Oleh: Tri Juniati Andayani, pegawai Direktorat Jenderal Pajak

 

Tahukah anda kalau setiap orang bisa berkontribusi dalam penerimaan pajak? Bagaimana caranya? Cukup sederhana, dengan membeli produk usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM), kita bisa saja sedang berkontribusi 0,5% dari harga produk UMKM. Kok bisa?

Nah, saya sedang berandai-andai untuk negeri ini. Seandainya pandemi Covid-19 telah berlalu, insentif pajak untuk UMKM sudah tidak ada lagi. Setiap kali saya makan semangkuk mi ayam, terlintas dalam benak saya tentang pajak 0,5% sesuai dengan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2018 tentang Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari Usaha yang Diterima atau Diperoleh Wajib Pajak yang Memiliki Peredaran Bruto Tertentu (PP 23 Tahun 2018).

Tarif pajak dalam aturan ini adalah 0,5% dari peredaran bruto. Namun, tidak semua wajib pajak (WP) dapat memanfaatkan tarif ini. WP yang berhak menggunakan tarif setengah persen dari peredaran bruto adalah golongan usaha mikro, kecil, dan menengah. Tarif pajak setengah persen ini merupakan tarif pajak penghasilan (PPh) yang bersifat final.

Siapa yang membayar? Setiap pelaku usaha yang memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) yang peredaran usahanya selama satu tahun kurang dari Rp4,8 miliar. Nah, kalau kita membeli produk UMKM dan penjualnya memiliki NPWP, otomatis penghasilan bruto mereka bertambah kan? Kemudian jika mereka membayar pajak, secara tidak langsung kita ikut membantu negara mengumpulkan penerimaan pajak.

Pemerintah menetapkan definisi dan kriteria UMKM melalui Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2008 tentang Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah. Usaha mikro adalah usaha produktif milik orang perorangan dan/atau badan usaha perorangan. Kriteria usaha ini yaitu memiliki kekayaan bersih paling banyak Rp50 juta, tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha, dan hasil penjualan tahunan paling banyak Rp300 juta.

Usaha kecil adalah usaha ekonomi produktif yang berdiri sendiri, yang dilakukan oleh orang perorangan atau badan usaha yang bukan merupakan anak perusahaan atau bukan cabang perusahaan yang dimiliki, dikuasai, atau menjadi bagian langsung maupun tidak langsung dari usaha menengah atau usaha besar. Kriteria usaha ini yaitu memiliki kekayaan bersih lebih Rp50 juta sampai Rp500 juta, tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha, serta memiliki hasil penjualan tahunan lebih dari Rp300 juta sampai Rp2,5 miliar.

Usaha menengah adalah usaha ekonomi produktif yang berdiri sendiri, yang dilakukan oleh orang perorangan atau badan usaha yang bukan merupakan anak perusahaan atau cabang perusahaan yang dimiliki, dikuasai, atau menjadi bagian baik langsung maupun tidak langsung dengan usaha kecil atau usaha besar. Kriteria usaha ini yaitu memiliki kekayaan bersih lebih Rp500 juta sampai Rp10 miliar tidak, termasuk tanah dan bangunan tempat usaha, serta memiliki hasil penjualan tahunan lebih dari Rp2,5 miliar sampai Rp50 miliar.

Jadi teringat tentang gembar-gembor untuk mendukung dan berbelanja di pelaku UMKM. Hal ini menjadi pertanda betapa pentingnya peran UMKM di negeri ini. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), sektor UMKM memiliki kontribusi yang sangat besar terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia, yaitu mencapai 60%.

Nilai PDB yang besar menunjukkan bahwa sumber daya ekonomi juga besar, begitu juga sebaliknya. Berdasarkan data BPS, jumlah pelaku UMKM di Indonesia sebanyak 64,2 juta atau 99,99% dari total pelaku usaha di Indonesia. Dapat dibayangkan jika 64,2 juta UMKM semua memiliki NPWP, mereka akan ikut berkontribusi sebesar 0,5% setiap bulannya untuk penerimaan negara.

Kemudian saya membayangkan seluruh pelaku UMKM atau sebanyak 64,2 juta merupakan pedagang mi ayam. Misalnya sebanyak 64,2 juta pelaku UMKM mampu menjual 200 mangkuk mi ayam setiap bulan, maka mi ayam yang terjual sebanyak 12.840.000.000 mangkuk. Anggaplah harga mi ayam per mangkuk senilai Rp10 ribu. Sehingga total penerimaan penghasilan bruto UMKM mi ayam sebesar Rp128,4 triliun.

Seandainya semua UMKM memiliki NPWP dan menjalankan kewajiban perpajakannya sebesar 0,5%, pajak yang dibayarkan dari pelaku UMKM jika dijumlahkan sebesar Rp642 miliar per bulan. Jika disetahunkan, mereka dapat menyumbang Rp7,7 triliun kepada penerimaan negara.

Berdasarkan data APBN Kita 2021, target penerimaan pajak sebesar Rp1.229,6 triliun. Dari perhitungan saya di atas, pajak UMKM dapat menyumbang sekitar 0,7% dari target penerimaan. Kecil? Tentu tidak. Penerimaan pajak dikatakan 100% jika genap Rp1.229,6 triliun.

Harap diingat kembali bahwa ini hanya pengandaian saya saja. Seandainya kita nglarisi pelaku usaha UMKM dan semua UMKM berkontribusi dalam penerimaan pajak, maka uang pajak akan terkumpul dan negara mampu membiayai kebutuhan negara ini. Pengandaian ini juga jika semua UMKM adalah pelaku usaha yang berjualan mi ayam. Kenyataannya, tidak semua UMKM berjualan mi ayam. Bisa jadi penerimaan pajak akan lebih besar lagi.

Dengan pengandaian saya, siklus akan berjalan, ada penjual, ada pembeli, ada pajak yang dibayarkan, dan ada pajak yang dibelanjakan untuk rakyat. Semua berkontribusi. Perputaran uang berjalan lancar.

Ah seandainya setiap orang paham tentang pajak dan manfaatnya, alangkah indahnya negeri ini. Setiap kebutuhan masyarakat dapat tercukupi dan utang-utang negara terlunasi. Bayangkan saja, dengan makan semangkuk mi ayam kita bisa menyumbang penerimaan pajak untuk negara. Meskipun bukan saya yang membayarkannya.

Tentunya dibarengi dengan orang-orang yang amanah di negeri ini. Tidak hanya rakyat yang berkontribusi, tetapi aparat jangan sampai jadi keparat. Yuk ikut berkontribusi dalam penerimaan pajak karena pajak kita untuk kita.

 

*) Tulisan ini merupakan pendapat pribadi dan bukan cerminan sikap instansi tempat penulis bekerja