Oleh: Muhammad Fikri Ali, pegawai Direktorat Jenderal Pajak

Al waqtu kassaifi in lam taqto’hu qoto’aka, wa nafsuka in lam tusyghiluha bil haqqi fa tusyghiluka bil batili.

(Waktu itu seperti pedang, jika Anda tidak memotongnya, itu akan memotong Anda. Dan jika Anda tidak menyibukkan diri dengan kebenaran, maka itu akan mengisi Anda dengan kebatilan)

Salah satu falsafah hidup yang berasal dari Timur Tengah di atas menerangkan pentingnya penggunaan waktu. Jika digunakan dengan baik, maka ia bisa bermanfaat. Sebaliknya, jika tidak digunakan dengan baik, maka ia akan menjadi musibah. Dengan waktu, masa depan dapat diraih. Dengan waktu juga, suatu peristiwa bisa menjadi sejarah.

Sejarah perpajakan di Indonesia sendiri berusia cukup panjang, yakni ratusan tahun yang lalu atau ketika kerajaan-kerajaan masih berdiri di tanah khatulistiwa. Dosen saya dulu sewaktu kuliah Pengantar Hukum Pajak, Rachmad Utomo, membaginya menjadi empat fase.

Fase Pertama

Fase pertama adalah Zaman Kerajaan. Dua ciri utama ketika itu adalah kerajaan membutuhkan pembiayaan untuk mempertahankan kekuasaannya dan tata cara pemungutan tidak diatur (bahkan dapat dibilang terlalu sederhana). Akibatnya, sering timbul miskonsepsi dan kecurangan dalam pemungutannya. Bahkan, di beberapa tempat menimbulkan trauma tersendiri di hati masyarakat.

Bisa dibilang sejak fase ini, nama pajak mulai memiliki konotasi negatif yang tidak dapat diglorifikasi dengan cara apapun. Oleh sebab itu, di fase pertama telah timbul rasa perlawanan (resistance) terhadap pengenaan pajak.

Selain itu, istilah pajak di fase pertama ini lebih jamak dikenal dengan upeti. Pemungutan upeti dari masyarakat ke raja-raja bisa berupa natura, padi, hewan ternak, dll. Upeti menurut sudut pandang raja selain sebagai sesembahan rakyat kepada raja, upeti juga dianggap sebagai biaya keamanan. 

Upeti yang seperti itu dapat dipahami demikian adanya disebabkan masih terbatasnya kebutuhan manusia saat itu. Bayangkan kita berada di fase pertama, tidak ada bioskop, tidak ada tempat makan yang instagrammable, tidak ada crypto, dan lain sebagainya. Kebutuhan kita saat itu hanya terbatas pada sandang, pangan, dan papan.

Mengutip jurnal Djoko Dwiyanto (1995) berjudul Pungutan Pajak dan Pembatasan Usaha di Jawa pada Abad IX – XV Masehi menyebutkan bahwa terdapat lebih kurang 58 prasasti yang berisi tentang pajak dan pembatasan usaha. Artinya, pada Abad IX – XV Masehi memang benar adanya pajak.

Masih dalam jurnal yang sama yang mendukung kebenaran adanya pajak di zaman kerajaan, Djoko Dwiyanto mengutip Boehari (1983:68) Ulah Para Pemungut Pajak di Dalam Masyarakat Jawa Kuna mengatakan, “Seluk beluk mengenai pajak dalam prasasti dapat diketahui dari sebutan bagi petugas pajak kerajaan yang bernama pangkur, tawan, dan tirip. Selain itu masih ada beberapa petugas pemungut pajak yang termasuk dalam kelompok sang manilaladrabya haji.”

 

Fase Kedua

Fase kedua adalah Zaman Kolonial sampai dengan Zaman Kemerdekaan. Ciri utamanya adalah peraturan yang digunakan berawalan dengan ordonansi dan staatsblad (lembaran negara), bukan Undang-Undang seperti di masa sekarang. Pada fase kedua ini menjadi awal dimulainya sistem administrasi yang baik karena didukung teknologi mesin tik dan kertas.

Contoh pajak yang pernah berlaku adalah Ordonansi Pajak Upah, Ordonansi Pajak Potong, Ordonansi Pajak Radio, dsb. Di fase ini pihak-pihak kolonial yang berperan besar adalah Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC), Inggris, dan Hindia Belanda.

Subjek pajak di masa itu tidak hanya golongan pribumi saja, melainkan orang Tionghoa juga menjadi subjek pajak. Pungutan pajak pada orang Tionghoa yang paling terkenal saat itu adalah pajak kepala. Pajak kepala ini dikenakan kepada orang-orang Tionghoa yang bermukim di Batavia dan dikenakan kepada mereka yang berusia melewati 16 tahun. Pemungut pajaknya adalah VOC.

Benny G. Setiono, dikutip dari Tirto, dalam Tionghoa dalam Pusaran Politik (2003:103) menuliskan, “Pajak kepala ini disebut surat konde karena orang-orang Tionghoa ketika itu rambutnya panjang, kemudian digelung menjadi konde. Pajak kepala tersebut besarnya f 0,25 setiap bulan tetapi kalau dibayar setahun menjadi f2,50.” Artinya, pada masa itu telah mengenal juga diskon pajak yang saat ini biasa diterapkan oleh pemerintah-pemerintah daerah di Indonesia.

