Penerimaan Negara Naik Seiring Bonus Demografi

Oleh: Anggit Kuncoro Aji, Pegawai Direktorat Jenderal Pajak
Pembangunan Indonesia mulai dilaksanakan secara menyeluruh dan berencana sejak 1967. Hal ini ditandai dengan adanya prioritas pada bidang ekonomi. Swasembada beras dan pertumbuhan penduduk yang terkendali bisa tercapai pada tahun 1984. Penduduk miskin yang pada awal kemerdekaan mencapai 70 persen dapat diturunkan menjadi sekitar 11 persen pada tahun 1996.
Meskipun sempat mengalami krisis ekonomi pada tahun 1997 hingga 1998, tetapi pada periode 2004 hingga 2014 pertumbuhan ekonomi dapat dijaga rata-rata 5,7 persen setiap tahunnya (Bappenas, 2019). Hingga pada 1 Juni 2020, Indonesia mampu menjadi negara dengan status penghasilan menengah atas (upper middle income country) yang memiliki pendapatan per kapita sebesar USD4.050 pada tahun 2019.
Pandemi Covid-19 yang melanda Indonesia dan dunia memukul perekonomian dan berbagai sektor lainnya. Pertumbuhan ekonomi Indonesia sempat minus 5,32 persen pada kuartal II 2019. Indonesia juga sempat masuk jurang resesi dengan minusnya ekonomi sebesar 3,49 persen pada kuartal III 2020. Meskipun begitu, sebagai bukti perjuangan bersama masyarakat dan pemerintah dalam melawan pandemi, pertumbuhan ekonomi pada kuartal selanjutnya berangsur membaik.
Puncak dari perjuangan dan sebagai penanda Indonesia lepas dari jerat resesi, ekonomi Indonesia tubuh sebesar 7,07 persen pada kuartal II 2021. Dengan bekal pengalaman dalam mengisi kemerdekaan sejak 1945 dan momentum bonus demografi, terwujudnya Indonesia berdaulat, maju, adil, dan makmur pada tahun 2045 sangat mungkin terjadi.
Estimasi Prospek
Pada tahun 2020 hingga 2030, Indonesia akan mengalami bonus demografi. Puncak bonus demografi Indonesia akan terjadi pada 2028 hingga 2030, ketika 100 orang produktif menanggung 22 orang non-produktif. Hal tersebut membuat Indonesia memiliki perkiraan jumlah penduduk sebesar 309 juta penduduk yang sebesar 52 persennya dalam usia produktif pada tahun 2045.
Porsi penduduk yang hidup di perkotaan sebesar 75 persen dan 80 persen penduduk berpenghasilan menengah. Dalam bidang ekonomi, diproyeksikan Indonesia menjadi negara dengan ekonomi terbesar ke-4 di dunia dengan pendapatan per kapita sebesar USD29.300 dalam setahun.
Porsi penduduk kelas menengah Indonesia sejak tahun 2002 hingga 2018 terus mengalami peningkatan. Berdasarkan data Bank Dunia, Pada tahun 2002 porsi middle class (kelas menengah) hanya sebesar 7 persen, sedangkan pada 2018 kelas menengah sudah memiliki porsi 22,5 persen.
Porsi masyarakat miskin juga terus menurun setiap tahunnya. Pada tahun 2002 porsi masyarakat poor and vulnerable (miskin) mencapai 51,8 persen. Pada 2018 porsi masyarakat miskin di Indonesia sudah turun drastis hanya tinggal 30 persen.
Perubahan pada tren demografi dan kondisi sosial-ekonomi masyarakat Indonesia ini merupakan peluang bagi penerimaan negara. Dengan semakin banyaknya masyarakat yang berada pada kelas menengah, akan membuka peluang peningkatan penerimaan pajak terutama Pajak Penghasilan Orang Pribadi.
Dengan reformasi pajak yang tepat, potensi penerimaan dari kondisi ini dapat ditangkap tanpa memberikan peningkatan dead weight loss (kerugian bobot mati) dari pemungutan pajak.
