Kenikmatan Atas Pajak Kenikmatan
Oleh: Gabiela Gumilang, pegawai Direktorat Jenderal Pajak
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP) mengatur banyak perubahan regulasi perpajakan. Salah satu yang menarik perhatian adalah diberlakukannya pajak atas natura dan/atau kenikmatan. Sebelumnya, pemberian natura dan/atau kenikmatan diatur dalam Pasal 4 ayat (1) huruf a dan Pasal 4 ayat (3) huruf d Undang-Undang nomor 36 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (UU PPh).
Dalam UU PPh, natura dan/atau kenikmatan dikecualikan dari objek pajak kecuali yang diberikan oleh bukan wajib pajak, wajib pajak yang dikenakan pajak secara final atau wajib pajak yang menggunakan norma penghitungan khusus (deemed profit) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15. Sehingga natura dan/atau kenikmatan yang diberikan oleh wajib pajak selain yang disebutkan sebelumnya termasuk dalam pengecualian objek pajak.
Dua ketentuan dalam UU PPh akhirnya diubah. Dalam UU HPP, natura dan/atau kenikmatan ditegaskan termasuk ke dalam objek pajak.
Menurut definisi OECD, natura dan/atau kenikmatan juga dikenal dengan istilah benefits in kind, yaitu suatu bentuk kompensasi yang diterima dalam bentuk selain kas dan berkaitan dengan hubungan kerja. Penjelasan Pasal 4 ayat (3) huruf 3 UU PPh menyebutkan, natura diberikan dalam bentuk barang seperti beras, gula, dan lainnya. Sedangkan kenikmatan diberikan dalam bentuk fasilitas seperti mobil, rumah, dan fasilitas pengobatan.
Tax Planning Menggunakan Natura dan/atau Kenikmatan
Sumber Daya Manusia (SDM) atau tenaga kerja merupakan faktor produksi terpenting bagi perusahaan. Perusahaan yang dapat memberikan imbalan besar tentu lebih diminati oleh pekerja. Tidak jarang perusahaan memberikan apresiasi berupa fringe benefit atau kompensasi nonupah dengan tujuan untuk mendorong produktivitas dan memberikan motivasi kepada pegawai sebagai aset terpenting perusahaan.
Sebelum terbitnya UU HPP, pemberian natura dan/atau kenikmatan merupakan merupakan biaya yang tidak boleh dikurangkan dari penghasilan bruto bagi perusahaan dan bukan objek PPh bagi pegawai yang menerimanya. Sehingga pemberian natura dan/atau kenikmatan tidak dapat dibebankan sebagai biaya untuk menghitung penghasilan kena pajak bagi perusahaan, namun juga bukan penghasilan yang dapat dikenakan Pajak Penghasilan Orang Pribadi (PPh OP) bagi pegawai yang menerima.
Tarif PPh Badan yang berlaku saat ini adalah 22%, sedangkan rentang tarif PPh OP adalah dari 5% hingga paling besar 30%. Terdapat perbedaan tarif PPh OP hingga 8% lebih tinggi daripada PPh Badan. Perlu menjadi perhatian, tidak sedikit pegawai level atas yang dikenakan tarif PPh OP hingga lapisan 30% mendapat natura dan/atau kenikmatan dari perusahaan tempat mereka bekerja. Hal ini sering dijadikan tax planning perusahaan untuk lebih baik membayar pajak perusahaan yang tarifnya lebih rendah dibanding harus memotong PPh OP dengan tarif lebih tinggi. Tax Planning dengan menggeser keuntungan perusahaan yang diperoleh dari PPh OP ke PPh Badan seperti ini banyak dipraktikkan perusahaan guna memperoleh tax saving yang lebih besar.
Menyasar Keadilan
Hal yang perlu diperhatikan atas pengenaan pajak atas natura dan/atau kenikmatan adalah perubahan pasal 4 ayat (3) UU HPP yang mengatur tentang pengecualian natura dan/atau kenikmatan dari pengenaan pajak. Disebutkan bahwa natura dan/atau kenikmatan yang dikecualikan dari objek pajak adalah pemberian makanan/minuman bagi seluruh pegawai, natura dan/atau kenikmatan di daerah tertentu, natura dan/atau kenikmatan karena keharusan pekerjaan, natura dan/atau kenikmatan yang bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) atau Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) dan natura dan/atau kenikmatan dengan jenis dan batasan tertentu.
Sehingga dengan adanya bunyi Pasal 4 ayat (3) ini, tidak benar jika otoritas pajak menyasar semua fasilitas kantor yang diberikan oleh perusahaan apalagi ke pegawai level bawah yang memang membutuhkan fasilitas dari kantor guna menunjang pekerjaannya.
Menteri Keuangan (Menkeu) Republik Indonesia Sri Mulyani Indrawati dalam acara Kick Off Sosialisasi UU HPP (Jumat, 19/11) menegaskan bahwa tidak benar jika laptop dan ponsel yang diterima pegawai sebagai fasilitas untuk pekerjaan mereka juga merupakan objek pajak natura dan/atau kenikmatan. Yang menjadi objek adalah fringe benefit untuk beberapa segmen profesi yang besar.
Dalam poin 3 Pasal 4 ayat (3) UU HPP juga sudah jelas bahwa fasilitas yang menjadi keharusan pekerjaan tidak akan dikenakan pajak. Pun, dalam poin 5 juga disebutkan bahwa ada jenis dan batasan tertentu untuk pengenaan pajak atas natura dan/atau kenikmatan ini. Pajak atas natura dan/atau kenikmatan ini akan diatur lebih rinci oleh Peraturan Pemerintah.
UU PPh mendefinisikan penghasilan sebagai tambahan kemampuan ekonomis bagi penerimanya. Pemberian natura dan/atau kenikmatan dengan jenis dan batasan tertentu jelas merupakan tambahan kemampuan ekonomis bagi si penerima namun selama ini luput dari pengenaan pajak. Pajak atas natura dan/atau kenikmatan ini dikenakan untuk mencapai keadilan pengenaan pajak baik tunai maupun nontunai. Tidak adil jika pekerja level bawah dikenakan pajak atas seluruh penghasilannya namun tidak semua penghasilan pekerja level atas dikenai pajak karena natura dan/atau kenikmatan yang diberikan.
Sehingga jelas pengenaan pajak atas natura dan/atau kenikmatan ini diberlakukan untuk memperkecil praktik penghindaran pajak dan juga untuk mencapai keadilan pengenaan pajak.
*) Artikel ini merupakan pendapat pribadi penulis dan bukan cerminan sikap instansi tempat penulis bekerja.
- 780 views