Kisah Semut dan Belalang dari Nakamura-sensee

Oleh: Yacob Yahya, pegawai Direktorat Jenderal Pajak
Saya selalu teringat dengan petuah Osamu Nakamura-sensee, dosen saya ketika kuliah di Jepang. Beliau selalu mengulangi fabel Aesop, pendongeng kesohor masa Yunani Kuno. Nakamura-sensee, profesor senior itu, begitu ingat kisah binatang itu, lantaran selalu “dicekoki” oleh gurunya di bangku sekolah dasar. Kisah tersebut penuh dengan pembelajaran moral.
Dongeng hewan dimaksud adalah cerita tentang pertemanan antara semut dan belalang. Mungkin sebagian di antara kita sudah tahu jalan ceritanya. Dongeng ini mengenai semut yang bekerja mengumpulkan makanan, sebagai bekal pada musim dingin nanti, pada satu sisi. Sementara di sisi lain, belalang yang cacat tidak melakukan apa-apa kecuali hanya bermain musik dengan biola miliknya. Kisah para serangga ini sebenarnya memiliki setidaknya sepuluh skenario yang berbeda, dengan akhir cerita yang berbeda pula. Namun, Nakamura-sensee hanya menekankan tiga skenario yang menurut beliau paling penting.
Belalang yang Malas
Plot pertama mengisahkan belalang yang tidak bekerja. Sahabatnya, para semut, selalu bekerja keras menjelang musim dingin menimbun cadangan makanan. Belalang hanya bisa meminta semut untuk berbagi makanan. Pada tahun pertama, semut masih bersedia menyisihkan makanan untuk belalang. “Tetapi, hanya untuk satu kali ini saja, ya. Selanjutnya, kamu harus mencari makanan sendiri,” tutur semut.
Menjelang musim dingin berikutnya, belalang masih saja meminta makanan tanpa berusaha. Sedangkan semut sudah tidak mau berbagi. Akibatnya, belalang mati kelaparan karena malas berusaha. Semut pun sedih karena sahabatnya mati.
Semut yang Tereksploitasi
Skenario kedua bercerita tentang para semut yang terlalu bekerja keras tanpa henti. Setiap saat mereka selalu mengumpulkan makanan. Suatu hari pada musim dingin, belalang bertandang ke sarang mereka. Namun, suasana sepi senyap. Dia memasuki rumah semut dan terkejutlah belalang karena di dalam sarang para semut telah mati. Tenaga mereka habis terkuras sehingga makanan yang mereka kumpulkan terbengkalai tanpa sempat mereka nikmati. Dan akhirnya, belalang sendiri yang menikmati makanan hasil jerih payah para semut itu. Belalang juga sedih karena kawannya mati.
Lagu Merdu Penyemangat
Jalan cerita ketiga inilah yang membuka wawasan saya. Setiap tahun, musim silih berganti, semut tetap saja berbagi makanan dengan belalang. Melampiaskan rasa penasaran, akhirnya belalang bertanya, “Mengapa kalian masih saja memberi makan aku, sedangkan aku tak pernah membantumu mencari makanan?”
Semut pun menjawab, “Karena lagu yang kau mainkan dengan biolamu sangat merdu, kami jadi bersemangat mencari makanan. Terima kasih atas musik yang sangat menghibur kami dalam bekerja.” Demikian seterusnya, mereka hidup berdampingan dengan saling menguntungkan.
Hikmah di Balik Cerita
Kisah pertama merupakan gambaran masyarakat yang individualistik dan egois. Mereka hanya mementingkan diri sendiri tanpa peduli dengan sekitar. Mereka hanya percaya, merekalah yang paling berhak atas hasil kerja keras sendiri.
Cerita kedua menggambarkan dampak buruk dari hustle culture. Kita terlalu disibukkan dengan urusan kebendaan sehingga lupa untuk menyeimbangkan hidup. Kita terlalu yakin bahwa kerja keraslah jalan satu-satunya mencapai kesuksesan, namun lupa untuk mengolah, memperlakukan dengan selayaknya, dan mengistirahatkan raga, mental, serta pikiran kita.
Dan dongeng ketiga, menurut Nakamura-sensee, menunjukkan bagaimana seharusnya kehidupan bernegara dikelola. “Anda yang bekerja di administrasi publik atau pengambilan kebijakan, selalu ingatlah bahwa ada kelompok masyarakat yang tidak berdaya, seperti belalang yang hanya mampu memainkan lagu, yang butuh kehadiran negara. Coba Anda renungkan, misalnya, seberapa perlu dan bagaimana kita memberikan subsidi kepada mereka,” pesan Nakamura-sensee kepada para mahasiswanya, di ruang kelas pada musim gugur sekitar tujuh tahun yang lalu itu.
Pajak untuk Pemulihan dan Kemakmuran
Saya pun tersadar, bahwa pajak pun bisa diibaratkan dengan kisah semut dan belalang itu tadi. Para wajib pajak dan petugas pajak bagaikan semut yang berkontribusi mengumpulkan penerimaan pajak demi kemakmuran masyarakat, yang di antaranya dinikmati oleh golongan yang membutuhkan.
Dan dalam hidup bernegara, masyarakat tentu tak sesimpel semut dan belalang. Adakalanya, si belalang juga sekaligus sang semut. Misalnya, wajib pajak yang memperoleh insentif pada masa pemulihan perekonomian akibat pandemi Covid-19. Selain berkontribusi terhadap penerimaan negara, mereka juga mendapatkan keringanan dalam membayar pajak karena terdampak pandemi Covid-19.
Tahun lalu, Direktorat Jenderal Pajak telah menganggarkan insentif usaha senilai Rp62,83 triliun. Agar mempermudah koneksitas dan akses, anggaran infrastruktur juga disediakan sebesar Rp152,09 triliun. Pemerintah juga menganggarkan kebutuhan vaksinasi sebesar Rp57,84 triliun. Tahun ini, kita juga masih memerlukan anggaran kesehatan yang besar, yakni Rp255,3 triliun atau setara 9,4% dari total belanja negara. Di antaranya, Rp115,9 triliun masih berfokus untuk penanganan Covid-19 dengan berbagai program vaksinasi, testing, tracing, and treatment (3T), klaim biaya perawatan pasien, obat-obatan, dan insentif tenaga kesehatan.
Kita juga patut bersyukur, di tengah situasi perekonomian yang belum sepenuhnya pulih, ternyata tahun lalu, berkat semangat gotong-royong rakyat dan kesadaran membayar pajak, Direktorat Jenderal Pajak mampu mengamankan target penerimaan pajak yang dipatok sebesar Rp1.229,6 triliun, dengan realisasi Rp1.277,5 triliun (103,9%, angka masih belum diaudit).
Capaian ini merupakan yang pertama kalinya, setelah terakhir kali pada 2008 dengan digencarkannya program sunset policy waktu itu. Reformasi di bidang peraturan perpajakan juga telah bergulir dengan disahkannya Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan. Mari kita semakin berkontribusi dengan patuh membayar dan melaporkan kewajiban perpajakan kita.
*) Tulisan ini merupakan pendapat pribadi penulis dan bukan cerminan sikap instansi penulis bekerja.
- 621 views