Tangkap Ikan, Jangan Lupa Bayar PBB

Oleh: R Ganung Harnawa, pegawai Direktorat Jenderal Pajak
Ikan adalah salah satu sumber makanan yang sangat populer di seluruh dunia. Selain sarat dengan nutrisi, ikan juga memiliki aneka rasa yang enak dengan berbagai macam olahan, dari digoreng, direbus, dibakar, diasap, diasinkan bahkan ada yang dikonsumsi dalam keadaan mentah. Setiap negara ataupun daerah memiliki cara tersendiri dalam mengolah ikan.
Dua per tiga wilayah Indonesia adalah laut dan sekaligus merupakan negara kepulauan terbesar di dunia. Indonesia dikenal memiliki kekayaan laut yang luar biasa. Berbagai macam ikan laut dapat ditemukan dengan mudah di perairan Indonesia.
Potensi tersebut membuat banyak pengusaha yang tergiur untuk mendirikan usaha di bidang penangkapan ikan, hingga menjadi industri perikanan. Jumlah ikan yang melimpah dan pangsa pasar yang luas, sangat menjanjikan keuntungan bagi para investor.
Namun, sebelum terjun ke dalam dunia usaha penangkapan ikan, para investor tersebut perlu mengetahui beberapa regulasi dan kebijakan yang terkait. Dalam hal ini penulis ingin mengingatkan regulasi yang terkait dengan pajak, khususnya regulasi Pajak Bumi dan Bangunan (PBB)
Dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 186/PMK.03/2019 dijelaskan bahwa terdapat beberapa objek PBB, yang meliputi sektor perkebunan, sektor perhutanan, sektor pertambangan minyak dan gas bumi, sektor pertambangan untuk pengusahaan panas bumi, sektor pertambangan mineral atau batubara, dan objek PBB sektor lainnya
Objek PBB Sektor Lainnya
Objek pajak PBB Sektor Lainnya meliputi bumi dan/atau bangunan selain objek pajak PBB Sektor-sektor yang telah disebutkan di atas yang berada di wilayah perairan Negara Kesatuan Republik Indonesia yang meliputi laut pedalaman, perairan kepulauan, laut teritorial, Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia, atau perairan di dalam Batas Landas Kontinen Indonesia, dan selain objek PBB Perdesaan dan Perkotaan
Bumi sebagaimana dimaksud, meliputi perairan yang digunakan di antaranya untuk perikanan tangkap yang telah diberikan Surat Izin Usaha Perikanan oleh kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang kelautan dan perikanan.
Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) bumi pada perairan yang digunakan untuk perikanan tangkap yang terdapat hasil produksi ditentukan berdasarkan Nilai Jual Pengganti yang merupakan hasil perkalian pendapatan bersih perikanan tangkap dengan Angka Kapitalisasi, sedangkan untuk yang tidak terdapat hasil produksi ditetapkan dengan Keputusan Direktur Jenderal Pajak. Adapun NJOP bangunan untuk objek PBB Sektor Lainnya ditentukan berdasarkan Nilai Perolehan Baru.
Pendapatan bersih ditentukan sebesar pendapatan kotor dikurangi biaya produksi, dalam tahun terakhir sebelum Tahun Pajak PBB terutang. Pendapatan kotor tersebut dihitung dengan cara mengalikan jumlah produksi per jenis ikan dalam tahun terakhir sebelum Tahun Pajak PBB terutang dengan harga jual rata-rata per jenis ikan per satuan berat tertentu. Adapun untuk menghitung biaya produksi, adalah dengan cara mengalikan pendapatan kotor dengan Rasio Biaya Produksi
Luas bumi untuk perikanan tangkap merupakan hasil perkalian jumlah kapal dengan luas areal penangkapan ikan per kapal. Luas areal penangkapan ikan per kapal tersebut ditetapkan melalui Perturan Direktur Jenderal Pajak dengan mempertimbangkan Wilayah Pengelolaan Perikanan Republik Indonesia atau disingkat WPPRI.
Berdasarkan Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan No.01/MEN/2009, WPPRI merupakan wilayah pengelolaan perikanan untuk penangkapan ikan, pembudidayaan ikan, konservasi, penelitian, dan pengembangan perikanan yang meliputi perairan pedalaman, perairan kepulauan, laut teritorial, zona tambahan, dan zona ekonomi eksklusif Indonesia. Dalam peraturan ini telah ditetapkan pembagian Wilayah Pengelolaan Perikanan menjadi 11 WPP yaitu:
- WPP-RI 571 meliputi perairan Selat Malaka dan Laut Andaman
- WPP-RI 572 meliputi perairan Samudera Hindia sebelah Barat Sumatera dan Selat Sunda
- WPP-RI 573 meliputi perairan Samudera Hindia sebelah Selatan Jawa hingga sebelah Selatan Nusa Tenggara, Laut Sawu, dan Laut Timor bagian Barat
- WPP-RI 711 meliputi perairan Selat Karimata, Laut Natuna, dan Laut China Selatan
- WPP-RI 712 meliputi perairan Laut Jawa
- WPP-RI 713 meliputi perairan Selat Makassar, Teluk Bone, Laut Flores, dan Laut Bali
- WPP-RI 714 meliputi perairan Teluk Tolo dan Laut Banda
- WPP-RI 715 meliputi perairan Teluk Tomini, Laut Maluku, Laut Halmahera, Laut Seram dan Teluk Berau
- WPP-RI 716 meliputi perairan Laut Sulawesi dan sebelah Utara Pulau Halmahera
- WPP-RI 717 meliputi perairan Teluk Cendrawasih dan Samudera Pasifik
- WPP-RI 718 meliputi perairan Laut Aru, Laut Arafuru, dan Laut Timor bagian Timur
Cara penghitungan PBB Sektor Lainnya
Dasar penghitungan PBB adalah Nilai Jual Kena Pajak (NJKP). Adapun besarnya NJKP sebagai dasar penghitungan pajak yang terutang untuk Objek Pajak Lainnya adalah:
- sebesar 40% (empat puluh persen) dari Nilai Jual Objek Pajak apabila Nilai Jual Objek Pajaknya Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) atau lebih
- sebesar 20% (dua puluh persen) dari Nilai Jual Objek Pajak apabila Nilai Jual Objek Pajaknya kurang dari Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah)
dengan tarif PBB 0.5%, sehingga cara penghitungan PBBnya adalah:
- Jika NJKP = 40% x (NJOP – NJOPTKP) maka besarnya PBB
PBB = 0,5% x 40% x (NJOP-NJOPTKP)
- Jika NJKP = 20% x (NJOP – NJOPTKP) maka besarnya PBB
PBB = 0,5% x 20% x (NJOP-NJOPTKP)
Setelah mempelajari regulasi terkait dengan usaha ikan tangkap, khususnya yang terkait dengan PBB ini, para investor dan para pengusaha di bidang penangkapan ikan tentunya akan menjadi semakin mantap untuk berinvestasi di sektor usaha ini karena dengan adanya regulasi akan memberikan kepastian hukum atas usahanya dan mereka dapat menjalankan usahanya dengan tenang. Di sisi lain, pemerintah dapat memetik hasilnya berupa penerimaan pajak yang optimal.
*) Artikel ini merupakan pendapat pribadi penulis dan bukan cerminan sikap instansi tempat penulis bekerja.
- 878 views