Pengusaha Ternak, Kehutanan, dan Perkebunan Harus Tahu Ini

Oleh: R Ganung Harnawa, pegawai Direktorat Jenderal Pajak
Sebagian besar orang menginginkankan menjadi seorang pebisnis besar dan sukses. Namun, hanya sebagian kecil yang benar-benar dapat meraih keinginan tersebut. Alasannya sederhana, merintis dan mengelola usaha tidak semudah yang dibayangkan. Banyak orang mengatakan, kalau mau memulai sebuah usaha, langsung jalani saja, tidak perlu terlalu banyak pertimbangan. Pemikiran seperti ini memang ada benarnya, tetapi perlu juga dipahami bahwa, sangatlah penting untuk mengetahui seluk-beluk sebuah usaha sebelum kita memulainya agar usaha yang kita jalankan dapat terus berlangsung bahkan berkembang. Salah satu hal penting yang perlu kita ketahui adalah pembuatan laporan keuangan untuk keperluan pajak.
Laporan keuangan adalah catatan informasi keuangan suatu perusahaan pada suatu periode akuntansi yang dapat digunakan untuk menggambarkan kinerja dari usaha tersebut. Laporan keuangan biasanya meliputi neraca dan laporan laba rugi. Setiap detail laporan keuangan akan sangat dibutuhkan untuk evaluasi usaha. Sehingga pembuatan laporan keuangan yang benar tidak dapat diabaikan. Laporan keuangan juga menjadi acuan bagaimana kinerja perusahaan dalam satu periode. Dengan adanya laporan keuangan bisa diketahui berapa banyak laba dan rugi yang didapat perusahaan dalam satu periode. Oleh karena itu, laporan keuangan merupakan hal penting yang perlu dikerjakan dengan akurat. Laporan keuangan nantinya juga akan digunakan sebagai dasar dalam penghitungan pajak.
Salah satu akun yang biasanya tampak dalam sebuah neraca adalah akumulasi penyusutan. Sedangkan dalam laporan laba rugi, beban penyusutan merupakan akun yang dimunculkan sebagai pengurang penghasilan.
Agar tidak terjadi koreksi pada saat dilakukan penelitian ataupun pemeriksaan oleh petugas pajak, wajib pajak harus menghitung beban penyusutanya dengan benar dan sesuai dengan ketentuan perpajakan. Secara umum ketentuan perpajakan yang mengatur cara penghitungan penyusutan adalah Pasal 11 ayat (6) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 dan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 96/PMK.03/2009 tentang Jenis-Jenis Harta yang Termasuk dalam Kelompok Harta Berwujud bukan Bangunan untuk Keperluan Penyusutan.
Sudah menjadi hal yang lazim bahwa atas aset-aset yang memiliki masa manfaat lebih dari satu tahun akan dicatat sebagai pengurang penghasilan dengan cara menyusutkannya. Sebuah perusahaan akan menghitung penyusutan atas aset-aset yang dimilikinya, seperti: gedung, kendaraan, mebel, mesin, dan lain-lain. Namun, bagaimana halnya apabila usaha dari perusahaan tersebut adalah peternakan, kehutanan, atau pekebunan. Atas usaha-usaha tersebut mungkin saja salah satu aset yang mereka miliki adalah binatang ternak, tanaman, atau pohon. Apakah atas aset seperti ini juga dapat disusutkan, dan bagaimana cara penghitungannya?
Penyusutan Bidang Usaha Tertentu
Dalam Pasal 1 Peraturan Menteri Keuangan Nomor 126/PMK.011/2012 disebutkan bahwa wajib pajak yang bergerak dalam bidang usaha tertentu dapat melakukan penyusutan atas pengeluaran untuk memperoleh harta berwujud dalam bagian-bagian yang sama besar selama masa manfaat yang telah ditentukan bagi harta tersebut. Yang dimaksud dengan bidang usaha tertentu dalam Peraturan Menteri Keuangan ini adalah:
- Bidang usaha kehutanan, yaitu bidang usaha hutan, kawasan hutan, dan hasil hutan yang tanamannya dapat berproduksi berkali-kali dan baru menghasilkan setelah ditanam lebih dari satu tahun.
- Bidang usaha perkebunan tanaman keras, yaitu bidang usaha perkebunan yang tanamannya dapat berproduksi berkali-kali dan baru menghasilkan setelah ditanam lebih dari satu tahun.
- Bidang usaha peternakan, yaitu bidang usaha peternakan yang ternaknya dapat berproduksi berkali-kali dan baru menghasilkan setelah dipelihara lebih dari satu tahun
Harta berwujud tersebut berupa aktiva tetap yang dimiliki dan digunakan serta merupakan komoditas pokok dalam bidang usaha tertentu, yaitu tanaman hutan untuk bidang usaha kehutanan, tanaman keras, termasuk tanaman rempah dan penyegar untuk bidang usaha perkebunan dan binatang ternak, termasuk ternak pejantan untuk bidang usaha peternakan. Penyusutan atas pengeluaran untuk memperoleh harta berwujud tersebut dimulai pada bulan produksi komersial yaitu bulan di saat penjualan mulai dilakukan.
Adapun pengelompokan atas harta tersebut adalah bidang usaha kehutanan dan perkebunan tanaman keras, dikelompokkan dalam Kelompok 4, sedangkan untuk bidang usaha peternakan, dikelompokkan dalam Kelompok 2, kecuali apabila wajib pajak dapat memperoleh penetapan masa manfaat atas harta berwujud sesuai dengan masa manfaat yang sesungguhnya. Untuk memperoleh penetapan masa manfaat tersebut, wajib pajak harus mengajukan permohonan kepada Direktur Jenderal Pajak melalui Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak, dengan menunjukkan masa manfaat yang sesungguhnya dari harta berwujud yang dimaksud.
Sebagai contoh, wajib pajak mempunyai usaha ayam petelur. Seperti kita ketahui bahwa ayam petelur dapat berproduksi berkali-kali dan baru menghasilkan setelah dipelihara lebih dari satu tahun, maka wajib pajak tersebut dapat menyusutkan ayamnya dengan memasukkan ayam tersebut dalam Kelompok 2.
Sesuai dengan dengan Pasal 11 ayat (6) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008, Kelompok 2 memiliki masa manfaat delapan tahun. Namun, misalkan masa manfaat sesungguhnya dari ayam petelur adalah dua tahun, maka wajib pajak tersebut dapat mengajukan permohonan penetapan masa manfaat atas harta berwujud sesuai dengan masa manfaat yang sesungguhnya kepada Direktur Jenderal Pajak melalui Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak tempat wajib pajak terdaftar.
Apabila ternyata permohonan Wajib Pajak ditolak oleh Direktorat Jenderal Pajak, maka wajib pajak tersebut harus menghitung penyusutannya berdasarkan masa manfaat sebagaimana diatur dalam UU PPh.
Dengan mengetahui dan memahami ketentuan ini semoga wajib pajak dapat memanfaatkannya, sehingga dapat meningkatkan likuiditas perusahaan dan mengembangkan usahanya, serta laporan keuangan yang dibuat dapat lebih menggambarkan keadaan yang sesungguhnya.
*) Artikel ini merupakan pendapat pribadi penulis dan bukan cerminan sikap instansi tempat penulis bekerja.
- 370 views