Oleh: Ika Hapsari, Pegawai Direktorat Jenderal Pajak

Draf Rancangan Undang-Undang (RUU) Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP) telanjur menjadi konsumsi publik, bahkan sebelum sempat dibahas bersama Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Ihwal wacana pengenaan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) pada sejumlah barang kebutuhan pokok mengudara di forum terbuka. Tak pelak, topik ini menjadi tajuk berita di berbagai media arus utama. Polemik muncul tatkala persepsi akan potongan pasal demi pasal dalam RUU KUP disambung dan dikonklusikan menjadi sebuah argumen yang memicu keresahan khalayak.

Mengesampingkan substansi yang diperdebatkan, momentum ini memang begitu sensitif bagi masyarakat. Ketika masyarakat harus berdamai dengan situasi pandemi yang masih merongrong negeri, muncul persepsi yang dikhawatirkan semakin membebani. Di saat ekonomi belum pulih sepenuhnya, masyarakat beranggapan bahwa mereka harus dipaksa rela membayar harga lebih mahal atas barang kebutuhan pokok dan atau sejumlah jasa. Jasa yang sebelumnya nirpajak, seperti jasa pendidikan dan layanan kesehatan misalnya. Tapi apakah benar demikian adanya?

Pembahasan RUU KUP oleh DPR menjadi agenda dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) tahun 2021. Pertimbangannya adalah faktor kontributif pajak sebagai penyokong utama pendapatan negara dalam APBN. APBN saat ini diharapkan mampu menjadi pendobrak perubahan (game changer) untuk mendukung program-program pemerintah dalam Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) serta pemulihan kesehatan masyarakat. Pasca pandemi, APBN yang sehat dengan defisit yang terjaga di bawah 3% diharapkan mampu mengembalikan geliat ekonomi dan sosial masyarakat.

Lebih daripada itu, jauh sebelum pandemi Covid-19 merebak, Direktorat Jenderal Pajak selaku institusi resmi penghimpun pajak telah mencanangkan program reformasi perpajakan. Salah satu dari lima pilar utamanya adalah pembenahan dan penyempurnaan aturan perundang-undangan dan ketentuan perpajakan. Akibat situasi pandemi yang tidak terprediksi inilah, akselerasi reformasi payung hukum perpajakan menjadi prioritas yang sangat mendesak.

Prinsip Keadilan

PPN merupakan salah satu subjenis pajak yang diajukan untuk dilakukan reformasi melalui RUU KUP. Negara memandang perlu untuk melakukan perombakan atas administrasi dan ketentuan PPN yang selama ini dinilai belum sangkil. Di antara banyak konsep pasal perubahan, publik kadung menaruh perhatian lebih pada transformasi pasal 4A ayat (2) dan (3) Undang-Undang Nomor 8 tahun 1983 sebagaimana telah beberapa kali telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 42 tahun 2009 tentang Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan Barang Mewah (UU PPN). Pasal tersebut mengemukakan tentang kelompok barang dan kelompok jasa yang dikecualikan dari objek PPN. Segenap negative list PPN yang tiada dalam RUU KUP inilah yang kemudian melahirkan asumsi yang berkembang liar.

Disebutkan bahwa di antara jenis barang nonobjek PPN adalah barang kebutuhan pokok yang sangat dibutuhkan oleh rakyat banyak. Pada halaman penjelasan ditulis, antara lain beras, gabah, jagung, sagu, kedelai, garam beryodium maupun tidak, daging segar tanpa diolah, telur tanpa diolah, susu perah, buah-buahan segar, dan sayur-sayuran segar. Pengategorian barang kebutuhan pokok ini tidak diperinci khusus baik segi jenis, mutu, harga, maupun sasaran konsumennya. Akibatnya, seluruh kelas masyarakat yang mengonsumsi jenis barang tersebut sama-sama tidak menanggung PPN.

Fakta ini memang sesuai dengan karakteristik PPN sebagai pajak objektif. Tanpa memandang siapa pun subjeknya, PPN dikenakan atas konsumsi domestik atas Barang Kena Pajak (BKP) dan atau Jasa Kena Pajak (JKP) dengan tarif tunggal 10%. Sama halnya dengan komoditi impor maupun produk lokal, apabila sama-sama dikonsumsi di dalam negeri akan dikenakan beban PPN yang sama. Secara eksplisit, fakta ini merefleksikan kelemahan mekanisme PPN yaitu adanya dampak regresif yang ditimbulkan. Semakin tinggi kemampuan konsumen, semakin ringan PPN yang dipikul, sebaliknya semakin rendah kemampuan konsumen, semakin berat beban PPN yang dipikul. Dari perspektif moral, tentu ini tidak ideal dalam menciptakan keadilan pemungutan pajak. Padahal, dalam skema Pajak Penghasilan (PPh), pemungutannya menggunakan tarif proporsional menyesuaikan besaran penghasilan wajib pajak.

