PPS, Kristalisasi Sempurna Keengganan Masyarakat Bayar Pajak

Oleh: Jerrycho Tectone Akbar Jayanegara, pegawai Direktorat Jenderal Pajak
Tanggal 1 Januari 2022 menandai awal babak baru kebijakan perpajakan di Indonesia. Pada tanggal ini, program pengungkapan pajak sukarela, yang selanjutnya akan disebut dengan PPS, telah resmi berjalan.
Program “kontroversial” ini akan berjalan selama enam bulan sampai dengan tanggal 30 Juni 2022 kelak. Mengapa kontroversial? Hal ini karena di awal kemunculannya, program ini didapuk sebagai program pengampunan pajak (tax amnesty). Program ini dianggap sebagai upaya putus asa pemerintah untuk mengumpulkan pundi-pundi penerimaan negara selagi memulihkan perekonomian di tengah pandemi covid-19 dengan merias ulang sebuah kebijakan yang seharusnya hanya boleh dilakukan 10 tahun semenjak pengampunan pajak terakhir dan Indonesia telah melaksanakan program pengampunan pajak pada tahun 2016.
Hal ini tentu tidak benar. PPS dan Tax Amnesty (TA) merupakan dua hal yang berbeda dan perbedaan ini bukan karena perbedaan singkatan antara kedua program tersebut, PPS dengan TA. Berdasarkan UU HPP, PPS merupakan sebuah program yang bertujuan untuk meningkatkan kepatuhan sukarela wajib pajak yang diselenggarakan berdasarkan asas kesederhanaan, kepastian hukum, dan kemanfaatan. Melalui program ini, wajib pajak diberikan kesempatan untuk melaporkan atau mengungkapkan kewajiban perpajakan yang belum dipenuhi secara sukarela.
TA, di sisi lain, merupakan penghapusan pajak yang seharusnya terutang, tidak dikenai sanksi administrasi perpajakan dan sanksi pidana di bidang perpajakan, dengan cara mengungkap harta dan membayar uang tebusan. Uang tebusan adalah sejumlah uang yang dibayarkan ke kas negara untuk mendapatkan pengampunan pajak tadi. Terlihat dari definisi tersebut bahwa PPS dan TA merupakan dua hal yang berbeda. PPS tidak meghilangkan pajak yang seharusnya terutang, tetapi justru menimbulkan kewajiban membayar pajak atas harta yang belum diungkapkan. Selain itu, tidak ada konsep uang tebusan yang perlu dibayar oleh wajib pajak di dalam PPS.
Memang benar bahwa skenario pertama PPS diperuntukkan bagi wajib pajak orang pribadi dan badan peserta TA atas harta per 31 Desember 2015 yang belum diungkap pada saat mengikuti pengampunan pajak. Bisa dikatakan bahwa PPS mengakomodasi kepentingan TA, tetapi hal ini tidak berarti bahwa PPS sama dengan TA. Hal ini senada dengan kenyataan pahit bahwa hanya karena dia membalas SMS-mu, bukan berarti dia tertarik kepadamu.
Pembicaraan mengenai PPS dan TA ini sepertinya tidak akan selesai dalam waktu dekat. Akan tetapi, terdapat satu aspek yang jarang diulik kapan pun pembicaraan mengenai PPS muncul ke permukaan, yaitu kecenderungan masyarakat untuk menghindari membayar pajak. Sebagaimana telah disebutkan di atas, PPS memberikan kesempatan kepada wajib pajak untuk mengungkapkan harta yang belum dilaporkan di SPT Tahunan secara sukarela.
Kebijakan ini tentu merupakan terobosan yang bagus. Kepatuhan sukarela wajib pajak bisa tumbuh melalui program ini dan Direktorat Jenderal Pajak bisa memperoleh informasi yang lebih akurat mengenai harta wajib pajak yang tersebar di seluruh penjuru Indonesia. Hanya saja, kebijakan PPS, atau bahkan TA, tidak akan diperlukan jika sedari awal wajib pajak sudah memiliki kesadaran penuh untuk membayar pajak secara sukarela.
