Oleh: Desak Putu Sri Shania Aprilia, pegawai Direktorat Jenderal Pajak

Indonesia untuk pertama kalinya akan menjadi Presidensi Group of Twenty (G20) sekaligus tuan rumah sejak 1 Desember 2021 hingga akhir 2022. Indonesia memegang mandat sebagai Presidensi G20 sesuai kesepakatan Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) G20 ke-15 di Riyadh, Arab Saudi.

Presidensi G20 adalah tuan rumah penyelenggaraan Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) G20. Presidensi G20 ditetapkan secara konsensus pada KTT berdasarkan sistem rotasi kawasan dan berganti setiap tahunnya. Indonesia menjadi negara Asia ke-5 yang menjadi tuan rumah KTT G20 setelah Jepang, Tiongkok, Korea Selatan, dan Arab Saudi.

 

Sejarah Singkat G20

G20 merupakan sebuah forum kerja sama ekonomi internasional yang beranggotakan negara-negara dengan perekonomian besar di dunia. G20 terdiri dari 19 negara dan 1 lembaga Uni Eropa. Negara yang termasuk anggota G20 adalah Afrika Selatan, Amerika Serikat, Arab Saudi, Argentina, Australia, Brasil, India, Indonesia, Inggris, Italia, Jepang, Jerman, Kanada, Meksiko, Republik Korea, Rusia, Perancis, Tiongkok, Turki, dan Uni Eropa.

Awal mula pembentukan G20 pada tahun 1999 tidak terlepas dari krisis keuangan 1998 dan inisiatif forum G7 (Amerika Serikat, Inggris, Italia, Jepang, Jerman, Kanada, dan Prancis) akibat kurang efektifnya pencarian solusi terhadap permasalahan perekonomian global pada saat itu. Salah satu penyebab kurang efektifnya pencarian solusi pada saat itu karena tidak melibatkan kekuatan ekonomi negara-negara berkembang yang memiliki pengaruh ekonomi dalam pertemuan global demi mencari solusi permasalahan ekonomi dunia.

G20 menjadi salah satu forum internasional yang strategis karena secara kolektif merupakan representasi dari 85 persen perekonomian dunia, 80 persen investasi global, 75 persen perdagangan internasional, 60 persen populasi dunia. Pada tahun 1999, menteri keuangan dan gubernur bank sentral negara G20 mulai mengadakan pertemuan untuk membahas krisis keuangan global 1997-1999.

 

Kesempatan Indonesia

Pada 2022, Indonesia dipercaya menjadi Presidensi G20, hal ini merupakan bentuk kepercayaan luar biasa dari negara-negara G20.  Indonesia mengusung tema “Recover Together, Recover Stronger” atau “Pulih Bersama, Lebih Kuat”.

Presidensi G20 merupakan kesempatan bagi Indonesia untuk menunjukkan kemampuan Indonesia dalam kepemimpinan di kancah global. Indonesia menjadi negara berkembang pertama yang diamanatkan memegang Presidensi G20 sejak pertama kali didirikan pada tahun 1999. Hal tersebut menandakan Indonesia dinilai memiliki sistem politik yang stabil.

Dengan sistem politik dan ekonomi yang stabil tentunya mampu membantu pembentukan kebijakan-kebijakan yang memiliki pengaruh ke seluruh dunia. Pada kesempatan ini, Indonesia juga mendapatkan keistimewaan untuk menentukan penetapan agenda sehingga dapat mengadvokasi kepentingan-kepentingan domestik dan negara berkembang untuk menyeimbangkan kepentingan dan prioritas antara negara maju dan berkembang.

 

Momentum Kebangkitan Ekonomi

Presidensi G20 tahun 2022 menjadi periode paling krusial dalam proses pemulihan ekonomi global mengingat pandemi Covid-19 masih terus berlanjut di awal tahun 2022 ini.  Presidensi G20 Indonesia merupakan momentum strategis untuk menjawab berbagai tantangan internasional, seperti mewujudkan pemulihan ekonomi yang inklusif, berdaya-tahan, dan berkesinambungan.

