Potensi PBB yang Hilang dari Aktivitas Pertambangan Ilegal

Oleh: Rizki Pangestuti, pegawai Direktorat Jenderal Pajak
Akhir-akhir ini, aktivitas pertambangan ilegal marak terjadi di daerah. Pelakunya adalah pelaku usaha pertambangan yang tidak memiliki izin. Sebagai contoh, muncul kabar adanya pertambangan ilegal di beberapa titik di Kabupaten Berau, Provinsi Kalimantan Timur. Ada juga pertambangan emas ilegal di Kabupaten Bulungan, Provinsi Kalimantan Utara. Bertambahnya lokasi aktivitas tambang ilegal juga dicurigai sebagai dampak pencabutan kewenangan Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral (ESD) daerah oleh Kementerian ESDM pusat.
Adanya Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara menjadikan semua perizinan pertambangan melalui satu pintu di Kementerian ESDM. Semua pengaturan terkait pertambangan, mulai dari perizinan hingga pengawasan ditarik ke Kementerian ESDM. Akibatnya, aktivitas pertambangan ilegal kini menjangkau hingga ke permukiman warga setempat. Peran pengawasan yang sebelumnya dilakukan oleh pemerintah daerah dikembalikan ke Kementerian ESDM.
Praktik pertambangan ilegal juga telah terjadi jauh sebelum adanya kewenangan daerah yang ditarik ke pusat. Ada banyak penambang liar yang berdatangan untuk mengeruk sumber daya alam seperti batubara, emas, pasir, dan tambang lainnya. Mereka bahkan rela untuk membuat pondokan-pondokan dengan tenda di lokasi tambang tersebut. Tak ada izin resmi yang dikantongi oleh penambang liar ini.
Kegiatan pertambangan ilegal ini menimbulkan banyak dampak negatif, tidak hanya pada kerusakan lingkungan, tetapi juga pada penerimaan negara. Terdapat potensi pajak yang hilang dari aktivitas pertambangan ilegal ini. Areal pertambangan yang dilakukan eksplorasi, dikelola, lalu dilakukan kegiatan operasi produksi dapat menyumbang penerimaan perpajakan dari jenis pajak salah satunya Pajak Bumi dan Bangunan (PBB). PBB dibagihasilkan kembali ke pemerintah provinsi dan kabupaten untuk pembangunan daerah.
Aturan mengenai Pajak Bumi dan Bangunan telah ada sejak lama yaitu Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1985 tentang Pajak Bumi dan Bangunan yang kemudian diperbarui dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1994. Undang-undang tersebut merupakan landasan hukum dalam pengenaan pajak sehubungan dengan hak atas bumi dan/atau perolehan manfaat atas bumi dan/atau kepemilikan, penguasaan dan/atau perolehan manfaat atas bangunan.
Seiring dengan berjalannya waktu, aturan mengenai PBB dikembangkan dan disempurnakan dengan aturan penunjangnya. Saat ini, objek pajak sektor pertambangan mineral atau batubara meliputi bumi dan/atau bangunan yang berada di kawasan pertambangan mineral atau batubara mengacu pada Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 186/PMK.03/2019 tentang Klasifikasi Objek Pajak dan Tata Cara Penetapan Nilai Jual Objek Pajak Pajak Bumi dan Bangunan.
Bumi yang dimaksud dalam PMK tersebut yaitu bumi yang berada di dalam kawasan pertambangan mineral atau batubara meliputi permukaan bumi onshore, permukaan bumi offshore, dan tubuh bumi. Kawasan pertambangan mineral atau batubara merupakan areal yang tercantum dalam Izin Usaha Pertambangan, Izin Usaha Pertambangan Khusus, Izin Pertambangan Rakyat, Kontrak Karya, atau Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara serta areal yang merupakan satu kesatuan yang digunakan untuk kegiatan usaha pertambangan mineral atau batubara dan secara fisik tidak terpisahkan.
Sedangkan untuk bangunan merupakan konstruksi teknik yang ditanamkan atau dilekatkan secara tetap pada bumi yang berada di dalam kawasan pertambangan mineral atau batubara. Pengertian tubuh bumi sendiri meliputi wilayah sebagaimana yang tercantum dalam dokumen Izin Usaha Pertambangan, Izin Usaha Pertambangan Khusus, Izin Pertambangan Rakyat, Kontrak Karya, atau Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara.
Keberadaan tambang ilegal yang secara nyata telah memperoleh manfaat atas bumi dan memiliki bangunan di areal tambang tidak dapat dikategorikan sebagai subjek pajak yang dikenai kewajiban untuk membayar PBB. Hal ini dikarenakan atas areal pertambangan ilegal tersebut tidak mengantongi izin resmi yang dikeluarkan oleh Kementerian ESDM.
Dan parahnya lagi, para penambang ilegal ini melakukan kegiatan penambangan dan mendirikan bangunan-bangunan liar tanpa seizin pemilik lahan. Aktivitas pertambangan ilegal mengambil sumber daya alam seperti batubara, emas, batuan, dan mineral lainnya secara cuma-cuma tanpa memberikan kontribusi kepada negara.
PBB sektor pertambangan mineral dan batubara dikenakan PBB permukaan bumi dan PBB tubuh bumi. PBB terutang untuk objek pajak pertambangan mineral dan batubara dihitung berdasarkan tarif pajak dikalikan dengan Nilai Jual Kena Pajak (NJKP). Tarif pajak sebesar 0,5% dan NJKP ditetapkan sebesar 40% dari Nilai Jual Objek Pajak (NJOP).
NJOP bumi untuk PBB permukaan bumi merupakan penjumlahan NJOP seluruh areal. NJOP banguan untuk objek pajak PBB sektor pertambangan mineral atau batubara ditentukan berdasarkan nilai perolehan baru. Untuk tubuh bumi, perhitungan NJOP tergantung dari status kegiatan tambang yaitu eksplorasi atau operasi produksi. NJOP bumi untuk tubuh bumi eksplorasi ditetapkan dengan Keputusan Direktur Jenderal Pajak. Sedangkan NJOP bumi untuk tubuh bumi operasi produksi ditentukan berdasarkan nilai jual pengganti yang merupakan hasil perkalian pendapatan bersih mineral atau batubara dengan angka kapitalisasi.
Aktivitas pertambangan yang dilakukan secara ilegal menghilangkan potensi PBB baik pengenaan PBB permukaan bumi maupun PBB tubuh bumi. Tidak ada pundi-pundi yang bisa diselamatkan dari aktivitas pertambangan ilegal ini. Petugas pajak akan kesulitan untuk mengenakan pajak PBB dari sisi subjek pajak PBB karena tidak ada orang atau badan yang diberikan izin secara resmi oleh Kementerian ESDM.
Dengan sumber daya alam berupa mineral dan batubara yang melimpah tersebut, sangat disayangkan apabila disalahgunakan oleh oknum-oknum tertentu. Nilai atas usaha pertambangan ilegal ini juga bukan nominal yang kecil. Pada akhirnya keuntungan ekonomi atas aktivitas pertambangan ilegal ini hanya dinikmati oleh segelintir orang yang tidak bertanggung jawab.
*) Tulisan ini merupakan pendapat pribadi penulis dan bukan cerminan sikap instansi tempat penulis bekerja.
- 201 views