Kepatuhan sukarela bisa didefinisikan sebagai kesadaran penuh wajib pajak untuk membayar jumlah pajak yang terutang atas nama wajib pajak tersebut sesuai dengan harta yang dimilikinya tanpa ada paksaan dari pihak hukum. Perlu diketahui bahwa kecenderungan untuk tidak membayar pajak tidak hanya terjadi di negara berkembang seperti Indonesia, tetapi terjadi di banyak negara di dunia, termasuk negara maju.
Pada 2016, dunia dikejutkan dengan kemunculan bocoran informasi yang menjelaskan bagaimana golongan 1% (red : orang terkaya) dunia menghindari membayar pajak dan menyembunyikan kekayaannya. Informasi yang dirilis oleh Konsorsium Jurnalis Investigatif Internasional (ICIJ) dalam bentuk 11,5 juta dokumen dari firma hukum Mossack Fonseca dengan total data digital mencapai 2,6 juta terabita dan mencatat nama lebih dari 214 ribu entitas luar negeri ini kemudian lebih dikenal dengan nama Panama Papers.
Terdapat banyak pihak-pihak tersohor di dalam Panama Papers, termasuk beberapa nama dari Indonesia, seperti Raja Salman dari Arab Saudi, Silvio Berlusconi (mantan Perdana Menteri Italia), Lionel Messi, Airlangga Hartarto, Sandiaga Uno, dan Luhut Binsar Pandjaitan. Belum cukup sampai di situ, beberapa tahun setelah kemunculan Panama Papers di tahun 2016, ICIJ kembali merilis laporan serupa, yaitu Paradise Papers yang dirilis pada 5 November 2017 dan Pandora Papers pada 3 Oktober 2021. Keberadaan tiga laporan tersebut mengisyaratkan bahwa prevalensi penghindaran pajak tidaklah rendah.
Uang dari pajak sejatinya akan kembali lagi ke pembayar pajak. Hanya saja, “keuntungan” dari membayar pajak memang tidak diterima secara langsung saat wajib pajak membayarkan pajaknya. “Keuntungan” yang dimaksud bisa datang dalam bentuk lain, salah satunya adalah pengadaan vaksin covid-19 di Indonesia. Uang pajak merupakan salah satu tumpuan bagi pemerintah Indonesia untuk membeli vaksin dan melakukan vaksinasi.
Pada 2021, pemerintah Indonesia menganggarkan hampir Rp700 triliun untuk pemulihan ekonomi nasional (PEN) dan sekitar Rp58 triliun untuk pengadaan vaksin dan vaksinasi. Hal ini dilakukan untuk memastikan bahwa vaksin covid-19 tersedia secara gratis untuk seluruh warga Indonesia sehingga seluruh warga Indonesia bisa terhindar dari infeksi covid-19.
Sebagai institusi penghimpun pajak Indonesia, kenyataan bahwa masih terdapat keengganan untuk membayar pajak tentu harus lebih sering dibahas oleh Direktorat Jenderal Pajak. Mengapa beberapa orang enggan membayar pajak atas harta dan kekayaan yang mereka miliki? Mengapa beberapa orang lebih memilih untuk menyembunyikan harta mereka di perusahaan cangkang yang terdaftar di negara suaka pajak (tax haven country)? Pertanyaan-pertanyaan seperti ini perlu dibahas lebih lanjut agar sistem administrasi perpajakan di Indonesia bisa berjalan dengan lebih optimal tanpa adanya upaya penghindaran membayar pajak.
PPS merupakan salah satu upaya yang ditempuh oleh pemerintah Indonesia untuk menumbuhkan kesadaran membayar pajak. Akan tetapi, di saat yang sama, PPS juga merupakan kristalisasi sempurna keengganan masyarakat untuk membayar pajak.
*) Tulisan ini merupakan pendapat pribadi penulis dan bukan cerminan sikap instansi penulis bekerja.
- 376 views