Pajak Satu Dunia

Oleh: Renaldy Cendana, pegawai Direktorat Jenderal Pajak
Tiap-tiap negara di berbagai belahan dunia hidup berdampingan. Penganutan sistem pemerintahan dan konstitusi juga beragam, seusai dengan kebijakan masing-masing negara. Negara-negara yang ada berkomunikasi satu sama lain membentuk ikatan hubungan dalam perjanjian internasional demi kelancaran seluruh kegiatan dalam lintas negara. Berbagai kebijakan dan peraturan yang ada di tiap negara juga dibuat berbeda, termasuk dalam kebijakan perpajakan mereka.
“When in Rome, do as the Romans do”
Saat kita berada—tinggal ataupun hanya sekadar bertamasya—di sebuah negara, maka kita diharuskan untuk patuh terhadap bagaimana peraturan di tempat tersebut berlaku. Apabila melakukan pelanggaran pun, seseorang akan diadili sesuai dengan hukuman yang ditetapkan di daerah tersebut.
Kebijakan di sektor perpajakan juga tidak dikesampingkan dalam hal ini. Baik dari transaksi jual beli hingga penerimaan penghasilan oleh orang pribadi maupun badan akan dikenai pajak sesuai dengan prinsip perpajakan yang dianut.
Asas pengenaan pajak ada bermacam-macam yaitu asas domisili, asas sumber, dan juga asas kebangsaan. Ketiga asas ini memiliki prinsip yang berbeda-beda. Asas domisili mendasari pemungutan atau pengenaan pajak kepada wajib pajak yang berdomisili atau bertempat tinggal di negara tersebut atau kepada perusahaan yang berkedudukan di negara yang bersangkutan.
Asas sumber mendasari pemungutan atau pengenaan pajak dari penghasilan yang diterima oleh wajib pajak, orang pribadi atau badan, selama penghasilan diterima di negara tersebut tanpa memandang dari sisi wajib pajak. Asas kebangsaan mendasari pemungutan atau pengenaan pajak sesuai dengan kewarganegaraan yang dianut oleh wajib pajak orang pribadi atau badan.
Selain itu, jenis-jenis tarif pajak juga ada bermacam-macam, mulai dari tarif progresif, seperti tarif yang digunakan dalam tarif Pajak Penghasilan (PPh) Orang Pribadi, hingga tarif regresif/tetap yang digunakan dalam tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN).
Tidak terbayang betapa banyaknya regulasi perpajakan yang ada di dunia—jika semuanya harus dihafalkan satu per satu. Kalau dapat berandai-andai, mungkin bisa saja kalau peraturan perpajakan yang ada di seluruh dunia disatukan menjadi satu peraturan perpajakan yang universal—seluruh manusia menjalakan kewajiban perpajakan dengan satu sistem perpajakan yang sama dengan belahan dunia yang lain.
Dengan begitu kita tidak perlu memusingkan diri dengan peraturan yang berbeda-beda, tanpa takut dicap sebagai orang yang “tidak patuh” semata-mata karena lalai akibat kurangnya pengetahuan perpajakan yang ada di suatu negara.
Hal ini memang terdengar cukup simpel dan memudahkan. Namun, dalam kenyataannya, pelaksanaan tidak dapat dieksekusi semudah mulut berbicara. Jika diibaratkan, negara-negara yang ada terlihat mirip seperti sebuah kompleks perumahan, dengan tiap negara sebagai satu rumah tangga yang tinggal di masing-masing rumah.
Dalam tiap rumah dikepalai oleh seorang kepala rumah tangga—seperti sebuah negara yang dikepalai oleh seorang pemimpin, baik presiden, raja, ataupun berbagai jenis pemimpin lainnya. Tiap kepala memiliki metode kepemimpinan yang berbeda satu sama lain.
Selain itu juga, dalam setiap rumah terdiri atas susunan anggota keluarga yang berbeda, ada yang berjumlah tiga, lima, atau bahkan sepuluh. Perbedaan dalam jumlah anggota keluarga—mengibaratkan jumlah penduduk—menjadi sebuah variabel yang memengaruhi seberapa banyak anggaran yang diperlukan untuk memenuhi kebutuhan negara tersebut.
Dalam memenuhi kebutuhan rumah tangga, suatu keluarga memerlukan dana untuk dapat menjalankan hidup. Negara mengumpulkan pendapatan dari berbagai macam sumber mulai dari pariwisata, ekspor, investasi, pajak, dan masih banyak lagi.
Proporsi sumber penerimaan dari tiap negara pun beragam. Prospek tiap negara menjadi salah satu penentu krusial dalam penyusun sumber penerimaan dari tiap negara. Negara satu mungkin unggul dalam bidang perdagangan, dan yang lain unggul di bidang pariwisata.
Atas perbedaan proporsi penerimaan tadi mengakibatkan munculnya berbagai macam masalah seperti kemiskinan, sedikitnya lapangan pekerjaan, pertikaian, terorisme, dan masih banyak lagi. Masalah-masalah yang muncul ini diatasi oleh masing-masing negara dengan cara mereka sendiri.
Berbagai kebijakan dan peraturan dikeluarkan sebagai langkah strategis yang diambil oleh tiap-tiap negara. Sayangnya, dengan perbedaan yang dimiliki tiap negara, sebuah peraturan yang sama tidak dapat menjadi solusi yang sama untuk seluruh negara yang ada di dunia.
Kebijakan perpajakan juga tidak lari dari persoalan ini. Karena adanya perbedaan yang muncul pada kebutuhan anggaran di tiap negara, ditambah lagi dengan kondisi masing-masing negara yang bervariasi, peraturan perpajakan yang dihasilkan pun berbeda-beda, tergantung bagaimana cara tiap pemimpin negara merespons masalah yang ada.
Kebijakan perpajakan dapat menggiring arah dan memengaruhi pilihan masyarakat dalam beraktivitas dalam aspek ekonomi. Dengan begitu, bagaimana langkah tiap negara akan menyesuaikan diri dengan arah yang diambil oleh masing-masing negara.
Dari seluruh penjelasan dan penjabaran di atas, unifikasi dalam kebijakan perpajakan juga terdengar hampir tidak dapat dilaksanakan. Lalu, bagaimana cara dari tiap negara mengatasi masalah ketimpangan pajak yang muncul di tiap negara?
Dari perbedaan yang terdapat pada asas pengenaan pajak hingga tarifnya, tentu akan menimbulkan kendala, khususnya dalam aktivitas lintas negara. Hal ini dicegah dengan dibuatnya perjanjian internasional.
Tax Treaty adalah sebuah persetujuan yang diikuti oleh negara-negara yang bertujuan untuk menghindari terjadinya pengenaan pajak berganda (double taxation). Alhasil, tanpa perlu menyeragamkan peraturan perpajakan yang beragam, tiap negara dapat hidup berdampingan dengan peraturan yang ada.
*) Tulisan ini merupakan pendapat pribadi penulis dan bukan cerminan sikap instansi tempat penulis bekerja.
- 236 views