Oleh: Muhammad Rakha Ishlah Adimad, pegawai Direktorat Jenderal Pajak

Mungkin kebanyakan kita, masyarakat republik ini, yang belum terjamah oleh pengetahuan serta istilah perpajakan sehingga kerap terjadi misinterpretasi terkait beberapa campaign yang dilakukan. Sebut saja beberapa waktu lalu ketika ada sebuah unggahan tidak resmi yang menyebutkan akan ada kewajiban bagi mahasiswa untuk memiliki NPWP. Terlepas dari kontroversialnya isu tersebut, yang menarik untuk dicermati adalah komentar-komentar yang dilontarkan netizen. Unggahan tersebut tak pelak menjadi sasaran empuk untuk diserang, seolah berbagai “klausul” yang disampaikan para netizen melalui kolom komentar merupakan interpretasi yang tepat dan telah mempertimbangkan fakta yang ada.

Satu benang merah yang dapat ditarik adalah kekhawatiran netizen ketika adanya kewajiban untuk ber-NPWP maka seolah-olah secara otomatis ada pajak yang harus mereka bayarkan. Harus diakui, terminologi “pelaporan pajak” dan “pembayaran pajak” masih belum se-populer istilah NPWP yang sudah familiar di telinga masyarakat dan menjadi general truth tanpa perlu dijelaskan lebih lanjut. Beberapa fallacy atau kekeliruan pemahaman ini yang coba dibahas kali ini agar kita senantiasa tahu dan sadar akan kewajiban kita sebagai warga negara yang baik.

Pertama,  kekeliruan pemahaman yang sering terjadi di masyarakat adalah pajak dikenakan secara langsung ketika mereka terdaftar sebagai wajib pajak (yang ditandai dengan kepemilikan NPWP). Perlu kita ketahui bersama bahwa NPWP adalah tanda administratif bahwa seseorang telah terdaftar sebagai wajib pajak. Setelah terdaftar, maka timbul kewajiban untuk melaporkan penghasilan selama satu tahun karena pajak akan dikenakan jika ada penghasilan sebagai objeknya.

Dengan demikian, jika dalam tahun tersebut tidak ada penghasilan yang diperoleh maka otomatis tidak ada pajak yang dikenakan. Kewajiban melaporkan penghasilan inilah yang sering disalahartikan menjadi keharusan untuk membayar pajak. Padahal sebelum dikenakan pajak, pertanyaan terbesar yang perlu kita tanyakan adalah apakah ada penghasilannya? Tentu jika kita mempertanyakan hal ini terlebih dahulu maka kekeliruan pemahaman yang disebutkan sebelumnya tidak akan terjadi, karena cukup jelas bahwa jika tidak ada penghasilan, maka tidak ada pajak yang dikenakan. Namun perlu dipahami bahwa bukan berarti ketiadaan penghasilan meniadakan pula kewajiban pelaporannya. Dengan sistem self-assessment yang berawal dari wajib pajak, maka dibutuhkan juga kerja sama wajib pajak untuk memberitahukan bahwa mereka tidak berpenghasilan atau dengan kata lain penghasilan Rp0,-.

Kedua, kekeliruan pemahaman yang kerap terjadi adalah jika sudah memiliki penghasilan, maka otomatis ada pajak yang dikenakan. Hal ini perlu untuk diluruskan karena dalam perhitungan pajak umum–yang kurang populer di masyarakatbahwa terdapat mekanisme pengurangan yang dikenal dengan istilah Penghasilan Tidak kena Pajak (PTKP). PTKP menjadi variabel pengurang dari penghasilan setiap individu sebelum diketahui besarnya pajak yang harus dibayarkan. Dari namanya saja, seharusnya kita sudah bisa menerka untuk apa PTKP itu. PTKP diberikan untuk memastikan adanya keadilan bagi masyarakat dan menghilangkan stigma seolah otoritas pajak “memalaki” wajib pajak.

PTKP memberikan keadilan bagi wajib pajak dalam bentuk kelonggaran untuk menyesuaikan kebutuhan primernya seperti sandang, pangan dan papan. Saat ini, wajib pajak dengan status lajang diperkirakan memiliki kebutuhan/living cost selama setahun sebesar Rp54.000.000,- atau dengan kata lain Rp4.500.000,- tiap bulannya. Jika kita hubungkan semua penjelasan di atas, ketika seseorang berpenghasilan kurang dari atau sama dengan Rp4.500.000,-  per bulan atau kurang dari atau sama dengan Rp54.000.000,- setahun, maka tidak ada pajak yang dikenakan sama sekali. Hal ini lah yang perlu dipahami bersama sehingga kekeliruan tadi tidak terjadi.

Dalam beberapa kesempatan juga sering disalah artikan ketika ada campaign "Jangan Lupa Lapor Pajaknya Ya". Hal ini seolah masyarakat diwajibkan untuk membayar pajak di setiap pelaporannya padahal tidak demikian adanya. Seperti yang sudah dikemukakan di awal bahwa terlebih dahulu perlu dilihat ada atau tidaknya penghasilan. Hal ini menjadi penting karena jika tidak memiliki penghasilan artinya tidak memiliki kemampuan dalam membayar pajak. Pajak yang dikenakan saat memiliki penghasilan selaras dengan prinsip Four Maxim oleh Adam Smith yaitu convenience of payment.

Kedua perlu dilihat apakah penghasilan berada diatas PTKP atau tidak, sehingga jelas berapa pajak yang dikenakan atas penghasilan di tahun tersebut. Hal ini erat kaitannya dengan prinsip Four Maxim lainnya yaitu equitable atau keadilan. Negara hadir untuk menjamin bahwa pajak yang dikenakan kepada wajib pajak telah disesuaikan dengan kebutuhan primer masyarakat melalui mekanisme pengurangan PTKP.

Kita sepertinya masih antipati terhadap permasalahan bangsa sendiri padahal permasalahan pajak merupakan urusan bangsa. Kita semua perlu memahami betapa pentingnya pajak bagi pembangunan bangsa dan peran yang harus kita berikan. Karena pajak bukan hanya urusan otoritas pajak saja, tetapi urusan Anda, Kami, dan Kita semua, yang termaktub dalam pasal 23A  Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945.

Karenanya, jika kita telah menyadari betapa pentingnya kontribusi masing-masing maka pertumbuhan rasio pajak juga akan semakin meningkat, Negara yang kita cintai ini akan memiliki dana yang cukup untuk memberikan kesejahteraan kepada rakyatnya dan diharapkan dapat mewujudkan cita-cita bersama yaitu Indonesia Maju.

*) Tulisan ini merupakan pendapat pribadi penulis dan bukan cerminan sikap instansi penulis bekerja.