Dari sisi ekonomi, manfaat Presidensi G20 yang berlangsung secara luring di Indonesia dapat menciptakan lapangan kerja dengan jumlah yang besar karena terdapat lebih dari 157 pertemuan yang akan dilakukan.  Pertemuan-pertemuan tersebut terdiri dari atas working group, engagement groups, sherpa/deputies, ministerial, KTT G20, dan side events.

Presidensi G20 mendatang juga dapat menggerakkan konsumsi domestik, salah satunya pertumbuhan PDB nasional hingga Rp7,4 triliun. Manfaat lain berlangsungnya Presidensi G20 di Indonesia yaitu melibatkan banyak UMKM, dan penyerapan banyak tenaga kerja sekitar 33.000 di berbagai sektor.

Desak Putu Sri Shania Aprilia, pegawai Direktorat Jenderal Pajak

Perekonomian dunia tak hanya diharapkan bangkit dan pulih melainkan juga menjadi lebih kuat dan stabil. Pemerintah yakin penyelenggaraan G20 akan membawa berbagai manfaat ekonomi 1,5 hingga 2 kali lebih besar secara agregat jika dibandingkan dengan penyelenggaraan acara Annual Meeting IMF-World Bank di Bali pada 2018.

Selama pandemi Covid-19, masyarakat sudah mulai terbiasa beradaptasi dalam konteks kesehatan dan ekonomi. Indonesia juga sudah melakukan langkah-langkah yang sangat baik khususnya dalam ekonomi dan kesehatan selama masa pandemi. Dilihat secara makro, ekonomi Indonesia dapat dikatakan relatif bisa memitigasi dampak Covid-19.

Tindakan mitigasi Indonesia untuk menanggulangi dampak pandemi Covid-19 dalam proses perdagangan berhasil mengelola pemenuhan kebutuhan dasar dan kebutuhan kesehatan sehingga kelangkaan dalam kebutuhan pokok dan alat kesehatan untuk penanganan Covid-19 pun tidak berlarut-larut. Indikator perkonomian Indonesia relative membaik tercermin dari surplus neraca perdagangan selama beberapa bulan terakhir.

 

Komitmen Indonesia terhadap Perubahan Iklim

Perubahan iklim menjadi isu penting dan krusial yang harus dibahas dalam G20 perihal pelaksanaan komitmen sesuai dengan Perjanjian Paris. Perjanjian Paris merupakan kesepakatan global yang monumental untuk menghadapi perubahan iklim. Komitmen negara-negara dinyatakan melalui perjanjian dalam konvensi kerangka kerja perubahan iklim Perserikatan Bangsa-Bangsa atau United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC).

Pertemuan G20 harus membahas lebih konkret tentang inisiatif pembiayaan berkelanjutan dalam mengatasi perubahan iklim. Presidensi G20 Indonesia dapat membuahkan hasil yang nyata dan substantif seperti indikator komitmen pendanaan terhadap perubahan iklim melalui peta jalan keuangan berkelanjutan.

Transisi perubahan negara-negara di dunia untuk mencapai net zero emission (netralitas karbon) membutuhkan komitmen berkelanjutan. Penanggulangan dampak perubahan iklim di dunia tidak hanya berfokus pada cara yang bisa menurunkan emisi karbon, tetapi juga pendanaan yang terjangkau bagi semua negara. Pendanaan tersebut bersifat fundamental sehingga semua negara dapat melaksanakan komitmen untuk menurunkan emisi karbon.

Komitmen terhadap perubahan iklim dapat diwujudkan dalam bentuk dukungan di bidang fiskal. Hal ini sejalan dengan upaya pengenaan pajak karbon yang terdapat dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP).

Pengenaan pajak karbon di Indonesia menjadi tonggak perubahan krusial perekonomian Indonesia yang berkelanjutan menuju green economy. Pengenaan pajak karbon juga menjadi bukti konkrit keseriusan Indonesia menjalankan komitmen perubahan iklim dunia.

 

*) Tulisan ini merupakan pendapat pribadi penulis dan bukan cerminan sikap instansi tempat penulis bekerja.