Peningkatan porsi penduduk kelas menengah tentunya akan memicu konsumsi penduduk tumbuh signifikan. Pada dasarnya konsumsi penduduk akan selalu tumbuh setiap tahunnya. Dengan tren demografi porsi kelas menengah terus tumbuh dan masyarakat miskin yang terus turun, membuat konsumsi penduduk tumbuh tinggi.
Apabila kita lihat data Bank Dunia, pada tahun 2003 konsumsi penduduk Indonesia masih di bawah Rp50 triliun. Pada tahun 2018 konsumsi masyarakat Indonesia sudah di atas Rp280 triliun. Pertumbuhan konsumsi penduduk yang tinggi ini dapat meningkatkan penerimaan pajak, terutama Pajak Pertambahan Nilai (PPN).
Kebijakan Perpajakan
Untuk mencapai potensi penerimaan pajak dari peningkatan tren demografi dan perubahan kondisi sosial-ekonomi masyarakat Indonesia, pemerintah mengambil beberapa langkah kebijakan. Salah satu langkah yang diambil pemerintah adalah dengan mengesahkan Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP).
Dalam UU HPP ini pemerintah merubah empat undang-undang sekaligus, yakni:
- Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 1983 Tentang Ketentuan Umum Dan Tata Cara Perpajakan Sebagaimana Telah Beberapa Kali Diubah Terakhir Dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2020 (UU KUP),
- Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1983 Tentang Pajak Penghasilan Sebagaimana Telah Beberapa Kali Diubah Terakhir Dengan Undang- Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2020 (UU PPh),
- Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1983 Tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang Dan Jasa Dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah Sebagaimana Telah Beberapa Kali Diubah Terakhir Dengan Undang- Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2020 (UU PPN),
- Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1995 tentang Cukai sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2007 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1995 tentang Cukai (UU Cukai).
Selain merubah empat undang-undang di atas, UU HPP juga mengatur mengenai pajak karbon, Program Pengungkapan Sukarela, dan cukai.
Untuk merealisasikan potensi penerimaan dari tren demografi yang terjadi, pengenaan pajak pada Wajib Pajak Orang Pribadi mengalami dua perubahan besar. Pertama, adanya penambahan lapisan progresif baru pada tarif PPh Orang Pribadi. Lapisan tarif progresif sebesar 35 persen akan dikenakan kepada orang pribadi yang berpenghasilan di atas Rp5 miliar dalam satu tahun.
Kedua, pengaturan mengenai peredaran bruto tidak kena pajak bagi orang pribadi pengguna tarif final sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2018 tentang Pajak Penghasilan atas Penghasilan Dari Usaha yang Diterima atau Diperoleh Wajib Pajak yang Memiliki Peredaran Bruto Tertentu (PP 23). Untuk pengguna tarif final PP 23 akan diberi pengurangan berupa peredaran bruto tidak kena pajak sebesar Rp500 juta setahun. Aturan baru ini akan diterapkan mulai tahun pajak 2022.
Salah satu upaya untuk merealisasikan potensi penerimaan dari konsumsi orang pribadi yang tumbuh tinggi setiap tahunnya adalah dengan menaikkan tarif PPN dan penerapan tarif khusus. Tarif PPN akan naik menjadi 11 persen mulai April 2022 dan akan dinaikkan lagi menjadi 12 persen paling lambat pada 1 Januari 2025. Tarif khusus berupa tarif PPN “final” dipilih pemerintah untuk memberikan kemudahan dalam pemungutan PPN atas jenis barang/jasa atau sektor usaha tertentu.
Untuk mengurangi kerugian bobot mati dari dua kebijakan baru PPN tersebut, pemerintah memberikan fasilitas PPN pada beberapa barang/jasa. Fasilitas pembebasan PPN diberikan terhadap barang kebutuhan pokok, jasa kesehatan, jasa pendidikan, jasa pelayanan sosial, dan beberapa jenis jasa lainnya. Hal ini membuat masyarakat berpenghasilan menengah dan kecil tetap tidak perlu membayar PPN atas konsumsi kebutuhan pokok, jasa pendidikan, jasa kesehatan, dan layanan sosial.
*) Tulisan ini merupakan pendapat pribadi penulis dan bukan cerminan sikap instansi tempat penulis bekerja.
- 148 views