Selamat Datang Era Pengukuran Kualitas Kepatuhan Wajib Pajak

Oleh : Putu Panji Bang Kusuma Jayamahe, pegawai Direktorat Jenderal Pajak
Sebagai negara yang merdeka, Pemerintah Indonesia berhak menentukan kebijakan negara di berbagai bidang. Sistem self assessment merupakan kebijakan sistem pemungutan pajak penghasilan yang dipilih oleh Pemerintah Indonesia. Secara harfiah self assessment memiliki arti penilaian/penaksiran oleh diri sendiri/pribadi masing-masing.
Dalam dunia perpajakan, sistem self assessment memiliki pengertian bahwa setiap wajib pajak wajib mendaftar, menghitung, memperhitungkan, menyetorkan serta melaporkan pajaknya tanpa menunggu surat ketetapan pajak dari Direktorat Jenderal Pajak (DJP).
Lawan dari sistem self assessment adalah sistem official assessment, yang memiliki pengertian bahwa setiap wajib pajak hanya perlu menunggu surat ketetapan dari instansi pemungut pajak untuk mendaftar, menghitung, memperhitungkan, menyetorkan serta melaporkan pajaknya.
Sistem Self Assessment
Setiap kebijakan pastinya memiliki kelebihan dan kekurangan sehingga perbaikan terus menerus menjadi sebuah kewajiban yang harus dilakukan. Secara umum kebijakan sistem self assessment lebih menguntungkan pemerintah dari segi kebutuhan jumlah pegawai pajak. Hal tersebut karena kewajiban penghitungan dan pembayaran pajak diserahkan kepada wajib pajak sehingga DJP hanya fokus melakukan fungsi pelayanan, pengawasan, dan penegakan hukum.
Meski kewajiban wajib pajak menjadi lebih banyak, hal ini justru lebih memberikan kepastian hukum terhadap wajib pajak. Wajib pajak diberikan keleluasaan untuk menentukan sendiri jumlah pajak yang harus dibayarkan sesuai dengan prinsip sistem self assessment dan peraturan perpajakan yang berlaku. Sepanjang belum dilakukan pemeriksaan terhadap SPT yang dilaporkan, maka sepanjang itu pula isi dari SPT yang dilaporkan telah dianggap benar.
Susahnya mengukur kepatuhan wajib pajak
Sesuai dengan teori klasik, pada dasarnya sejak dahulu tidak ada satu pun pihak yang secara rela membayar pajak. Ketidakrelaan atau ketidakmauan tersebut dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti tarif yang tinggi, beratnya administrasi hingga permasalahan etika sosial. Masalah mulai muncul ketika wajib pajak tidak melaksanakan kewajibannya dengan benar.
Dengan sistem self assessment kebenaran dari jumlah pajak yang harus dibayarkan dan dilaporkan dalam SPT Tahunan menjadi sulit dipastikan karena kewajiban untuk menghitung jumlah pajak tersebut ada pada wajib pajak. Hal tersebut mengakibatkan DJP saat ini hanya mampu mengukur tingkat kepatuhan formal melalui jumlah pelaporan SPT Tahunan.
Jika berbicara tentang kepatuhan maka hanya data kepatuhan secara kuantitas terhadap SPT Tahunan. Sementara kepatuhan material terkait kebenaran pajak yang seharusnya dibayar serta kualitas SPT Tahunan masih sangat sulit diukur apalagi menjadi sebuah data acuan yang dapat dipergunakan. Padahal pengukuran terkait tingkat kepatuhan wajib pajak menjadi penting bagi DJP.
Tingkat kepatuhan wajib pajak dapat dijadikan acuan untuk mengukur penggalian potensi dan meningkatkan penerimaan negara. Selain itu dengan mengukur tingkat kepatuhan wajib pajak, DJP akan mampu menyusun strategi edukasi dan penyuluhan, pengawasan hingga penegakan hukum yang tepat lebih efektif.
Pengembangan CRM (Compliance Risk Management)
Saat ini DJP telah mengembangkan sistem Compliance Risk Management (CRM).Ssecara sederhana CRM dapat digambarkan sebagai sebuah proses pengelolaan risiko kepatuhan wajib pajak yang dilakukan secara sistematis oleh DJP dengan membuat pilihan perlakuan yang dapat digunakan untuk meningkatkan kepatuhan secara efektif sekaligus mencegah ketidakpatuhan berdasarkan perilaku wajib pajak dan kapasitas sumber daya yang dimiliki.
Adapun CRM ditujukan untuk membantu DJP mencapai tujuan strategis organisasi dengan menjadi alat bantu dalam pengambilan keputusan. Sebagai alat bantu, CRM didesain untuk memperhatikan risiko dasar yang memengaruhi kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan dari setiap wajib pajak. Secara lebih terperinci, risiko dasar yang mempengaruhi kepatuhan tersebut adalah risiko pendaftaran, pelaporan, pembayaran pajak, dan kebenaran pelaporan.
Seluruh risiko yang memengaruhi kepatuhan tersebut kemudian dijadikan dasar untuk menganalisis risiko kepatuhan wajib pajak berdasarkan suatu formula atau ketentuan yang telah disiapkan. Hasil analisis risiko tersebut kemudian diolah dan dipetakan menjadi tiga jenis kepatuhan wajib pajak sesuai dengan fungsi DJP yaitu pelayanan, pengawasan, dan penegakan hukum.
Fungsi pelayanan dipetakan dalam peta kepatuhan CRM fungsi ekstensifikasi adalah peta yang menggambarkan risiko kepatuhan wajib pajak dalam mendaftarkan diri untuk diberikan NPWP. Peta ini disusun berdasarkan pada tingkat kemungkinan ketidakpatuhan dan tingkat kontribusi wajib pajak terhadap penerimaan.
Selanjutnya fungsi pengawasan dipetakan dalam kepatuhan CRM fungsi pemeriksaan dan pengawasan adalah peta yang menggambarkan risiko kepatuhan wajib pajak dalam melakukan pelaporan, pembayaran, dan kebenaran pelaporan. Peta ini disusun berdasarkan pada tingkat kemungkinan ketidakpatuhan dan tingkat kontribusi wajib pajak terhadap penerimaan.
Terakhir dalam penegakan hukum dipetakan dengan kepatuhan CRM fungsi penagihan adalah peta yang menggambarkan risiko kepatuhan wajib pajak dalam melakukan pembayaran piutang pajak. Peta ini disusun berdasarkan tingkat ketertagihan piutang pajak, keberadaan wajib pajak dan/atau penanggung pajak, serta kemampuan membayar.
Dengan demikian, kini DJP tidak hanya memiliki data tingkat kepatuhan yang berdasarkan pelaporan SPT. Melalui proses CRM, DJP dapat memiliki data yang disusun menjadi peta kepatuhan wajib pajak. Tentunya data kepatuhan tersebut disusun berdasarkan wajib pajak yang lebih terdiferensiasi secara sistematis dan terukur berdasarkan skor dan bobot risiko, serta objektif.
Selamat datang era pengukuran kualitas kepatuhan wajib pajak.
*) Tulisan ini merupakan pendapat pribadi penulis dan bukan cerminan sikap instansi tempat penulis bekerja.
- 584 views