Oleh: Kadek Meytha Dewantari, pegawai Direktorat Jenderal Pajak

Omnibus Law ialah konsep penggabungan beberapa peraturan perundang-undangan menjadi satu bentuk undang-undang yang baru secara resmi yang bertujuan untuk menyederhanakan peraturan dan mengatasi adanya regulasi yang tumpang tindih yang dapat menghambat pelaksanaan suatu kebijakan. Beberapa aturan dalam Omnibus Law Perpajakan sudah diatur dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2020 terkait penanganan sistem keuangan dampak Covid-19. Aturan lain selain yang diatur dalam UU tersebut dimasukkan ke dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja yang memuat perpajakan sebagai salah satu klaster. 

Tujuan dari klaster kemudahan berusaha di bidang perpajakan yaitu untuk menciptakan iklim usaha yang kondusif, meningkatkan pertumbuhan ekonomi, meningkatkan kepastian hukum dan minat warga negara asing dengan klasifikasi khusus untuk bekerja di Indonesia dan mendorong kepatuhan sukarela wajib pajak. Dalam UU Ciptaker ini terdapat beberapa perubahan pada UU Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP), UU Pajak Pertambahan Nilai (PPN), dan UU Pajak Penghasilan (PPh).

Perubahan pada UU KUP

Pada UU KUP terdapat tiga pokok perubahan antara lain yaitu pengurangan sanksi bunga, pengurangan imbalan bunga, dan penghapusan beberapa ketentuan yang menimbulkan makna ganda pada UU KUP sebelumnya. Pengurangan sanksi bunga yang terdapat pada Pasal 8,9,13,14, dan 19 UU KUP diubah menjadi sebesar pajak kurang bayar dikali dengan tarif bunga per bulan dikali jumlah bulan. Tarif bunga per bulan ini mengacu pada suku bunga acuan yang telah ditentukan oleh Menteri Keuangan yang dihitung pada tanggal dimulainya penghitungan sanksi dibagi 12 lalu ditambah oleh uplift factor berdasarkan tingkat kesalahan yang dilakukan oleh wajib pajak. Besaran uplift factor pada pengenaan sanksi administratif yang dimaksud yaitu :

  1. Pasal 19 ayat 1 terkait bunga penagihan, pasal 19 ayat 2 terkait angsuran atau penundaan pembayaran pajak, dan pasal 19 ayat 3 terkait kurang bayar penundaan penyampaian SPT Tahunan uplift factor sebesar 0%;
  2. Pasal 8 ayat 2 dan 2a terkait kurang bayar Pembetulan SPT, pasal 9 ayat 2a dan 2b terkait pembayaran/penyetoran pajak yang dilakukan setelah tanggal jatuh tempo, dan pasal 14 ayat 3 terkait pajak tidak/kurang dibayar akibat salah tulis/hitung atau PPh tahun berjalan uplift factor sebesar 5%;
  3. Pasal 8 ayat 5 terkait pajak yang kurang dibayar yang timbul sebagai akibat dari pengungkapan ketidakbenaran pengisian SPT uplift factor sebesar 10%; dan
  4. Pasal 13 ayat 2 terkait Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB) dan pasal 13 ayat 2a terkait pengembalian Pajak Masukan (PM) dari PKP yang tidak berproduksi uplift factor sebesar 15%.

Pada pengurangan imbalan bunga juga terjadi perubahan yang pada UU KUP sebelumnya sebesar 2% per bulan diubah menjadi sebesar pajak lebih bayar dikali tarif bunga per bulan dikali dengan jumlah bulan. Tarif bunga per bulan ini juga mengacu pada suku bunga acuan yang telah ditentukan oleh Menteri Keuangan, berlaku pada tanggal dimulainya penghitungan sanksi dibagi 12. Terdapat penghapusan pada ketentuan mengenai pidana pajak yang telah diputus tetap dapat diterbitkan ketetapan pajak dan ketentuan mengenai kealpaan pertama kali wajib pajak dalam pelaksanaan pemeriksaan bukti permulaan yang sulit dibuktikan.

Perubahan pada UU PPN

Pada UU PPN terdapat beberapa perubahan yaitu mengenai penyerahan secara konsinyasi, penyerahan hasil pertambangan batu bara, pengkreditan Pajak Masukan, dan faktur pajak. Perubahan ini dipecah menjadi tiga klaster yakni klaster meningkatkan pendanaan investasi, klaster mendorong kepatuhan wajib pajak dan wajib bayar secara sukarela, dan klaster menciptakan keadilan iklim berusaha di dalam negeri.