Fase kedua ini berakhir de facto ketika sang Penyambung Lidah Rakyat Indonesia memproklamasikan berdirinya Republik Indonesia pada 17 Agustus 1945. Saat itulah rezim pajak yang digagas oleh penjajah telah berakhir dan saat itu jugalah Indonesia memasuki fase ketiga.

 

Fase Ketiga

Fase ketiga ini cukup menarik. Hal ini disebabkan kondisi Indonesia saat itu yang baru saja merdeka dari penjajahnya. Alhasil, beberapa kebijakan fiskal maupun moneter juga masih terpengaruh oleh peraturan yang sebelumnya diberlakukan. Fenomena ini juga dipicu oleh penjajah-penjajah yang kala itu tidak mendukung Indonesia berdiri sendiri.

Indonesia tetaplah Indonesia. Indonesia yang saat itu sedang bersemangat untuk menjadi negara sendiri lalu berusaha satu demi satu menyingkirkan residu jajahan. Seperti semangat yang ada di dalam teks Proklamasi, yakni Hal-hal jang mengenai pemindahan kekosaan d.l.l., diselenggarakan dengan tjara saksama dan dalam tempo jang sesingkat-singkatnja.

Implementasi konkretnya adalah penghapusan peraturan dan penggantian nama. Namun, sayangnya dinamika perpolitikan saat itu masih belum stabil. Para kolonialis masih berusaha mengambil kembali negara Indonesia dari nenek moyang kita.

Sebut saja peristiwa Agresi Militer I-II, Perjanjian Renville, dan Konferensi Meja Bundar. Peristiwa-peristiwa tersebut adalah contoh bentuk ketidaksetujuan kolonialis secara politik internasional terhadap berdirinya Indonesia. Walhasil, ini memunculkan instabilitas politik di Indonesia yang berakibat pada masih adanya peraturan “berbau” kolonialis.

Contoh undang-undang yang pernah berlaku di fase ketiga antara lain: UU No. 12 Tahun 1956 sebagai bentuk penyerahan negara kepada pemerintah daerah dan UUDrt No. 19 Tahun 1951 tentang Pemungutan Pajak Penjualan.

Beleid pertama adalah penerapan konsep desentralisasi keuangan negara. Harapannya setiap daerah bisa mandiri mengatur kepentingan moneter daerahnya sendiri. Namun, sampai saat ini masih banyak pemerintah daerah yang masih menggantungkan penerimaan daerahnya dari pemerintah pusat.

Di sisi lain, beleid kedua merupakan pengenaan pajak atas konsumsi. Beleid ini juga menjadi cikal bakal lahirnya Pajak Pertambahan Nilai (PPN). Namun, saat itu di Indonesia juga sedang berlaku Pajak Peredaran. Hasilnya, mengutip Darussalam, et al. (2018:2) dalam Konsep dan Studi Komparasi Pajak Pertambahan Nilai, distorsi yang dihasilkan dari Pajak Penjualan dan Pajak Peredaran karena adanya cascading effect dari penerapan kedua jenis pajak tersebut, serta ditambah dengan adanya tuntutan peningkatan penerimaan, memberikan dorongan bagi pemerintah untuk mencari alternatif bentuk pajak lainnya.

Pendek kata, ciri utama dari fase ketiga ini adalah masih adanya tangen antara peraturan Indonesia sebagai negara baru dan peraturan yang pernah berlaku di Indonesia ketika masih berstatus negara jajahan. Pada saat itu otoritas pajak Indonesia juga sedang mengambil konsep perpajakan yang sedang berlaku secara internasional dan disesuaikan dengan kondisi Indonesia.

Fase Keempat

Fase terakhir merupakan awal dimulainya reformasi perpajakan di Indonesia, yakni tahun 1983 ketika reformasi perpajakan digaungkan. Ciri utamanya adalah mulai berlakunya sistem self-assessment perpajakan. Tiga fase sebelumnya sistem perpajakan masih berupa official-assessment.

Secara sederhana, mengutip dari pajak.go.id, official-assessment mengatur besarnya pajak yang terutang ditetapkan sepenuhnya oleh institusi pemungut pajak. Sebaliknya, self-assessment mengatur besarnya pajak yang terutang ditetapkan oleh wajib pajak sendiri. Peran institusi pemungut pajak hanyalah mengawasi melalui serangkaian tindakan pengawasan maupun penegakan hukum (pemeriksaan dan penyidikan pajak).

Sejak 1983 sampai sekarang, otoritas pajak di Indonesia mengalami dinamika yang cukup baik dan terkendali. Ada kalanya kebijakan yang diambil masih memunculkan perselisihan (dispute) di masyarakat karena dalam sistem self-assessment wajib pajak diberikan kewenangan yang relatif holistik. Namun, tetap perlu diingat, kewenangan yang besar juga harus berjalan beriringan dengan tanggung jawab yang besar juga. Tabik.

*) Tulisan ini merupakan pendapat pribadi penulis dan bukan cerminan sikap instansi tempat penulis bekerja.