Oleh: Kennedi Gurning, pegawai Direktorat Jenderal pajak


Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2018 atau kerap kita dengar dengan istilah PP-23 cukup menarik perhatian para pelaku usaha pada saat penerbitannya yakni di tengah tahun 2018, terutama para pelaku UMKM (Usaha Mikro Kecil Menengah) di tanah air.

Topik yang lebih banyak diperbincangkan kala itu tentunya adalah penurunan tarif Pajak Penghasilan (PPh) Final atas penghasilan dari usaha yang diterima atau diperoleh wajib pajak yang memiliki peredaran bruto tidak melebihi Rp4.800.000.000,00 dalam satu tahun pajak. Tarifnya turun menjadi 0,5% dari yang sebelumnya 1% berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2013. 

Penerapan PP-23 ini tentu saja sudah dinikmati oleh banyak wajib pajak yang memang jumlahnya sangat banyak baik Wajib Pajak Badan maupun Orang Pribadi selama tiga tahun pajak terakhir yakni tahun pajak 2018, 2019 dan 2020.

Selain tarifnya yang relatif kecil, hal lain yang sangat membantu dengan adanya PP-23 ini adalah kesederhanaan penghitungan, pembayaran, dan pelaporannya tanpa harus menyelenggarakan pembukuan. Cukup dengan menghitung omzet per bulan kemudian mengalikannya dengan tarif PPh Final yang 0,5%, maka sebesar itulah pajak yang harus dibayar.

Tahun pajak 2020 telah usai, dan bulan Maret dan April 2021 ini adalah momen-momen pelaporan atas kegiatan usaha di tahun pajak 2020 yang mungkin sebagian besar dari usaha UMKM menggunakan mekanisme PPh Final berdasarkan PP-23.

Namun, ternyata ada hal yang mungkin tidak banyak orang menyadarinya bahwa umur PP-23 ini ada batasnya bahkan bisa dibilang umurnya relatif pendek terutama untuk Wajib Pajak Badan berbentuk Perseroan Terbatas (PT). Berdasarkan Pasal 5 PP-23 tersebut bahwa jangka waktu tertentu pengenaan PPh yang bersifat final atas penghasilan dari usaha yang diterima atau diperoleh wajib pajak dalam negeri yang memiliki peredaran bruto tertentu yaitu paling lama :

(a) 7 tahun pajak bagi Wajib Pajak Orang Pribadi;

(b) 4 tahun pajak bagi Wajib Pajak Badan berbentuk koperasi, persekutuan komanditer, atau firma; dan

(c) 3 tahun bagi Wajib Pajak Badan berbentuk perseroan terbatas.

Jangka waktunya terhitung sejak tahun pajak 2018 (untuk wajib pajak yang sudah terdaftar sampai dengan tahun 2018) atau tahun pajak terdaftar (untuk wajib pajak yang terdaftar tahun 2019 dan setelahnya). Dengan demikian untuk Wajib Pajak Badan berbentuk PT yang terdaftar tahun 2018 atau sebelumnya, maka pengenaan PPh final PP-23 paling lama adalah sampai dengan tahun pajak 2020.

 

Selanjutnya bagaimana?

Oleh karena PP-23 adalah aturan khusus (lex spesialis) dan jika jangka waktu tertentunya telah habis, maka kembali ke aturan umum dengan penghitungan PPh berdasarkan tarif umum Pasal 17 Undang-Undang PPh atas Penghasilan Kena Pajak.

Berdasarkan Pasal 16 Undang-Undang PPh, Penghasilan Kena Pajak sebagai dasar penerapan tarif bagi wajib pajak dalam negeri dalam suatu tahun pajak dihitung dengan cara mengurangkan dari penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) dengan pengurangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 7 ayat (1), serta Pasal 9 ayat (1) huruf c, huruf d, huruf e, dan huruf g.

Singkatnya bahwa untuk wajib pajak yang melakukan usaha, untuk mengetahui jumlah Penghasilan Kena Pajak maka maka harus menyelenggarakan pembukuan. Waktu tiga tahun dipandang cukup untuk sebuah PT dalam mempersiapkan diri melaksanakan pembukuan. Jadi untuk badan usaha yang berbentuk PT yang sudah terdaftar di tahun 2018 atau tahun sebelumnya, maka untuk tahun pajak 2021 ini wajib menyelenggarakan pembukuan dan menghitung PPh-nya dengan mekanisme umum yakni menggunakan tarif Pasal 17 Undang-Undang PPh.

Sebagai informasi bahwa berdasarkan Undang-Undang Cipta Kerja, tarif yang digunakan untuk Wajib Pajak Badan adalah 22% untuk tahun pajak 2020 dan 2021, dan menjadi 20% mulai tahun pajak 2022. Tentu saja untuk wajib pajak yang memenuhi syarat, masih terdapat tarif khusus berdasarkan Pasal 31E Undang-Undang PPh.

Terkait angsuran tahun pajak berjalan (PPh Pasal 25) bagi wajib pajak UMKM yang berganti skema diatur dalam Pasal 9 ayat (2) Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 99/PMK.03/2018 yang berlaku sejak 27 Agustus 2018. Di dalam aturan tersebut terdapat dua kategori wajib pajak PT yaitu:

(a) Untuk wajib pajak Bank, BUMN, BUMD, Perusahaan Masuk Bursa, dan wajib pajak lainnya yang berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan harus membuat laporan keuangan berkala serta Wajib Pajak Orang Pribadi Pengusaha tertentu (Pasal 25 ayat (7) huruf b dan c  maka penghitungan besarnya angsuran pajak adalah diatur dalam PMK Nomor 215/PMK.03/2018 yang berlaku sejak 31 Desember 2018, dan

(b) Untuk wajib pajak lainnya (selain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat (7) huruf b dan c) maka penghitungan besarnya angsuran pajak diberlakukan seperti wajib pajak baru. Berdasarkan Pasal 10 PMK Nomor 215/PMK.03/2018 bahwa angsuran PPh Pasal 25 untuk wajib pajak baru (selain wajib pajak baru dalam rangka penggabungan, peleburan, pengambilalihan usaha, dan/atau pemekaran usaha) pada tahun pajak berjalan adalah NIHIL.

Semoga wajib pajak yang dalam tiga tahun pajak terakhir telah menggunakan mekanisme PPh Final berdasarkan PP-23 terutama Wajib Pajak Badan, terkhusus lagi yang WP Badan berbentuk Perseroan Terbatas sudah siap meninggalkan PP-23 tersebut dan mempersiapkan diri dengan baik melakukan pembukuan dan siap mengisi SPT dengan benar, lengkap, dan jelas.

 

*) Tulisan ini merupakan pendapat pribadi penulis dan bukan cerminan sikap instansi penulis bekerja