Pada klaster meningkatkan pendanaan investasi perubahan yang terjadi yaitu ketentuan pengalihan Barang Kena Pajak (BKP) untuk tujuan setoran modal pengganti saham (inbreng) yang semula merupakan penyerahan BKP tetapi dalam UU Ciptaker ini bukan lagi termasuk dalam penyerahan BKP.

Pada klaster mendorong kepatuhan wajib pajak dan wajib bayar secara sukarela terdapat beberapa perubahan yaitu :

  1. Semua PM atas perolehan BKP dan/atau JKP sebelum berproduksi dapat dikreditkan sepanjang faktur pajak memenuhi ketentuan formal dan material.
  2. PM atas perolehan BKP dan/atau JKP, impor BKP dan pemanfaatan BKP tidak berwujud dan/atau pemanfaatan JKP dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean sebelum dikukuhkan sebagai PKP dapat dikreditkan menggunakan pedoman pengkreditan PM sebesar 80% dari Pajak Keluaran (PK) yang seharusnya dipungut.
  3. PM atas perolehan BKP dan/atau JKP, impor BKP, serta pemanfaatan BKP Tidak Berwujud dan/atau pemanfaatan JKP dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean yang tidak dilaporkan pada SPT Masa PPN yang diberitahukan dan/atau ditemukan pada waktu dilakukan pemeriksaan dapat dikreditkan oleh PKP sepanjang sesuai ketentuan.
  4. PM atas perolehan BKP dan/atau JKP, impor BKP, serta pemanfaatan BKP Tidak Berwujud dan/atau pemanfaatan JKP dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean yang ditagih dengan penerbitan ketetapan pajak dapat dikreditkan oleh PKP sebesar jumlah pokok PPN dengan ketentuan telah dilakukan pelunasan dan tidak dilakukan upaya hukum serta memenuhi ketentuan pengkreditan.

Pada klaster meningkatkan kepastian hukum perubahannya yaitu pada UU PPN sebelumnya konsinyasi yang diatur merupakan penyerahan BKP tetapi dalam UU Cipta Kerja diubah menjadi bukan penyerahan BKP. Sebaliknya, penyerahan batu bara yang sebelumnya merupakan bukan penyerahan BKP diubah menjadi penyerahan BKP.

Pada klaster menciptakan keadilan iklim berusaha di dalam negeri perubahannya ada pada pencatuman Nomor Induk Kependudukan (NIK) pembeli yang tidak mempunyai NPWP dalam faktur pajak.

Perubahan pada UU PPh

Pada UU PPh terdapat beberapa perubahan yakni mengenai objek pajak, subjek pajak, dan subjek pajak luar negeri. Perubahan dengan menambahkan status kewarganegaraan bagi subjek pajak dalam negeri baik WNI ataupun WNA dan memperjelas ketentuan status subjek pajak WNI yang berada di luar Indonesia lebih dari 183 hari selama 12 bulan bagi subjek pajak luar negeri. Hal ini bertujuan untuk meningkatkan kepastian hukum yang dimiliki oleh setiap subjek pajak. WNA yang menjadi subjek pajak dalam negeri dengan keahlian tertentu dikenakan PPh hanya atas penghasilan yang bersumber dari Indonesia. Dalam hal meningkatkan pendanaan investasi terdapat beberapa perubahan yaitu:

  1. PPh atas dividen dari dalam negeri dihapuskan;
  2. Dividen dan penghasilan setelah pajak dari luar negeri tidak dikenakan PPh jika diinvestasikan atau digunakan untuk kegiatan usaha di Indonesia;
  3. Penghasilan dari luar negeri selain BUT tidak dikenakan PPh bila diinvestasikan di Indonesia;
  4. Bagian laba/SHU koperasi dan dana haji yang dikelola oleh Badan Pengelola Keuangan Haji (BPKH) merupakan non-objek PPh;
  5. Ruang penyesuaian tarif PPh Pasal 26 atas bunga dengan Peraturan Pemerintah.

Pemerintah selalu berupaya untuk mengembangkan dan menyempurnakan regulasi yang ada salah satunya dengan mengesahkan UU Cipta Kerja ini. Dalam proses pengesahan RUU Cipta Kerja menjadi UU Cipta Kerja memang banyak pro dan kontra yang terjadi namun dalam pembuatannya pasti melibatkan banyak pihak untuk mempertimbangkan setiap ketentuan yang ditinjau dari segala aspek. Perlunya sinergi yang kuat antara pemerintah dan juga masyarakat agar dapat mengimplementasikan UU ini dengan baik sehingga dapat mewujudkan Indonesia maju.

*)Tulisan ini merupakan pendapat pribadi penulis dan bukan cerminan sikap instansi tempat penulis bekerja.