di depan gedung utama kelenteng yang serba merah beraksen kuning. Merahnya sangat menyala, lebih terang dari merah Ferrari, tetapi lebih redup daripada merah Marlboro.
Melangkah ke ruang dalam, kita disambut dua pedupaan berundak tiga di kiri dan kanan. Pedupaan besar berwarna kuning dengan empat kaki di tengah diapit singa batu atau Hanzi sebagai penjaga gerbang. Pemandu menerangkan berbagai hal di ruang dalam. Altar utama dihiasi Dewa Bumi atau Fu Tek Cen Sen. Dinding dihiasi berbagai fragmen berwarna-warni.
Bangunan sayap di kiri dan kanan gedung utama berupa bilik-bilik altar dengan beragam tokoh yang disucikan. Siddhartha Gautama yang mewakili ajaran Buddhisme, Guan Yu atau Kwan Kong dengan tombak goloknya yang terkenal, juga Lao Zi dengan jenggot putihnya yang terjulur. Dan memang seperti disampaikan pemandu bahwa kelenteng ini didedikasikan untuk tiga ajaran besar (tridharma) yaitu Daoisme, Konfusianisme, dan Buddhisme.
Pernah mendengar kalimat bijak Perjalanan ribuan mil dimulai dari langkah pertama? Konon kalimat ini dinisbahkan ke perkataan Lao Zi. Penulis Dao De Jing ajaran pokok Daoisme atau Tao diperkirakan lahir sekitar 570 tahun sebelum masehi. Pemikir dan filsuf pertama dan terbesar dalam sejarah klasik Tiongkok. Nama aslinya adalan Li Dan, ada yang menyebutnya Li Er. Kemudian diberi nama Lao Zi. Lao sebutan untuk orang tua atau orang yang dituakan, sedangkan Zi (子) berarti orang yang arif dan bijaksana.
Pada Selasa, 22 Februari 2022 menjelang petang, Kantor Wilayah DJP Jawa Timur III bersama Forum Komunikasi Warga Tionghoa Malang Raya (FKWTMR) menggelar sosialisasi Program Pengungkapan Sukarela (PPS) Wajib Pajak di kelenteng yang bernama Kelenteng Eng An Kiong ini. Kelenteng terletak di Jalan Martadinata 1, Kota Malang. Acara dikemas dalam format gelar wicara (talk show) dengan moderator Kepala Bidang Pemeriksaan, Penagihan, Intelijen, dan Penyidikan Agus Mulyono, narasumber Kepala Bidang Data dan Pengawasan Potensi Perpajakan Heru Pamungkas Wibowo, dan Kepala kantor Pelayanan Pajak Madya Malang Muhammad Na’im Amali.
Peserta dikelompokkan per meja bundar berdasarkan komunitasnya. Antara lain Yayasan Kelenteng Eng An Kiong, Yayasan Sosial Panca Budhi, Alumni Ma-Chung Malang, Vihara Buddha Maitreya, Yayasan RS Panti Nirmala, Yayasan Bimasakti Malang, Vihara Samanggi Viriya, Perkumpulan Warga Hubei Malang, Yayasan Sosial Hakka Malang, Yayasan Fajar Jaya Dharma Sosial Malang, Perkumpulan Guang Zhao Malang, Perkumpulan Marga Huang Malang, dan Yayasan Margo Utomo Malang Raya
Dalam pengantarnya, Kepala Kantor Wilayah DJP Jawa Timur III Agustin Vita Avantin menyitir pernyataan terkenal John F. Kennedy dan mengajak peserta untuk menyahut panggilan negara lewat Program Pengungkapan Sukarela (PPS) Wajib Pajak. Ia menutup pengantarnya dengan menekankan bahwa sukarela adalah sifat dari patriotisme. Wujud Kesetiaan dan kepatuhan dari hasil kepercayaan dan pengetahuan. Patriot menunjukkan sikap melalui tindakan dan pilihan mereka. Lugasnya, ia meminta peserta memanfaatkan PPS sebagai wujud gotong royong dan partisipasi kepada negara.
Sangat menarik ketika Undang_Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP) memilih Sukarela (Voluntary) sebagai nama program yang diusung. Ketentuan teknis hanyalah cara untuk menghitung partisipasi wajib pajak yang mengikutinya. Sebagaimana konsideran UU HPP menyatakan bahwa untuk meningkatkan pertumbuhan perekonomian diperlukan konsolidasi fiskal yang antara lain dilakukan dengan peningkatan kepatuhan sukarela wajib pajak. Pada saat sosialisasi PPS kepada wajib pajak, narasumber seringkali menyampaikan makna sukarela ditambah dengan untungruginya mengikuti program ini.
Kembali ke Lao Zi, ia menyampaikan prinsip Wu wei. Wu artinya tidak, tidak punya, kosong atau hampa. Wei artinya berbuat, melakukan, mengerjakan atau menjadi. Maka secara harfiah wu wei berarti “tidak melakukan apa-apa” atau “tidak berbuat apa-apa.” Namun, ini bukan anjuran tidak melakukan apa-apa. Konsep ini memang tidak bisa didefinisikan secara mudah. Memahaminya harus lewat diskusi dan contoh. Sebab, bisa diartikan ’’melakukan tanpa melakukan’’ untuk meraih yang diinginkan atau diharapkan. Pokonya lebih-kurang, segala di sekeliling kita ini sudah harmonis. Kalau kita terlalu memaksakan, malah ’’kacau’’. Kalau kita bisa seirama, hasilnya jadi luar biasa.
Lao Zi berpendapat bahwa manusia seyogianya belajar dari perilaku alam yang wu wei. Mau merendah seperti air. Berlapang dada seperti lembah. Tidak mengaitkan kepentingan pribadi dalam tugas. Berhasil tidak merasa berjasa. Misalnya, ketika pohon tumbuh, pohon hanya tumbuh tanpa mencoba tumbuh. Dia kelihatannya tidak melakukan apa-apa, tetapi sebenarnya sudah banyak berbuat. Lugasnya memberi tanpa ingin meninggalkan bekas dan tidak mengharapkan balasan.
Maka dalam konteks sosialisasi, khususnya sosialisasi PPS, wu wei dapat diartikan bahwa kita memberi penjelasan, membuka pemahaman, menyediakan pelayanan tanpa ada pamrih termasuk harapan apalagi imbauan yang teramat agar peserta mengikutinya. Memang susah membayangkan dan melakukannya, tetapi kita dapat mencobanya. Asal latihannya cukup, asal kemauannya kuat, pasti mudah. Tinggal bagaimana mengontrol pikiran dan mengharmonisasikan diri dengan peserta dan lingkungan. Tentu saja, penerapan tidak semudah omongannya.
Ingin sosialisasi yang efektif? Wu wei saja…
*)Tulisan ini merupakan pendapat pribadi penulis dan bukan cerminan sikap instansi tempat penulis bekerja.
- 351 views