Artinya, ketika menyoal pengecualian objek PPN tanpa klasifikasi tingkatan di atas, seluruh kelas masyarakat merasakan fasilitas PPN yang sama dalam hal mengkonsumsi barang kebutuhan pokok ini. Sebagai contoh, masyarakat kelas atas berpenghasilan tinggi yang mengkonsumsi daging wagyu kobe impor dengan harga Rp1.500.000 per kilo tidak menanggung PPN, sama dengan masyarakat kelas menengah yang hanya mampu membeli daging lokal di pasar tradisional dengan harga Rp100.000 per kilo. Dari sisi jasa misalnya, masyarakat kaya yang mampu membayar jasa pelayanan kesehatan di rumah sakit elite berorientasi profit pun tidak menanggung PPN, sama dengan masyarakat yang memperoleh fasilitas kesehatan gratis dari pemerintah. Dengan kata lain jika ditilik dari perspektif keadilan, terdapat ketidaktepatan sasaran dalam mekanisme pemungutan PPN maupun pemberian fasilitas PPN yang dinikmati seluruh lapisan masyarakat. Ditambah lagi hadirnya fasilitas-fasilitas PPN lainnya seperti PPN dibebaskan ataupun PPN tidak dipungut. Sebagai pajak tidak langsung, PPN melahirkan biaya administrasi (administration cost) tinggi yang harus ditanggung baik oleh subjek pajak maupun otoritas pajak.

Reformasi PPN

PPN menjadi kontributor kedua terbesar penerimaan pajak secara total dalam APBN. Tercatat sebelum pandemi pada tahun 2019, PPN menyumbang realisasi sebesar Rp531,6 triliun atau 39,8% dari total realisasi penerimaan pajak, sedangkan saat pandemi tahun 2020 sebesar Rp448,4 triliun atau 41% dari total realisasi penerimaan pajak. Oleh karenanya, reformasi mutlak diperlukan agar PPN dapat terus beradaptasi dalam dinamika ekonomi dan fiskal yang terus berevolusi.

Untuk mereduksi kesenjangan regresif sebagaimana dijelaskan sebelumnya, pemerintah memformulasikan konsep pemungutan PPN yang lebih mangkus. Tujuannya adalah meningkatkan kemampuan negara memungut PPN dari konsumsi dalam negerinya. Menurut data, Indonesia hanya mampu memungut 60% PPN dari total potensi yang ada, di saat negara-negara tetangga seperti Singapura, Thailand, dan Vietnam telah mencapai 80%. Minus sebesar 40% yang belum dapat dipungut maksimal ini di antaranya disebabkan oleh masih rendahnya kepatuhan masyarakat atau banyaknya kemudahan dan fasilitas pengecualian PPN yang diberikan. Melalui perluasan basis pemajakan yang memfokuskan PPN tepat guna, maka penerimaan PPN pun akan lebih optimal.

Data berbicara, semangat keadilan pemungutan melalui perluasan basis pemajakan ini terbukti berhasil direalisasikan dalam PPN Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PSME). Hingga akhir 2020 sektor ini berhasil membukukan penerimaan PPN mencapai lebih dari Rp560 miliar dan hingga April 2021 mencapai lebih dari Rp1,1 triliun.

Penerapan multitarif juga dimungkinkan untuk mewujudkan skema keadilan pemungutan. Konsep ini mempertimbangkan penyesuaian kemampuan bayar masyarakat (ability to pay). Misalnya penerapan rentang tarif tinggi untuk konsumsi barang dan atau jasa oleh golongan menengah atas ataupun sebaliknya.

Kesamarataan pengenaan PPN tentu berlandaskan keberpihakan kepada masyarakat luas dengan mengadopsi asas gotong royong. Penulis meyakini, tidak ada intensi pemerintah untuk merumuskan kebijakan yang justru membebani rakyat. Instrumen APBN telah bekerja sedemikian rupa untuk mendukung masyarakat agar mampu bertahan dan lulus dalam ujian pandemi.

Pemerintah justru menaruh perhatian lebih kepada dunia usaha dan masyarakat menengah ke bawah melalui kebijakan fiskal dan moneter yang telah ditetapkan. Belanja negara diprioritaskan untuk PEN dan kesehatan masyarakat. Sebagai gambaran, aneka stimulus dan keringanan perpajakan diberikan untuk mempertahankan arus kas wajib pajak dan menambah modal usaha. Jaring pengaman sosial dibentangkan untuk mendukung masyarakat kelas bawah melalui bantuan sosial, subsidi, insentif, dan pembiayaan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM). Para siswa dapat bersekolah secara daring dengan bantuan kuota gratis. Masyarakat yang sakit pun memperoleh pengobatan Covid-19 tanpa dipungut biaya sepeser pun, termasuk juga vaksin yang akan diterima sebanyak dua kali suntikan.

Pada hakikatnya, PPN yang masyarakat bayarkan dengan atau tanpa disadari tersebut, telah memberikan sumbangsih berarti dalam rangka mengisi kas APBN. Meski tidak memberikan kontraprestasi langsung, manfaatnya akan kembali dirasakan dalam bentuk fasilitas publik yang baik, inklusif, dan merata.

Terlepas dari itu, apakah wacana kebijakan PPN ini nantinya akan disetujui sepenuhnya, berapa tarif finalnya, dan kapan akan diimplementasikan, tentu masih harus menunggu hasil pembahasan pemerintah bersama para anggota dewan yang mewakili suara rakyat. Tentu dengan mempertimbangkan masukan publik. Oleh karena itu mari kita tunggu pengesahannya dengan bijak serta bestari dalam menyikapi dinamika yang ada.

*) Artikel ini merupakan pendapat pribadi penulis dan bukan cerminan sikap instansi tempat penulis bekerja