Oleh: Muhammad Akbar Bahari, pegawai Direktorat Jenderal Pajak

 

Beberapa waktu lalu, publik dikejutkan dengan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 96/PMK.03/2021 tentang Penetapan Jenis Barang Kena Pajak Selain Kendaraan Bermotor yang Dikenai Pajak Penjualan atas Barang Mewah dan Tata Cara Pengecualian Pengenaan Pajak Penjualan atas Barang Mewah. Keputusan tersebut tentu menimbulkan pro dan kontra di kalangan masyarakat.

Mereka merasa pemerintah berlebihan dalam memberikan insentif kepada masyarakat kalangan atas, mengingat barang seperti kapal pesiar dan yacht hanya dapat dijangkau kalangan atas. Sebelum disibukkan dengan perdebatan panjang tentang pro dan kontra tersebut, mari kita dalami maksud pemerintah menerbitkan aturan tersebut. Karena di balik aturan selalu ada hak dan kewajiban yang harus dipenuhi agar dapat memanfaatkan insentif tersebut.

Dalam kondisi pandemi seperti sekarang ini, banyak sekali usaha khususnya pariwisata mengalami kerugian bahkan kolaps akibat kebijakan pemerintah untuk menanggulangi pandemi melalui pembatasan kegiatan masyarakat yang berimbas pada terbatasnya kunjungan wisatawan. Akibatnya, pendapatan usaha mengalami penurunan sedangkan operasional harus tetap jalan yang berakibat pemutusan hubungan kerja (PHK) untuk mengurangi biaya operasional.

Di sisi lain, pemerintah berkeinginan untuk mengembangkan wisata bahari sebagai alternatif lain selain Bali untuk wisatawan, salah satunya dengan kegiatan Sail Tidore 2021. Kegiatan tersebut telah dilaksanakan pada bulan April yang akan berjalan sampai dengan bulan Juni 2021 dan puncaknya pada tanggal 20-26 September 2021.

Pembebasan PPnBM

Pembebasan pajak penjualan atas barang mewah (PPnBM) kapal yacht atau pesiar tidak dilakukan seluruhnya. Ada beberapa syarat yang harus dipenuhi agar dapat menggunakan insentif tersebut, antara lain:

  • Di Pasal 3 PMK 96/PMK.03/2021, ditetapkan bahwa kapal yacht atau pesiar hanya dibebaskan dari PPnBM apabila dirancang khusus untuk usaha pariwisata. Selain itu, barang tersebut merupakan jenis Barang Kena Pajak (BKP) yang tergolong mewah selain kendaraan bermotor yang dikenai PPnBM ditetapkan dengan tarif 20%, 40%, 50%, atau 75% sesuai Pasal 2 PMK tersebut.
  • Lalu agar dapat menggunakan insentif tersebut, wajib pajak harus memiliki surat keterangan bebas (SKB) PPnBM sebelum melakukan impor atau yang menerima penyerahan BKP yang tergolong mewah. PPnBM atas impor atau penyerahan BKP yang tergolong mewah tersebut tetap dipungut atau dibayar apabila wajib pajak belum memiliki SKB PPnBM atau memiliki SKB PPnBM setelah pengajuan pemberitahuan pabean impor atau menerima penyerahan.

Permohonan SKB

Untuk memperoleh SKB PPnBM, wajib pajak mengajukan permohonan SKB PPnBM kepada Direktur Jenderal Pajak secara elektronik melalui laman pajak.go.id atau laman yang terintegrasi dengan sistem Direktorat Jenderal Pajak.

Permohonan SKB PPnBM harus memuat informasi yang detail seperti Identitas Perusahaan dan Rincian Penyerahan Barang mulai dari nilai penyerahan hingga jumlah PPnBM terutang serta dilengkapi dengan Dokumen Pengukung diantaranya:

  1. Fotokopi dokumen invois, 
  2. Dalam hal melakukan impor BKP yang tergolong mewah, kontrak pembelian atau surat perjanjian jual beli atau dokumen yang dipersamakan yang memuat keterangan nama penjual, nama pembeli, serta jenis dan spesifikasi BKP yang tergolong mewah,
  3. Dalam hal menerima penyerahan BKP yang tergolong mewah, dan
  4. Dokumen yang menunjukkan kegiatan usaha pariwisata berupa nomor izin berusaha dan sertifikat standar yang telah diverifikasi oleh Lembaga Sertifikasi Usaha Bidang Pariwisata atau izin usaha pariwisata sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai perizinan berusaha.

Selain itu, wajib pajak harus tidak memiliki utang pajak, kecuali wajib pajak mendapatkan izin untuk menunda atau mengangsur pembayaran pajak, dan telah menyampaikan Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan dua tahun pajak terakhir dan Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai (PPN) tiga masa pajak terakhir yang telah menjadi kewajibannya, baik bagi pusat maupun cabang, sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan.

Setelah membuat SKB PPnBM dalam pembuatan faktur pajak, wajib pajak akan memperoleh informasi berupa "PPnBM DIKECUALIKAN SESUAI DENGAN PP NOMOR 61 TAHUN 2020" atau informasi yang menunjukkan bahwa atas BKP yang tergolong mewah tersebut telah memperoleh fasilitas dibebaskan atau tidak dipungut PPN sesuai dengan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan, dan nomor dan tanggal SKB PPnBM, dalam hal barang yang tergolong mewah yang diserahkan merupakan BKP.

Di balik pembebasan tersebut, wajib pajak harus memenuhi syarat-syarat yang telah ditetapkan. Hal ini supaya selain menjaga agar penggunaan insentif ini tidak salah sasaran, tetapi juga menjamin keadilan dan kepastian hukum bagi wajib pajak. Mengingat insentif ini tidak bisa digunakan sembarangan dan insentif ini merupakan reward bagi wajib pajak yang telah melaksanakan kewajiban perpajakannya dan adanya konsekuensi hukum apabila ada penyalahgunaan insentif ini.      

Sekali lagi, kebijakan ini tidak akan memuaskan seluruh pihak, tetapi dengan potensi wisata maritim yang besar maka selayaknya hal itu dimanfaatkan untuk menambah pundi-pundi kas negara. Karena seperti kita ketahui, pariwisata merupakan salah satu penyumbang devisa negara. Maka selayaknya masyarakat maupun pemerintah saling mendukung agar dapat meningkatkan taraf kesejahteraan masyarakat yang kemudian berimbas kembali ke penerimaan pajak.

 

*) Tulisan ini merupakan pendapat pribadi penulis dan bukan cerminan sikap instansi tempat penulis bekerja.